Nadira mengangguk
“Waktu itu gua tanya, Jendela ini mau jalan dengan bagaimana? Dan lu jawab dengan lantang ... “Gua pengen manfaatin relasi, gua pengen anak muda gerak, gua pengen orang-orang di sekitar gua sadar kalau hal yang macem ini itu penting. Udah seharusnya kita berbuat untuk masa depan bangsa kita sendiri. Enggak ada salahnya kita patungan, enggak ada salahnya kalau gua minta bantuan ke teman, senior dan junior buat diriin ini rumah baca. Gua pengen generasi kita gerak sendiri, males minta bantuan pemerinta karena birokrasi yang ruwet. Lagian, kalau gini doang, mah peluang jalannya besar,” Itu, lu bilang gitu, ingat?” kali ini aku bertanya.
Nadira mengangguk. Edgar memerhatikanku.
“Sekarang komunikasi aja yang benar sama itu politisi, jelasin apa itu Jendela, konsepnya bagaimana. Kalau dia kasih bantuan, ambil. Tapi kalau minta feedback yang enggak-enggak, mending apa-apa yang dikasih pulangin. Lu masih punya teman, gua masih banyak teman. Insya Allah Jendela masih bakal terus berdiri, enggak usah takut,” ucapku panjang lebar.
Edgar mengangguk. “Betul, Ra. Masih ada kita-kita,” tambahnya. “Tenang aja, nanti kalau perlu Anggi ikut ngomong—jelasin yang sejelas-jelasnya apa itu Jendela. Kalau perlu, minta itu politisi buka topeng!”
“Ah, udah. Gua mau salat magrib dulu, kalian tunggu sini,” aku lantas beringsut dari dudukku, segera menuju mushola yang posisinya tidak jauh dari tempat makan.
***
Selesai salat magrib kami melanjutkan perjalanan kembali. Kalau tidak macet, setengah jam kami sudah sampai dilokasi.
“Gi, bentar,” Nadira menginterupsi saat kamu mulai menginjak pedal gas.
“Ada apa?” Edgar yang bertanya, dia duduk di kursi belang.
Nadira menunjuk tuna wisma yang tengah duduk sambil menengadahkan tangannya ke arah pengunjung kedai yang datang.