Kuperhatikan orang itu, laki-laki empat puluh tahunan itu mengenakan kaos warna hijau yang bolong di beberapa bagiannya. Belum lagi, aku bisa melihat kalau lelaki itu tak sempurna pada fisiknya. Entahlah, bawaan lahir atau memang kakinya terpasa harus diamputasi, yang jelas orang itu kesulitan berjalan. Aku mengerti, Nadira hendak memberikan uang pada orang itu, maka kuberhentikan mobil tepat di samping bapak tadi agar memudahkan Nadira untuk memberinya uang.
“Ini, Pak. Mohon diterima, mudah-mudahan bisa membantu,” katanya.
“Terima kasih, Neng ... terima kasih banyak,” ucapnya. Aku menilai kalau bapak itu tampak senang dengan pemberian Nadira.
“Sama-sama.”
Aku selalu suka dengan kepedulian sosial perempuan yang kukenal semenjak SMA itu. Aku segera melajukan mobil ke tempat tujuan.
***
Film pendek karya kami mendapat tiga penghargaan langsung untuk kategori Sutradara Terbaik, Skenario Terbaik, juga Film Terbaik. Kerja keras kami selama tiga bulan belakangan ini terbayar. Hasil tidak mengkhianati usaha, begitu yang kuyakini.
“Hasil pengamatan di jalan yang luar biasa,” seru Edgar bersemangat. Dia masih meniman-nimang tiga plakat yang didapat.
“Betul! Gua udah duga kalau ide ini, sederhana tapi nyentuh fenomena sosial banget,” Nadira menambahkan. Sepertinya urusan politisi itu sudah tidak lagi mengganggu pikirannya.
Aku hanya tersenyum sambil mengemudikan mobil. Sudah lewat tengah malam, kupikir harus segera mengantarkan Nadira pulang.
Di Tugu Adipura, mataku menangkap sosok yang tidak asing. Laki-laki dengan kaos hijau yang lusuh. Laki-laki empat puluh tahunan yang diberi uang Nadira karena kasihan melihat fisiknya yang tidak sempurna. Aku melihatnya dengan jelas, dia bersama perempuan dengan pakaian yang sama lusuhnya, sama kotornya. Dan laki-laki itu berjalan, dengan kedua kakinya.