Mohon tunggu...
RM Armaya Mangkunegara
RM Armaya Mangkunegara Mohon Tunggu... Dosen - Advokat -

Dosen - Advokat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Branding Media "Politikus Sontoloyo"

27 Oktober 2018   01:55 Diperbarui: 27 Oktober 2018   06:55 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era digital, demikian sebagian besar kalangan menyebut peningkatan peradaban yang mengarah pada fase penggunaan media digital sebagai alternatif komunikasi. Banyak sisi positif, namun tidak sedikit pula yang memiliki dampak negatif terhadap penggunaan sarana media. 

Bahkan, dalam kacamata bisnis, media digital terbukti menjadi salah satu pilihan investasi yang diminati. Penghasilan fantastis hanya dalam hitungan jam bisa didapat.

Perkembangan inilah yang kemudian mengarahkan pada pembentuk hukum untuk memberikan batas ber-media. Sebut saja UU Pers, UU ITE, UU Keterbukaan informasi publik dan lain-lain juga dipicu adanya kebebasan yang (seolah) tanpa ada batasan pengikat. Benarkah demikian?

Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan pidato Presiden yang menggunakan term "Politikus Sontoloyo". Perkataan presiden tersebut sontak menuai beragam komentar, hanya dalam hitungan waktu yang dapat dibilang tidak begitu lama. 

Masyarakat (yang berkomentar) seolah dibawa pada alam yang seakan-akan larut dan ikut menyaksikan secara langsung saat presiden berucap begitu. Darimana? Lagi-lagi kecanggihan media elektronik.

Sebenarnya ada sisi menarik jika diamati lebih jauh. Media terbukti ampuh sebagai agen transformasi berita. Media pun menjadi faktor dominan dalam memberikan warna dan cara pandang masyarakat pada suatu fenomena.

Kebebasan Berpendapat dan HAM

Salah satu prinsip yang menuntut adanya keterbukaan dan kebebasan menyatakan pendapat tertuang pada Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945. Memposisikan kebebasan menyatakan pendapat dalam konstitusi sebenarnya memiliki tendensi yang universal. Sebagai nilai bangsa Indonesia dan konstitusional.

Namun, bukan berarti menyampaikan pendapat tidak ada batasnya. Sebagaimana diketahui, ketentuan mengenai kebebasan menyatakan pendapat dimasukkan dalam Bab tentang Hak Asasi Manusia. Menyatakan pendapat merupakan fundamental right.

Akan tetapi, di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 tetap memberikan rambu-rambu bahwa HAM tetap memiliki batasan-batasan yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Realita yang terjadi saat ini, dengan banyaknya media yang ada seolah masih belum mampu menggiring opini masyarakat untuk obyektif dalam menyikapi berita. Seringkali, dalam diskusi-diskusi muncul statemen : "... dari media apa? Milik siapa?". Konteks profesionalitas media, pernyataan seperti itu seharusnya tidak lagi menghiasi beranda diskusi warung kopi sekalipun.

Itulah fenomena di masyarakat. Yang ingin penulis katakan disini adalah betapa besar pengaruh branding media pada kehidupan bermasyarakat kita. Masyarakat lebih melek dunia luar juga salah satunya karena media. Di sisi lain, peran media yang begitu besar seharusnya juga diimbangi dengan kinerja yang profesional sebagai entitas independen, tidak memilhak dan menyampaikan fakta apa adanya.

Pemahaman masyarakat akan kebebasan menyatakan pendapat mayoritas sebatas dipahami sebagai suatu kebebasan yang tanpa batas. Padahal nyata-nyata dalam konstitusi mengamanatkan adanya pembatasan, meskipun diatur dalam ketentuan hukum yang sektoral.

Dialektik Komunikasi Politik

Demikian besarnya pengaruh media, tidak terkecuali juga merangsek masuk pada sendi-sendi politik negeri ini. Bahkan menjadi salah satu penentu arah kebijakan politik. Penentuan calon (baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada) misalnya, branding media juga dianggap menjadi penentu besar kecilnya elektabilitas.

Bagaimana dengan politikus sontoloyo? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Sontoloyo bermakna konyol, tak beres dan bodoh. Definisi ini tentunya tidak bisa digunakan sebagai pedoman yang universal. Pasalnya, dialektik masyarakat Indonesia dengan beragam budayanya, memiliki ciri khas tersendiri.

Ada kalanya, dalam hal komunikasi di masyarakat tertentu, terdapat kata atau kalimat yang bagi masyarakat lain dianggap sebagai kata kasar. Namun, bukan berarti demikian juga bagi masyarakat yang berstigma bahwa menggunakan kata-kata tertentu (kasar) dianggap sebagai media pengakraban. Intinya, memahami lontaran kalimat perlu pula dilihat dari aspek kebiasaan penggunaan dialektik.

Mengacu pada definisi kamus besar bahasa Indonesia di atas, bila sontoloyo dimaknai sebagai kekonyolan, tak beres dan bodoh, maka Politikus Sontoloyo bisa jadi berarti seorang yang terjun di dunia politik namun konyol, tak beres dan bodoh. Tentu, pemaknaan ini bisa lahir dari berbagai sudut pandang dan belum bersifat final.

Politikus dalam sudut pandang peningkatan rating popularitas, kadangkala perlu melontarkan statement yang kontroversial. Berbeda dari pandangan pada umumnya. Bahkan, tidak jarang justru karena kekonyolannya membuat seorang politikus tenar dan terkenal.

Bagaimana seorang politikus dapat berkomentar fenomenal? Pasti harus ada input berupa data baik berita maupun yang lain sebagai bahan. Lagi-lagi media menjadi sentral.

Di sinilah peran media sangat dibutuhkan. Media sosial sekalipun, jika dibranding untuk memberikan informasi kepada publik harus dilandasi pada obyektifitas. Tidak semata-mata argumentatif. Kecuali, jika platform personal yang dikedepankan.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor moral. Orang jawa menyebut unggah-ungguh. Dalam berkomunikasi, terlebih menjalin komunikasi politik yang tentu bertendensi kepentingan negara, sikap sopan santun harus dikedepankan. Tidak semata-mata menganggap komunikasi politik yang bebas sebagai bagian meraup ketenaran.

Kecil kemungkinan seorang politikus akan selalu mengikuti detail perkembangan informasi kenegaraan. Apalagi pada hal-hal yang ditangani oleh beberapa institusi sektoral. Bahan komunikasi politik yang menjadi acuan mengeluarkan pendapat mayoritas berasal dari pemberitaan media. Maka, sangat penting mendudukkan media pada posisi yang obyektif dan independen.

***

Dr. RM. Armaya Mangkunegara, S.H., M.H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun