in criminalibus, probationes bedent esse luce clariores adalah sebuah adagium hukum yang mengartikan bahwa dalam perkara hukum, bukti harus lebih terang dari cahaya.Â
Menitik beratkan dalam hal tersebut, bahwa pembuktian adalah suatu hal yang fundamental dalam perkara hukum. Bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran peristiwa.Â
Oleh karenanya pembuktian dalam perspektif hukum adalah perbuatan yang dilakukan guna mencari kebenaran dalam peristiwa hukum, peristiwa hukum tersebutlah yang nantinya akan menimbulkan suatu akibat hukum tersendiri.
Banyaknya kasus-kasus pelecehan seksual yang dilaporkan, tetapi juga banyak yang tidak diproses secara hukum merupakan pukulan keras untuk para pencari keadilan.Â
Pelecehan seksual merupakan suatu peristiwa imoral yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan sampai saat ini.Â
Sebenarnya yang demikian itu bukanlah bentuk dari pembiaran terjadinya pelecehan seksual, tetapi ruang gerak dari penegak hukum memang dibatasi oleh seperangkat hukum yang tidak relevan untuk diterapkan pada masa ini.Â
Merujuk pada data Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir.Â
Angka pengaduan yang masuk terkait pelecehan seksual terus bertambah. Dalam banyak kasus-kasus pelecehan seksual berupa pencabulan memiliki kesulitan dalam perumusan alat bukti, karena pencabulan biasanya dilakukan di tempat tertutup. Oleh sebab itu, selama ini kasus pelecehan seksual yang sifatnya verbal atau sentuhan tidak senonoh sangat sulit dibuktikan.
Jika berbicara konteks pembuktian dalam hukum pidana, merujuk dalam Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menggunakan lima macam alat bukti, yaitu:Â
1). Keterangan saksi, 2). Keterangan ahli, 3). Surat, 4). Petunjuk, 5). Keterangan terdakwa. Sehingga untuk menetapkan tersangka minimal harus ada barang bukti, misalnya visum et repertum dan saksi, dalam hal ini saksi (korban) yang cukup untuk menetapkan sebagai tersangka.Â
Tetapi dalam fakta (juridische feiten), ada pelecehan seksual dalam konteks pencabulan yang bersifat verbal, dan perbuatan imoral tersebut terjadi dengan hanya adanya korban dan pelaku (slachtoffer en dader).Â
Maka hanya ada satu alat bukti yaitu keterangan korban yang bisa menjadi saksi. Jika hanya ada keterangan korban maka menurut hukum tidak dapat menjadi alat bukti minimum yang dapat menjadi dasar terjadinya tindak pidana. Dasar alat bukti minimum adalah berdasarkan asas unus testis nullus testis.
Begitu pun, di dalam RUU PKS yang di gaung-gaungkan akan memihak para korban pelecehan seksual, tetapi dalam proses pembuktian, masih dianggap lemah, karena kaidah pembuktianya masih sama dengan KUHAP. Â
Hal itu dibuktikan dengan penerapkan asas unus testis nullus testis dalam Pasal 45 Ayat (1) yaitu "Keterangan seorang Korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya."Â
Maka bila hanya ada keterangan korban saja tanpa "satu" alat bukti lainya tidak bisa sama sekali menjadi dasar sebagai alat bukti minimum. Sedangkan alat bukti sah diatur dalam Pasal 42 Ayat (2) yaitu a.) surat keterangan psikolog dan/atau psikiater; b.) rekam medis dan/atau hasil pemeriksaan forensik; c.) rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan; d.) informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu ; e.) dokumen; dan f.) hasil pemeriksaan rekening bank.
Perbedaan alat bukti pada RUU PKS dan KUHAP hanya pada materi alat bukti yang diatur, bahwa alat bukti yang dicakup dalam RUU PKS lebih luas dibandingkan alat bukti yang ada di dalam KUHAP.Â
Namun pembuktian di dalam keduanya masih menerapkan asas unus testis nullus testis yang berkaitan dengan bewijs minimum atau alat bukti minimum yang dibutuhkan untuk memproses suatu perkara.Â
Jadi jika terjadi suatu perbuatan pelecehan dan hanya ada keterangan korban tanpa disertai minimal satu alat bukti, maka tidak bisa menjadi alat bukti dasar yang bisa menjadikan seseorang sebagai tersangka.Â
Secara hukum, memang hal tersebut dibenarkan, karena tidak bisa menghukum seseorang dengan hanya satu alat bukti keterangan, baik satu keterangan saksi atau satu keterangan korban.Â
Minimal alat bukti dalam prinsip hukum adalah dua, yaitu keterangan satu saksi dan satu keterangan korban, atau satu keterangan korban dan satu alat bukti lainya.Â
RUU PKS memang dikatakan dapat menjadi payung hukum terhadap para korban pelecehan seksual, sebab dalam segi viktimologi, RUU ini lebih memihak kepada korban. Seperti melarang aparat untuk merendahkan, menyalahkan, serta menggunakan latar belakang korban untuk tidak menindaklanjuti kasus korban kekerasan atau pelecehan seksual tersebut.Â
Kemudian, larangan mengkriminalkan korban dan mewajibkan aparat penegak hukum untuk menyediakan pendamping bagi korban. Lalu pemulihan bagi korban baik sebelum hingga proses peradilan, serta pengawasan atas proses pemulihan tersebut.Â
Tetapi, kendatipun RUU PKS disahkan, "Tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak kasus pelecehan seksual yang tidak diproses karena berkaitan dengan kurangnya alat bukti."Â
Walaupun demikian, dalam RUU PKS sendiri perihal alat bukti lebih diperluas, sehingga sedikit banyaknya dapat mengurangi angka kasus pelecehan seksual yang tidak diproses, karena dalam UU ini alat bukti lebih diperluas lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H