Truk yang mereka tumpangi menempuh jarak yang amat jauh, melewati bukit-bukit terjal, dan jalan yang berkelok-kelok Mereka tiba di suatu tempat yang asing. Bagai seekor burung yang terdampar di jazirah asing, ibu muda yang keluar dari truk itu lekas mencari tempat bersarang bagi anaknya. Berjalan dari satu tempat ke tempat lain, Â begitulah sampai bertemu dengan orang tua berjanggut lebat.
"Apakah gunanya manusia bersusah payah?" Tanya orangtua berjanggut lebat ketika mendapati seorang ibu yang kuyup dan gadis kecil yang kacau. Mereka telah berkeliling kampung. Tapi tak seorang pun di kampung yang mereka temui bersedia menolong.
"Matahari terbit dan tenggelam, lalu terbit kembali," orangtua berjanggut lebat itu melanjutkan, "seluruh sungai di muka bumi mengalir ke laut, tetapi laut tak juga menjadi penuh. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari."
Si orangtua berjanggut lebat memakai baju hitam, kontras dengan rambut dan jenggotnya yang putih. Sedangkan ibu muda beserta anaknya itu memakai baju  kumal seperti tak pernah dicuci selama satu bulan. Si orangtua berjanggut lebat menyentuh pundak ibu muda itu,  " mari mampir ke rumahku," katanya.
Mereka melewati kampung nelayan yang berbau amis. Pintu-pintu rumah sepanjang kampung tertutup. Beberapa orang sedang asyik berbincang-bincang. Tapi sebagian besar penghuni kampung itu berada di pantai atau di tengah laut. Di kampung itu anak-anak dan perempuan ikut melaut. Sehingga jika mereka sedang melaut kampung menjadi sepi. Mereka hidup dari berburu ikan. Hanya orangtua berjanggut lebat itu yang tak melaut. Rumah orangtua berjanggut lebat itu di pojok kampung nelayan. Hidup sendiri seperti petapa.
Suatu hari ibu muda dan anaknya yang masih kecil itu akan mengenang si orangtu berjanggut lebat sebagai si tua bijaksana. Sebab ia tak hanya memberinya makan dan minum, tapi juga tempat untuk menetap. Berkat orangtua berjanggut lebat itu, ia tahu caranya hidup, dan membesarkan anak, dan membangun rumah sendiri di kampung nelayan.
Begitulah, awal mula kisah mereka menetap di kampung nelayan. Tak lebih dari keberuntungan belaka.
"Ibu muda itu adalah nenekku," kata Maria sambil memainkan pasir. "Jika orangtua bijaksana tak menolong mereka, barangkali nasibku akan berbeda. Mungkin ibu akan mati kelaparan. Dan aku tak akan pernah dilahirkan."
"Kemanakah ayahmu, Maria?" tanya Syarif.
Maria menggeleng, "aku tidak tahu. Tentu ayahku salah satu laki-laki di kampung ini."