Mohon tunggu...
Arief Riady
Arief Riady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Sosial - Gemstone Lover

1 + 1 = ~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hiperbola Covid-19 yang dikondisikan.

19 Maret 2020   13:00 Diperbarui: 20 Juni 2021   13:28 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau mau jujur, tanpa blow up media sosial dan media online, covid-19 ini tidak ada apa-apa nya, tidak akan ada ketakutan, dan tidak akan ada kondisi seperti sekarang ini. Hal ini kan sudah dibuktikan dengan kasus wabah pandemi virus corona SARS, MERS, H5N1 dan H1N1 beberapa dekade lalu yang walaupun telah menjadi outbreaks ke seluruh penjuru dunia saat itu tetapi tidak dapat dibesar-besarkan kasus nya menjadi kasus hiperbola, karena saat itu peran media sosial dan media online tidak populer dan tidak bisa di maksimalkan tujuan penggunaan nya, karena masyarakat luas belum memiliki akses langsung kepada perangkat seluler dan aplikasi nya.

Kalau mau rasional dan transparan pandemi Covid-19 ini setali tiga uang dengan kasus pandemi virus SARS, H5N1, MERS, dan H1N1. Semua nya tanpa terbantahkan oleh para ahli kesehatan, termasuk jenis turunan strain virus Influenza, dengan potensi bahaya, sifat, dan cara penularan yang sama melalui droplet cairan batuk, bersin, bicara muncrat air liur nya tumpah ke udara dan residu droplet nya menempel di benda apa saja yang bisa terkena kepada orang lain.  

Perlu digaris bawahi dengan tinta tebal, bahwa semua yang meninggal itu karena penyakit infeksi sekunder nya yang memang sudah parah akut dan kronis, seperti karena sakit radang paru-paru Pneumonia, yang kita ketahui bersama bahwa  penyebab nya bukan lagi virus nya tapi disebabkan oleh bakteri jenis Pneumococcus. Bukan karena covid-19 nya. Karena sejatinya sifat semua virus strain influenza sebenarnya adalah bisa disembuhkan dengan sendiri nya oleh sistem imunitas tubuh manusia itu sendiri. Tanpa harus di blow up dan dibesar-besarkan dengan propaganda. Tentunya para dokter, tenaga medis, ahli kesehatan, ahli mikrobiologi dan masyarakat yang paham pun sudah tahu akan hal ini.

Berbicara gejala-gejala awal nya pun tidak berbeda dengan gejala terpapar virus flu lain nya. Seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, dan meriang. Karena memang tubuh manusia yang terpapar virus sudah pasti dengan alami akan bereaksi dengan sistem kekebalan imunitas dalam tubuh manusia itu sendiri. Paling tidak ada reaksi tubuh dalam membentengi diri nya dari penyusup asing. 

Namun yang sedikit aneh, pada kasus covid-19 ini, ada istilah baru yang di blow up oleh media dari sebagian kecil pendapt tenaga medis yaitu adanya orang tanpa gejala ( OTG ). Ini tentu saja aneh dan paradoks dengan realitas selama ini. Bagaimana bisa seseorang yang dirinya kemasukan dan terpapar virus, tubuh nya bisa mampu merespon penyusup asing tanpa adanya gejala reaksi perlawanan terhadap virus tersebut? Ini sama saja menyamakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri dengan penyakit serangan jantung yang tanpa gejala apapun. Padahal sangat berbeda, serangan jantung jelas sangat bisa tanpa gejala, karena memang bukan penyakit tetapi kelainan bawaan pada organ tubuh manusia. Tapi tidak demikian dengan penyakit karena virus dan bakteri.  Pernyataan ini seperti bagian dari pengkondisian kepada masyarakat luas untuk menghindari bersosialisasi dengan orang-orng yang sehat sekalipun. Aneh.

Belum lagi hal paradoks yang terjadi pada saat seseorang di test covid-19 dengan metode rapid tes, saat tubuh terdeteksi mengalami reaksi imunitas untuk dapat membentengi tubuh nya, maka dikatakan orang tersebut hasil nya positif covid-19, ternyata ini telah menjadi stigma negatif di masyarakat umum yang tentu saja menjadi momok mengkhawatirkan banyak orang karena mendapat vonis positif.

Padahal itu adalah hal yang sangat wajar. Terjadi reaksi karena sistem imunitas tubuh bekerja dengan alami untuk menghalau penyusup asing apapun yang masuk ke dalam tubuh. Paradoks bukan dengan istilah baru OTG di atas? Seakan akan menjadikan OTG saja harus diwaspadai dan disalahkan menjadi carrier penyebar virus?  

Keadaan seperti ini tentunya akan semakin membuat rancu di masyarakat luas, masyarakat jadi gamang akan pernyataan pernyataan baru karena diekpos dan diblow up melalui media sosial dan media-media online yang sekarang sudah menjadi kan mereka sebagai pembuat legitimasi dan pola pikir dalam kehidupan manusia modern. Paling tidak ini terbukti, toh hampir sebagian nya mempercayai nya dan sangat- sangat ketakutan.

Dari penjelasan di atas maka bisa diambil kesimpulan, bahwa sebab kasus pandemi covid-19 ini heboh dan hiperbola, tak lain dan tak bukan kembali ke prolog tulisan ini di awal. Apalagi kalau bukan media sosial dan media online yang di tunggangi untuk memblow up kasus ini. Ditambah lagi media sosial digunakan secara bebas tidak bertanggung jawab oleh para pengguna nya, baik individu maupun institusi media. Media sosial yang populer saat ini, di tambah situs media media oonline lain nya sudah menjadi dewa bagi kebanyakan orang dalam berinteraksi sehari hari. Hampir setiap detik, 80 persen masyarakat luas pengguna nya melalui media sosial di bombardir dan diserang dengan berita, gambar dan video terkait wabah pandemi covid-19 ini. Kebanyakan menyebarkan konten yang negatif menakutkan, mencekam dan mengerikan akan dampak covid-19 ini. Sangat langka ditemukan berita-berita yang positif, berimbang dan menggembirakan seperti kesembuhan, transparansi sifat penularan virus nya, dan berita berita aktifitas normal masyarakat yang berada di wilayah zona hijau. Semua bercampur antara berita yang benar, agak benar, sedikit benar, kurang benar dan hoax, semua nya dengan beragam narasi yang hiperbola dan cenderung tendensius.

Namun kenyataan nya masyarakat masih belum sadar, mereka masih latah ikut-ikutan dan masih senang menshare berita informasi, foto, dan video yang mencekam seperti dampak penyakit nya, situasi rumah sakit, keadaan panic buying, korban-korban yang berjatuhan di jalanan ( padahal bukan karena covid-19 dinarasikan akibat covid-19 ), kemudian status penambahan data dan angka orang yang mati ( padahal mati nya bukan karena covid-19 ) serta berita-berita kericuhan dan intimidasi aparat terhadap para suspek covid-19 di negara-negara terdampak berat, semua nya negatif.

Pada dasarnya hal di atas malah semakin membuat ketakutan di masyarakat luas pengguna media internet. Tetapi justru malah bangga bisa menshare ke grup-grup whatsapp, bahkan kalau bisa mereka adalah orang pertama yang melakukan nya. Mereka tidak sadar justru mereka menjadi penyebar kegelisahan dan kekhawatiran kepada masyarakat banyak. Betapa cepat nya menjadi viral, bak cahaya kilat menyambar, sepersekian detik telah sampai berita, foto dan video tersebut ke tempat yang nun jauh di sana sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun