Itulah fenomena di masyarakat. Yang ingin penulis katakan disini adalah betapa besar pengaruh branding media pada kehidupan bermasyarakat kita. Masyarakat lebih melek dunia luar juga salah satunya karena media. Di sisi lain, peran media yang begitu besar seharusnya juga diimbangi dengan kinerja yang profesional sebagai entitas independen, tidak memilhak dan menyampaikan fakta apa adanya.
Pemahaman masyarakat akan kebebasan menyatakan pendapat mayoritas sebatas dipahami sebagai suatu kebebasan yang tanpa batas. Padahal nyata-nyata dalam konstitusi mengamanatkan adanya pembatasan, meskipun diatur dalam ketentuan hukum yang sektoral.
Dialektik Komunikasi Politik
Demikian besarnya pengaruh media, tidak terkecuali juga merangsek masuk pada sendi-sendi politik negeri ini. Bahkan menjadi salah satu penentu arah kebijakan politik. Penentuan calon (baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada) misalnya, branding media juga dianggap menjadi penentu besar kecilnya elektabilitas.
Bagaimana dengan politikus sontoloyo? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Sontoloyo bermakna konyol, tak beres dan bodoh. Definisi ini tentunya tidak bisa digunakan sebagai pedoman yang universal. Pasalnya, dialektik masyarakat Indonesia dengan beragam budayanya, memiliki ciri khas tersendiri.
Ada kalanya, dalam hal komunikasi di masyarakat tertentu, terdapat kata atau kalimat yang bagi masyarakat lain dianggap sebagai kata kasar. Namun, bukan berarti demikian juga bagi masyarakat yang berstigma bahwa menggunakan kata-kata tertentu (kasar) dianggap sebagai media pengakraban. Intinya, memahami lontaran kalimat perlu pula dilihat dari aspek kebiasaan penggunaan dialektik.
Mengacu pada definisi kamus besar bahasa Indonesia di atas, bila sontoloyo dimaknai sebagai kekonyolan, tak beres dan bodoh, maka Politikus Sontoloyo bisa jadi berarti seorang yang terjun di dunia politik namun konyol, tak beres dan bodoh. Tentu, pemaknaan ini bisa lahir dari berbagai sudut pandang dan belum bersifat final.
Politikus dalam sudut pandang peningkatan rating popularitas, kadangkala perlu melontarkan statement yang kontroversial. Berbeda dari pandangan pada umumnya. Bahkan, tidak jarang justru karena kekonyolannya membuat seorang politikus tenar dan terkenal.
Bagaimana seorang politikus dapat berkomentar fenomenal? Pasti harus ada input berupa data baik berita maupun yang lain sebagai bahan. Lagi-lagi media menjadi sentral.
Di sinilah peran media sangat dibutuhkan. Media sosial sekalipun, jika dibranding untuk memberikan informasi kepada publik harus dilandasi pada obyektifitas. Tidak semata-mata argumentatif. Kecuali, jika platform personal yang dikedepankan.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor moral. Orang jawa menyebut unggah-ungguh. Dalam berkomunikasi, terlebih menjalin komunikasi politik yang tentu bertendensi kepentingan negara, sikap sopan santun harus dikedepankan. Tidak semata-mata menganggap komunikasi politik yang bebas sebagai bagian meraup ketenaran.