Mohon tunggu...
Arief Riady
Arief Riady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Sosial - Gemstone Lover

1 + 1 = ~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hiperbola Covid-19 yang dikondisikan.

19 Maret 2020   13:00 Diperbarui: 20 Juni 2021   13:28 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejenak kita flash back satu sampai dua dekade kebelakang, rentang tahun 2002-2003-2005-2006, 2009 dan 2012. Saat itu yang nama nya media sosial dan media online belum setenar dan semarak seperti sekarang ini. Orang hanya seadanya saja menggunakan nya untuk keperluan jejaring pertemanan. Waktu itu hanya ada Friendster dan Facebook yang populer. Facebook pada waktu itu masih kayak bayi baru belajar tengkurep terlentang, kalah jauh pamor nya dari Friendster yang saat itu memang lagi naik daun. Facebook masih sebatas digunakan khusus untuk jejaring sosial, nyaris bebas dari berita hoax, walaupun tetap diduga ada tapi kasus hoax nya tidak masif, paling intensitas nya kurang dari 1% saja.

WhatsApp? boro-boro sudah lahir, bisa jadi angan-angan pembuat nya saja belum kepikiran dan kesampaian saat itu, hehe. (WhatsApp lahir tahun 2009.), Twitter? Instagram? YouTube? Telegram? dan lain nya? Apalagi itu, jauh dari kata populer di kalangan masyarakat dunia, belum banyak orang yg melirik, Indonesia apalagi. Hehe (YouTube baru menetas tahun 2005-2006, Twitter lahir tahun 2006, Instagram tahun 2010, bahkan Telegram baru-baru ini saja populer). Kalaupun ada yang populer saat itu, paling hanya aplikasi BBM dari Blackberry ( Blackberry messenger ) aplikasi buat chat dan kirim pesan antar sesama pengguna nya, itupun baru ada tahun 2005-2006, dan pemakai nya pun tidak banyak, masih sopan-sopan, dan waktu itu gak suka nyebarin berita-berita hoax, paling banter BBM dipakai buat kirim foto selfi dan foto jalan-jalan, Hehe.

Ingat wabah pandemi virus SARS ( Severe Acute Respitory Syndrom ) rentang tahun 2002 - 2004 yang berawal dari negara Cina, tepat nya di Guangzhou. Saat itu kasus nya bikin sebagian besar masyarakat dunia kalang kabut, tak terkecuali Indonesia. Penyebaran nya cepat, tidak sampai hitungan 1 bulan sudah menjadi Pandemi ke seluruh wilayah di dunia ini. Saya tanya, waktu itu apa ada kepanikan yang berlebihan, di dunia maupun Indonesia khususnya? Tidak ada.

Ingat juga kan wabah pandemi virus yang membuat khawatir masyarakat dunia saat itu, yaitu wabah virus H5N1 - Avian Influenza ( sangat populer di masyarakat dengan sebutan flu burung ) tahun 2005 hingga tahun 2007. Yang saat itu ternyata tingkat penyebaran nya lebih cepat dibanding pendahulu nya SARS karena sifat penularan nya sangat mudah dari perantara hewan unggas ( ayam, burung, dan bebek ) dan orang yang terdampak positif bisa menularkan nya secara langsung dengan cepat juga. Saya tanya lagi, apa waktu itu ada kepanikan yang berlebihan ampai-sampai menjadi paranoid menyikapi nya? Tidak ada juga.

Atau belum lepas dari ingatan, kasus wabah pandemi virus MERS ( Middle East Respitory Syndrom ). Yang disebabkan oleh corona virus, sama dengan virus penyebab SARS 2002 dan covid-19. Virus yang disinyalir sangat berbahaya dan mematikan, wabah pandemi nya waktu itu bikin geger negara-negara seantero Timur Tengah, tak juga sampai lama, akhir nya dunia pun ikut kena serbuan pandemi virus ini. Tapi boleh di cek data nya, Apakah saat itu terjadi kepanikan yang luar biasa seperti sekarang? Alhamdulillah tidak juga. 

Malah saat itu kejadian nya 2-3 bulan sebelum perhelatan akbar ibadah haji dimulai. Tetapi toh ibadah haji tetap berlangsung dan para jama'ah haji saat itu tidak ikutan panik, lebay dan khawatir menghadapi nya, terus jadi takut batal berangkat haji? Tidak juga. Padahal mereka adalah orang-orang yang sangat rentan dan beresiko tinggi terpapar virus corona MERS tersebut.

Ingat juga tahun 2009 - 2010 serangan wabah pandemi virus Swine Flu yang masyarakat mengenal nya dengan sebutan Flu Babi, yang disebabkan oleh virus H1N1, virus yang sama seperti penyebab pandemi virus flu Spanyol pada tahun 1918 - 1920. Namun virus H1N1 flu babi 2009 itu katanya termasuk strain baru yang telah dimodifikasi, dan katanya juga? lebih berbahaya dari saudara tua nya.

Pandemi virus flu babi ini terjadi antara musim semi 2009 hingga musim semi 2010 itu telah dengan cepat pula menyebar ke penjuru dunia. Tidak tanggung tanggung virus ini telah menginfeksi sekitar 500 juta hingga 2,4 miliar orang di seluruh dunia!. Angka yang sangat luar biasa fantastis, dan juga telah menewaskan lebih dari 575.000 orang menurut Centers for Disease Protection and Control (CDC). Tentu nya kalau mau jujur kasus pndemi nya jauh lebih dahsyat dibanding Covid-19. See?

Pandemi flu babi 2009 ini merupakan virus H1N1 kedua di dunia setelah flu spanyol pada 1918. Flu babi 2009 disebabkan oleh strain baru H1N1 yang katanya? berasal dari Meksiko, ada juga yang menyebutkan berawal dari Amerika Utara, dan saat itu disebut yang paling mematikan dalam sejarah pandemi virus. Sejak muncul pada Juni 2009 lalu dan menyebar ke seluruh dunia, WHO kemudian menyatakan flu babi ini sebagai pandemi.

Untuk perbandingan nya di Amerika Serikat sendiri antara tahun 2009 hingga 2010, telah diindentifikasi sebanyak 60,8 juta kasus positif flu babi!, dengan lebih dari 274.000 yang dirawat di rumah sakit dan angka kematian nya mencapai lebih dari 12.500 orang . Suatu jumlah yang sangat fantastis bukan?

Namun, lihat lah apakah saat itu terjadi kepanikan dan ketakutan yang berlebihan di seluruh lapisan masyarakat di Indonesia pada khusus nya? Hingga orang orang menjadi paranoid? Apakah saat kasus itu ada ribut-ribut karantina wilayah? Apakah ada teriak-teriak slogan social distancing dan stay at home, bla bla bla? Alhamdulillah tidak ada. Masyarakat tetap hidup dengan normal tetapi tetap waspada saat itu.

Para ilmuwan, para dokter ahli dan ahli-ahli mikrobiologi telah menjelaskan bahwa wabah-wabah pandemi virus SARS dan MERS di atas penyebab nya yaitu virus turunan strain influenza yang bernama corona virus, sama seperti penyebab covid-19, hanya saja diungkapkan katanya? virus corona sekarang yang dinamakan Covid-19 ini termasuk jenis strain baru yang berkembang biak dan bermutasi dari inang sel hewan liar ( di duga kuat kelelawar ) yang kemudian kata nya lagi melompat ke manusia? 

Ada juga spekulasi yang menyatakan bahwa virus corona nya sama seperti virus penyebab SARS dan MERS tetapi dibuat rekayasa genetika nya terhadap virus tersebut dengan proses memodifikasi lalu menambahkan beberapa banyak asam amino di virus tersebut melalui percobaan di dalam laboratorium. Yang kemudian katanya lagi? menjadikan covid-19 ini dapat mampu lebih cepat merambat dan menyebar dari orang ke orang? Semua nya ternyata spekulasi yang dijadikan stigma kepada masyarakat luas.

Namun begitu spekulasi di atas juga dibantah, menurut sebagian pakar ahli mikrobiologi bahwa Covid-19 tidak ada beda nya dengan SARS-cov dan MERS-cov, malah terbukti kalau dilihat dari tingkat fatality death rate nya, covid-19 masih lebih rendah dibanding SARS dan MERS, bahkan juga masih lebih rendah dibanding Avian Influenza atau flu babi sekalipun. Ini jelas paradoks dengan teori yang di publikasikan secara masif saat ini kepada masyarakat luas. Kecuali Flu burung dan Flu babi yang disebabkan oleh virus dengan nama H5N1 dan H1N1, virus turunan strain Influenza juga yang kata nya, sangat berbahaya dan mematikan. Semua nya sampai sekarang dikatakan belum ada vaksin anti virus penawar nya yang tepat.

Dari informasi diketahui, kasus wabah virus SARS sudah masuk Indonesia pada rentang tahun 2002-2003, dan di dunia sudah jadi wabah pandemik secara luas di lebih dari 29 negara dan jumlah orang yang terkonfirmasi virus SARS ini yakni sebanyak 8.000 manusia lebih di rentang bulan pertama kasus nya, dengan jumlah kematian sebanyak 780 jiwa lebih ( data dari WHO ). Dan itu belum termasuk ratusan ribu orang hingga jutaan manusia saat masa pandemi nya, yang menjadi suspek atau tidak terdeteksi. Pandemi yang luar biasa masif untuk tahun tersebut. Tetapi, apakah waktu itu masyarakat di dunia, khususnya Indonesia jadi panik dan paranoid?

Kasus pandemi virus H5N1 - Avian Influenza ( populer dengan sebutan flu burung ) malah lebih parah, kasus nya di Indonesia saja saat outbreaks ada sekitar 500 sampai 1000 an kasus positif, ini belum termasuk kasus suspek dan tidak terdeteksi hingga kini. 

Tingkat fatality death rate nya juga sangat tinggi di Indonesia yaitu mencapai 77% rasio kematian. Angka ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kefatalan virus SARS di Indonesia. Ini belum lagi kasus nya di seantero dunia, yang tingkat rasio fatal kematian nya mencapai 10-11% dari populasi dunia. Ini belum berapa ratus ribu hingga jutaan manusia yang terdampak virus ini? 

Tapi lihatlah apa saat itu masyarkat dunia, khusus nya Indonesia menjadi panik berlebihan sampai paranoid dalam menghadapi nya? Saya tanya, apakah saat itu masker, antiseptik, hand sanitizer dan disinfektan jadi menghilang bak ditelan bumi dari pasaran kemudian jadi gila-gilaan harga nya? Apakah saat itu terdengar ribut ribut suara-suara sumbang untuk melakukan lockdown atau karantina wilayah?Alhamdulillah, tidak ada begitu. 

( Malah jika saja pandemi virus H5N1 - Avian Influenza - flu burung terjadi di zaman sekarang ini saat media sosial dan media online telah menjadi zat adiktif bagi kebanyakan orang, maka sudah bisa dipastikan sangat tinggi tingkat kepanikan di dalam masyarakat nya. Sangat mungkin terjadi "kerusuhan" antara orang-orang yang panik tadi dengan masyarakat lain yang memelihara ayam/burung/bebek. Dan mungkin tidak hanya sampai di situ dampak masif nya, bisa terjadi hampir semua orang jadi takut makan daging ayam dan telor ayam, saking panik nya karena berita yang menakutkan dari media sosial dan media online, hehe )

Kemudian kasus pandemi Virus MERS yang waktu itu berawal dari Timur Tengah pada rentang tahun 2011 - 2012. Virus yang juga sangat berbahaya, khususnya buat para jama'ah haji dan umroh seluruh dunia dan Indonesia. Bahkan sangat rentan dan berpotensi besar dibawa ke Indonesia melalui mereka, tapi apakah lantas membuat pemerintah saat itu membatalkan ibadah haji mereka? Apa mereka menjadi panik berlebihan?, dan kemudian takut akhirnya  mengurungkan diri tidak mau pergi umroh dan haji? Atau adakah pemerintah saat itu lebay melarang mereka semua berangkat menunaikan ibadah haji? Ternyata juga tidak ya. See?

Secara data angka dan fakta, malahan tingkat fatality death rate wabah pandemi virus MERS ini sangat-sangat mematikan dibandingkan SARS dan H5N1 apalagi covid-19. Perbandingan nya semisal dari 2.000 orang positif, dengan jumlah kematian akibat virus ini sebanyak 845 jiwa. Tentu nya sangat tinggi prosentase nya. Ini belum termasuk puluhan ribu sampai ratusan ribu orang yang suspek dan tak terdeteksi pada saat itu.

Kemudian ingat Kasus virus H1N1? Pandemi Flu babi sendiri masuk ke Indonesia pada sekitar rentang tahun 2009, bahkan hingga saat ini pun kasus nya masih ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Wabah pandemi nya tahun 2009 saat itu telah merambah ke 25 provinsi di seluruh Indonesia, suatu tingkat penyebaran yang cepat tentu nya, walaupun tingkat kasus positif nya terbilang lebih sedikit karena tidak di blow up media sosial dan media online, namun tingkat bahaya nya tetap sama saja. Lantas, apakah pada saat itu masyarakat indonesia menjadi panik dan berlebihan dalam menyikapinya seperti kasus Covid-19 sekarang? Lihatlah...lihatlah dan cermati dengan pikiran yang rasional sesuai data data.

Kasus-kasus wabah pandemi virus di atas, belum termasuk wabah Pandemi virus Flu Hongkong, virus Flu singapura, Flu kuning, Flu tulang dan virus Flu spanyol sebagai pelopor wabah Pandemi virus yang juga menyebar ke seluruh dunia pada masa nya, dan menjadi pandemi yang luar biasa. Tapi kenyataan nya saat itu tidak sepanik dan seheboh seperti saat ini cara penanganan dan mitigasi nya. 

Lalu apa yang membuat wabah pandemi covid-19 sekarang jadi lebih heboh di blow up menjadi hiperbola, bikin panik sebagian besar orang, banyak yang paranoid, jadi panic buying borong hand sanitizer, antiseptik ludes dipasaran, disinfektan kosong tidak tersisa, orang-orang latah nimbun bahan makanan dan masker, akibat nya masker menghilang dari peredaran terus jadi gila-gilaan harga nya tidak masuk akal sehat, mesjid-mesjid di zona hijau ditutupin dari aktifitas sholat jama'ah tapi aneh bin ajaib kerumunan keramaian manusia di pasar, pusat perdagangan dan transportasi massal tidak dikendalikan dengan benar, orang-orang ribut latah lockdown dan karantina mengakibatkan setiap wilayah diportalin bikin susah banyak orang, khusus nya untuk warga sekitar yang harus muter jauh sekali dan ojek online yang akan mengantarkan pesanan ( padahal jujur aja ini gak ada urgensi dan relevansi yang signifikan dengan sifat dan cara virus nya menyebar ), kemudian akhirnya masyarakat jadi terkungkung terpenjara, tapi lucu nya yang terpenjara malah dilepaskan ke tengah masyarakat? Belum lagi protokol-protokol yang dibuat secara rumit dan heboh, jadi bikin takut semua orang dan so on dan so on?

Tidak hanya sampai di situ, wabah Pandemi covid-19 ini juga mencetak daftar istilah-istilah asing dan baru yang tidak ada dalam daftar istilah slogan penanganan wabah pandemi virus sebelum nya, padahal kembali lagi saya tegaskan, bahwa jenis, sifat, resiko dan cara penyebaran virus nya sama. Bahaya nya pun tidak lebih dari pandemi yang sudah sudah. Harus nya pun cara penanganan  dan mitigasi nya juga sama bila cara penularan nya sama dari pendahulu nya SARS, MERS, Avian Influenza ataupun Swine Flu saat itu. See?

Istilah baru seperti social distancing - jaga jarak, lockdown - karantina atau PSBB , virtual money - uang non tunai, slogan stay at home - di rumah saja maupun istilah New Normal - normal tapi baru? menjadi viral di seluruh lapisan masyarakat. Kalau mau jujur apa beda nya penanganan nya dengan kasus wabah pandemi virus turunan flu yang sudah-sudah? Bahkan dilihat dari tingkat rasio kefatalan kematian nya, covid-19 ini masih tidak lebih mematikan dibanding pendahulu nya. Harus nya tidak ada propaganda dan agenda-agenda terselubung seperti sekarang. Gempuran-gempuran istilah social distancing, lockdown, karantina wilayah, stay at home, work from home dan New normal malahan cuma menjadi momok yang menakutkan di masyarakat luas, jika masyarakat tidak mematuhi protokol nya, ada semacam ketakutan yang mendalam akan divonis terdampak positif covid-19 dan kemudian akan disalahkan oleh pemerintah, para dokter, para tenaga kesehatan dan masyarakat umum lain nya karena alasan tidak patuh, ngeyel, dan apapun justifikasi nya?. Bila ada masyarakat yang tidak menjalankan istilah dan slogan tersebut maka bisa dipastikan akan menjadi kambing hitam dari kasus ini. Ini semua tentunya seperti membuat pengkondisian yang bersyarat dan dibuat untuk  membatasi dan mendikte masyarakat luas. See?

Dahulu pun virus SARS, MERS, H5N1 dan H1N1 dengan virulensi penyebaran wabah yang sama cara penyebaran dan sifat virus nya, tidak pernh ditemukan pemblow up an istilah seperti di atas. Dahulu berita-berita dan informasi tidak bisa di blow up secara hiperbola. Karena dulu belum didukung sepenuh nya oleh teknologi perangkat lunak dan aplikasi media sosial nya belum tercipta. Kalaupun ada, hanya segelintir yang memiliki akses nya, tidak bisa secara langsung menjangkau masyarakat luas, hanya orang-orang kaya rata saja yang memiliki perangkat nya.

Saat itu mungkin hanya sekitar 10% populasi penduduk yang memiliki akses langsung kepada teknologi informasi dengan memiliki perangkat seluler beserta aplikasi nya. Jadi kasus pandemi virus nya pun pada waktu itu tidak bisa di blow up secara masif, dan tidak berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat secara umum, mereka tetap hidup normal tanpa dihantui perasaan takut yang berlebihan. Kasus nya tidak bisa dibesar besarkan untuk membuat takut dan panik masyarakat saat itu. Berbeda 180° dengan kasus pandemi covid-19 sekarang.

Penjelasan di atas tentunya dapat dijadikan pijakan kritis bahwa dibalik wabah pandemi covid-19 ini terdapat agenda-agenda propaganda terselubung  yang tendensius untuk menjadi kan masyarakat luas sebagai bagian dari objek penerapan solusi nya. Dengan menerapkan percobaan kasus : problem, reaksi dan solusi/mitigasi dari rangkaian demi rangkaian peristiwa pandemi Covid-19 ini.

Ditambah dengan kesimpangsiuran aturan-aturan yang dibuat oleh pemangku kekuasaan, bercampur dengan kegelisahan masyarakat, bahkan seolah-olah diciptakan kondisi nya, akhirnya ujung-ujung nya masyarakat  menerima keadaan dengan pasrah. Belum lagi setiap hari masyarakat pengguna media sosial dan media online dijejali kabar berita, gambar foto dan video yang disebarkan oleh orang orang dan media tentang hal yang menakutkan dan mencekam akibat dari covid-19 ini. Setiap waktu disebar berita kematian, berita korban barjatuhan dieksploitasi secara masif dan vulgar, angka-angka dibuat menggelembung,  foto-foto dan video ditampilkan dengan mencekam di banyak negara yang kata nya terkena dampak berat, tentu saja dengan narasi menyeramkan dan menegangkan urat syaraf yang melihat dan membaca nya. Semua dikemas untuk melegitimasi dahsyat nya dampak dari pandemi covid-19 ini. See?

Semua angka dan data-data akibat covid-19 ini di rilis setiap waktu kepada masyarakat oleh hampir semua media-media online. Setiap hari data-data itu pasti bertambah angka-angka nya menuju kepada suatu pola deret ukur tertentu hingga nanti akan menjadi jumlah yang sangat besar dan akan berhenti pada angka yang ditetapkan. Kenyataan nya, sebenarnya pun kita semua tidak akan pernah tahu fakta kebenaran nya angka pada data tersebut, apakah benar adanya demikian karena Covid-19? Apalagi visum hampir selalu dinihilkan, infeksi dan radang  paru-paru pun dijadikan simpulan dan asumsi sesorang positif terpapar covid-19. See?

Padahal sebelum kasus pandemi ini di blow up, yang nama nya infeksi paru-paru, bahkan radang paru-paru itu banyak sekali kasus nya terjadi, hampir setiap saat korban mati di seluruh dunia, rasio fatalitas kematian nya pun sangat tinggi, tetapi tidak pernah disimpulkan diagnosa nya karena covid-19. Ini seakn-akan protokoler covid-19 diciptakan hanya untuk melegitimasi data dan angka pembenaran dari korban-korban kematian tersebut. Jadi jelas lah apa yang masyarakat luas harus terima pada kasus pandemi virus saat ini.

Yang terjadi, tanpa disadari akhirnya banyak masyarakat luas dijadikan kaki tangan penyebaran kasus, perangkat seluler yang dimiliki masyarakat luas ditambah dengan kekuatan senjata media sosial yang ada saat ini, mereka tanpa disadari telah menjadi agen penyebar ketakutan, dan ini semakin membuat sempurna nya proses dan tujuan yang memang diinginkan dari kasus covid-19 ini. Namun apa mau dikata, hampir sebagian besar masyarakat penikmat internet tetap tidak sadar diri, kalau mereka telah digiring menjadi agen gratis tanpa dibayar untuk menyebarkan propaganda blow up ini secara sukarela. Semua berita berita covid-19 yang narasi nya menyedihkan, menakutkan, mencekam, menghukumi orang lain dan tentu saja kontraproduktif kepada sesama masyarakat lain nya telah menyebar secara luar biasa masif. Ini pun tanpa disadari oleh media-media online dan media sosial, bahwa mereka juga berandil sangat besar karena ikut serta terperangkap kepada arus pengkondisian untuk melegitimasi pandemi ini. Mereka memblow up kembali berita-berita, foto dan video tentang covid-19 ini dengan konten berita yang menakutkan dan mencekam tadi pada laman-laman utama media nya.  

Kalau mau jujur, tanpa blow up media sosial dan media online, covid-19 ini tidak ada apa-apa nya, tidak akan ada ketakutan, dan tidak akan ada kondisi seperti sekarang ini. Hal ini kan sudah dibuktikan dengan kasus wabah pandemi virus corona SARS, MERS, H5N1 dan H1N1 beberapa dekade lalu yang walaupun telah menjadi outbreaks ke seluruh penjuru dunia saat itu tetapi tidak dapat dibesar-besarkan kasus nya menjadi kasus hiperbola, karena saat itu peran media sosial dan media online tidak populer dan tidak bisa di maksimalkan tujuan penggunaan nya, karena masyarakat luas belum memiliki akses langsung kepada perangkat seluler dan aplikasi nya.

Kalau mau rasional dan transparan pandemi Covid-19 ini setali tiga uang dengan kasus pandemi virus SARS, H5N1, MERS, dan H1N1. Semua nya tanpa terbantahkan oleh para ahli kesehatan, termasuk jenis turunan strain virus Influenza, dengan potensi bahaya, sifat, dan cara penularan yang sama melalui droplet cairan batuk, bersin, bicara muncrat air liur nya tumpah ke udara dan residu droplet nya menempel di benda apa saja yang bisa terkena kepada orang lain.  

Perlu digaris bawahi dengan tinta tebal, bahwa semua yang meninggal itu karena penyakit infeksi sekunder nya yang memang sudah parah akut dan kronis, seperti karena sakit radang paru-paru Pneumonia, yang kita ketahui bersama bahwa  penyebab nya bukan lagi virus nya tapi disebabkan oleh bakteri jenis Pneumococcus. Bukan karena covid-19 nya. Karena sejatinya sifat semua virus strain influenza sebenarnya adalah bisa disembuhkan dengan sendiri nya oleh sistem imunitas tubuh manusia itu sendiri. Tanpa harus di blow up dan dibesar-besarkan dengan propaganda. Tentunya para dokter, tenaga medis, ahli kesehatan, ahli mikrobiologi dan masyarakat yang paham pun sudah tahu akan hal ini.

Berbicara gejala-gejala awal nya pun tidak berbeda dengan gejala terpapar virus flu lain nya. Seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, dan meriang. Karena memang tubuh manusia yang terpapar virus sudah pasti dengan alami akan bereaksi dengan sistem kekebalan imunitas dalam tubuh manusia itu sendiri. Paling tidak ada reaksi tubuh dalam membentengi diri nya dari penyusup asing. 

Namun yang sedikit aneh, pada kasus covid-19 ini, ada istilah baru yang di blow up oleh media dari sebagian kecil pendapt tenaga medis yaitu adanya orang tanpa gejala ( OTG ). Ini tentu saja aneh dan paradoks dengan realitas selama ini. Bagaimana bisa seseorang yang dirinya kemasukan dan terpapar virus, tubuh nya bisa mampu merespon penyusup asing tanpa adanya gejala reaksi perlawanan terhadap virus tersebut? Ini sama saja menyamakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri dengan penyakit serangan jantung yang tanpa gejala apapun. Padahal sangat berbeda, serangan jantung jelas sangat bisa tanpa gejala, karena memang bukan penyakit tetapi kelainan bawaan pada organ tubuh manusia. Tapi tidak demikian dengan penyakit karena virus dan bakteri.  Pernyataan ini seperti bagian dari pengkondisian kepada masyarakat luas untuk menghindari bersosialisasi dengan orang-orng yang sehat sekalipun. Aneh.

Belum lagi hal paradoks yang terjadi pada saat seseorang di test covid-19 dengan metode rapid tes, saat tubuh terdeteksi mengalami reaksi imunitas untuk dapat membentengi tubuh nya, maka dikatakan orang tersebut hasil nya positif covid-19, ternyata ini telah menjadi stigma negatif di masyarakat umum yang tentu saja menjadi momok mengkhawatirkan banyak orang karena mendapat vonis positif.

Padahal itu adalah hal yang sangat wajar. Terjadi reaksi karena sistem imunitas tubuh bekerja dengan alami untuk menghalau penyusup asing apapun yang masuk ke dalam tubuh. Paradoks bukan dengan istilah baru OTG di atas? Seakan akan menjadikan OTG saja harus diwaspadai dan disalahkan menjadi carrier penyebar virus?  

Keadaan seperti ini tentunya akan semakin membuat rancu di masyarakat luas, masyarakat jadi gamang akan pernyataan pernyataan baru karena diekpos dan diblow up melalui media sosial dan media-media online yang sekarang sudah menjadi kan mereka sebagai pembuat legitimasi dan pola pikir dalam kehidupan manusia modern. Paling tidak ini terbukti, toh hampir sebagian nya mempercayai nya dan sangat- sangat ketakutan.

Dari penjelasan di atas maka bisa diambil kesimpulan, bahwa sebab kasus pandemi covid-19 ini heboh dan hiperbola, tak lain dan tak bukan kembali ke prolog tulisan ini di awal. Apalagi kalau bukan media sosial dan media online yang di tunggangi untuk memblow up kasus ini. Ditambah lagi media sosial digunakan secara bebas tidak bertanggung jawab oleh para pengguna nya, baik individu maupun institusi media. Media sosial yang populer saat ini, di tambah situs media media oonline lain nya sudah menjadi dewa bagi kebanyakan orang dalam berinteraksi sehari hari. Hampir setiap detik, 80 persen masyarakat luas pengguna nya melalui media sosial di bombardir dan diserang dengan berita, gambar dan video terkait wabah pandemi covid-19 ini. Kebanyakan menyebarkan konten yang negatif menakutkan, mencekam dan mengerikan akan dampak covid-19 ini. Sangat langka ditemukan berita-berita yang positif, berimbang dan menggembirakan seperti kesembuhan, transparansi sifat penularan virus nya, dan berita berita aktifitas normal masyarakat yang berada di wilayah zona hijau. Semua bercampur antara berita yang benar, agak benar, sedikit benar, kurang benar dan hoax, semua nya dengan beragam narasi yang hiperbola dan cenderung tendensius.

Namun kenyataan nya masyarakat masih belum sadar, mereka masih latah ikut-ikutan dan masih senang menshare berita informasi, foto, dan video yang mencekam seperti dampak penyakit nya, situasi rumah sakit, keadaan panic buying, korban-korban yang berjatuhan di jalanan ( padahal bukan karena covid-19 dinarasikan akibat covid-19 ), kemudian status penambahan data dan angka orang yang mati ( padahal mati nya bukan karena covid-19 ) serta berita-berita kericuhan dan intimidasi aparat terhadap para suspek covid-19 di negara-negara terdampak berat, semua nya negatif.

Pada dasarnya hal di atas malah semakin membuat ketakutan di masyarakat luas pengguna media internet. Tetapi justru malah bangga bisa menshare ke grup-grup whatsapp, bahkan kalau bisa mereka adalah orang pertama yang melakukan nya. Mereka tidak sadar justru mereka menjadi penyebar kegelisahan dan kekhawatiran kepada masyarakat banyak. Betapa cepat nya menjadi viral, bak cahaya kilat menyambar, sepersekian detik telah sampai berita, foto dan video tersebut ke tempat yang nun jauh di sana sekalipun.

CAMKAN LAH INI : "SOCIAL MEDIA IS ACTUALLY TRUE SPREADING OF DISEASE".

Waspada dan hati-hati itu wajib, tidak hanya pada saat ada kejadian covid-19 saja. Yang perlu diketahui agar masyarakat bisa menjadi tenang, bahwa pandemi sekarang ini tidak ada beda nya seperti kasus-kasus wabah pandemi virus sebelum nya. Kasus covid-19 ini sejatinya tidak berbeda cara penanganan dan antisipasi nya dengan wabah pandemi virus-virus penyakit lain nya penyebab penyakit SARS/H5N1/H1N1 atau MERS. Dan seperti juga virus SARS/Flu burung/flu babi dan MERS, proses sifat penyebaran virus nya pun bukan dari udara yang bergerak kemudian terbang melayang-layang, tetapi hanya melalui percikan cairan droplet yang keluar dari mulut dan hiding penderita melalui batuk/bersin atau berbicara dan kemudian menempel pada media yang terkena percikan droplet tersebut. Sama bukan? Tidak ada beda nya.

Banyak masyarakat yang lupa kalau kejadian luar biasa wabah pandemi virus juga pernah mampir menyerang Indonesia beberapa dekade lalu, tetapi karena masyarakat saat itu tidak berinteraksi secara masif kepada media sosial dan media online, maka tidak ada dampak nya sama sekali dengan kehidupan normal. Dan kasus nya pun tidak bisa diblow up secara hiperbola oleh media sosial dan media online. 

Tentu saja penjelasan di atas dapat dijadikan penyebab utama kenapa kasus pandemi covid-19 sekarang ini menjadi menyeramkan dan begitu mengkhawatirkan dibuat berlebihan dan hiperbola. Tentunya masyarakat luas bisa memahami dengan raaionalitas yang tinggi, jangan menjadi orang yang melampaui batas, sampai-sampai manjadi takut akhirnya panik dan paranoid. Memang serangan bertubi-tubi dari medsos dan medol lainnya tanpa di sadari telah menjadikan masyarakat luas seperti sapi yang dicokok hidung nya, menerima informasi dan menelan semua nya tanpa saringan, lalu ikut berperan penting menyebarkan kekacauan mental secara masif tak terkontrol serta merta membumbui nya dengan cerita-cerita retorika bernarasi mencekam dan hiperbola yang malah semakin membuat resah gelisah, khawatir masyarakat luas. See?

Padahal dulu sebelum masyarakat disibukan setiap hari nya oleh WhatsApp, sebelum Facebook, twitter, instagram ramai dan marak, sebelum banyak nya media online yang tumbuh bak jamur, Alhamdulillah, masyarakat luas cukup tenang dan terkendali dalam menghadapi wabah pandemi virus mematikan SARS/H5N1/H1N1 dan MERS saat itu. Karena informasi hanya terpusat dari televisi, radio dan surat kabar/koran cetak, Pemerintah satu suara mengambil alih penuh mitigasi kasus nya, bertanggung jawab dengan informasi yang akurat, tidak sembarangan orang  ikut-ikutan memperkeruh situasi dengan menshare, swafoto, dan swavideo ngomong macam-macam di media sosial. Lihat lah sekarang, hampir setiap orang ikut andil menyebarkan berita kasus tanpa paham dampak nya untuk masyarakat luas.

Ya sekarang anda semua bisa melihat sendiri apa yang terjadi akibat dampak buruk dari serangan media sosial dan media online ini. Miris sekali memang! Dan diterima atau tidak, ini semua sejatinya merupakan bagian penting dari sebuah gerakan propaganda, yang sudah pasti ada agenda terselubung di balik wabah pandemi covid-19 ini. 

Problem, reaksi dan mitigasi serta istilah-istilah yang sekarang diblow up di atas tadi, bisa jadi menandakan adanya program agenda-agenda tersembunyi untuk mengubah pola tatanan kehidupan masyarakat dunia menjadi new normal dengan maksud tujuan membuat sekat-sekat pembatas antara masyarakat dan budaya nya. Apalagi kalau mau jujur, kasus covid-19 ini sebenarnya hanya merupakan pengulangan dari peristiwa-peristiwa yang sama dari banyak nya kasus wabah pandemi virus sebelum ini. Hanya saja mitigasi nya yang dibuat berbeda. Percayalah. 

Lihatlah secara rasional dan normal :

Mengapa pada masa pandemi besar SARS, H5N1 ataupun MERS pada rentang 1-2 dekade lalu penanganan mitigasi nya tidak seheboh di blow up seperti covid-19 ?

Padahal sifat, cara virus menyebar dan penularan nya sama?
Semua nya turunan dari strain virus Influenza.

Padahal juga kalau mau jujur, merujuk data² angka dan fakta mengenai tingkat fatality death rate ( rasio kematian fatal ) covid-19 ini masih jauh lebih kecil dibanding H5N1 yg mencapai 10%, SARS yg mencapai 14-15%, maupun MERS yg bahkan paling mematikan mencapai 34%. Bandingkan dengan covid-19 yg hanya sekitar 5,7 - 6%.
Bahkan kalau dilihat dari fatality infectious rate nya, covid-19 juga masih jauh lebih sedikit dibanding H1N1 tahun 2009 yg mencapai 500 juta - 2,4 milyar orang terinfeksi. Bandingkan dengan covid-19 yang menginfeksi 7 juta hingga saat ini.

Mungkin ada baik nya di tela'ah pernyataan ini dengan seksama : COVID-19 BERAKHIR JIKA MEDIA SOSIAL DAN MEDIA ONLINE BERHENTI MEMBERITAKAN DAN MEMBLOW UP NYA.

Maka cukupkan lah dengan ikhtiar diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Kelola manajemen perorangan dengan stay alert-tetap waspada dan prevent panic-hindari kepanikan. Batasi interaksi berlebihan dengan medsos, kalau perlu di saat sekarang ini tinggalkan melihat berita berita menyedihkan, menyeramkan dan mencekam tentang covid-19, pilihlah 1 atau 2 saluran informasi yang berimbang saja, dari instansi resmi pemerintah, jangan ikut-ikutan latah menshare berita, gambar dan video yang menyedihkan dan mencekam gak jelas kronologis nya tentang covid-19, jangan menjadi bangga dengan menshare hal-hal tersebut, hidup lah dengan pola kesehatan yang seimbang, jagalah kebersihan sekitar anda mulai dari yang kecil, rajin mencuci tangan sehabis berpergian dan cucilah muka, atau mandi, makan makanan yang bergizi dan bernutrisi, dan hidup dan berinteraksi lah dengan normal dan tetap beraktivitas seperti biasa. Dan yang paling penting selalu memanjatkan doa kepada Allah, memohon dengan ikhlas dan khusyu agar badai wabah pandemi covid-19 ini cepat berlalu, dan berdoa memohon agar kita semua terhindar dari penyakit covid-19 ini. That's all enough.

Semoga kita semua nya selalu dalam perlidungan Allah Azza Wajalla dari semua hal wabah penyakit yang buruk, khusus nya covid19 ini seeta dampak malapetaka nya. Aamiiin Allahumma aamiiin Yaa Robbal'alamiin.

Wallahul Musta'an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun