Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Topeng

4 Juni 2017   21:19 Diperbarui: 5 Juni 2017   04:28 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pict by Freepik.com

“Lu tahu, gua diriin Jendela bukan buat ajang politik. Tapi politisi keparat itu terus aja mepet gua biar namanya bisa nampang. Kalo niat mau bantu, ya bantu ajakan, cukup,” Nadira terlihat meluap-luap menceritakan kekesalannya. Tangannya memutar-mutar sedotan di gelas berisi jus semangka yang sudah tinggal setengah.

Aku melirik Edgar yang sedang sibuk mengetik. “Masalahnya, di mana orang di jaman sekarang apalagi dia politikus yang mau menggratiskan bantuan. Enggak ada!”

“Citra,” sambungku.

Nadira mendengus, menaikkan lengan kemeja kirinya sedikit. “Dikira citra mau dibawa sampe mati, apa?”

“Citra itu penting, Ra. Tujuannya jelas, biar dapat simpati masyarakat. Ujungnya ...,” Edgar berhenti dengan ucapannya. Dia menarik napas sejenak, memindahkan pandangannya dari layar laptop ke Nadira. “Bertahan lama di pemerintahan. Trik basi,” katanya kemudian.

Aku memerhatikan keduanya saling tatap, tanpa mau mengomentari lagi apa yang diucapkan Nadira maupun Edgar. Aku hanya menyadari bahwa apa yang menjadi pembicaraan kami mulai mengusik pengunjung lain. Apalagi dengan tutur Nadira yang menggebu-gebu. Kehadira Edgar pun tidak membantu, karena Edgar tipe orang yang provokatif.

“Perlu dicatat, Ra. Kita masih hidup di era manusia yang bertopeng itu jauh lebih banyak dapat simpati dibandingkan mereka yang masang wajah asli,” Edgar kembali bersuara.

***

Kami tengah dalam perjalan menghadiri malam penganugerahan festival film di Serpong sebenarnya. Karena sudah magrib, Nadira memintaku untuk mencari tempat makan. “Mending lo buka puasa dulu, Gi! Gua sama Egar sih enggak puasa,” katanya tadi. Maka di sinilah kami, di Pengayoman—di belakang pom Bensin dekat dengan Tang-City Mall. Di sini Berjejer kios-kios yang menjual aneka kudapan lezat dari mulai nasi goreng sampai sop iga.

Dari yang tadi niatnya hanya mau buka puasa, sekarang aku harus menengarkan curhatan Nadira yang sebenarnya dalam perjalanan tadi pun sudah meletup.

“Silakan, Mas, Mbak,” Pelayan menyajikan masakan pesanan kami. Dua porsi Nasi Ayam Bakar dan es teh untukku dan Edgar, sedangkan pesanan Nadira sudah dari tadi dibawakan. Ya, jus semangka.

“Makasih,” Edgar yang menanggapi. Dia lantas menggeser laptopnya.

Sudah setahun ini Nadira dan beberapa teman kuliahnya mengadakan kegiatan sosial. Menyewa rumah di salah satu desa tak jauh dari rumahnya, kemudian menyulapnya menjadi rumah belajar. Perpustakaan kecil-kecilan di bangun di sana—tentu saja masih dengan koleksi buku seadannya yang kebanyakan sumbangan dari teman-temannya—dan tiap minggu, dia rutin mendatangkan guru untuk belajar Bahasa Inggris juga Matematika—yang juga teman dan kakak tingkatnya semasa sekolah yang sudah menyelesaikan pendidikan dan berprofesi sebagai guru.

Intinya, dia akan ‘memanfaatkan’ relasi dengan amat baik untuk rumah belajar yang dikelolanya. Jendela, begitu tempat itu disebut sudah menampung sekitar 30 anak yang mau belajar dari sekitaran tempat itu berdiri. Dan sampai saat ini sudah banyak simpati yang berdatangan dari mulai menyumbang buku sampai membayarkan biaya sewa tiap bulannya. Bahkan tak jarang ada juga yang membawakan kudapan untuk anak-anak yang belajar di sana. Kupikir adik kelasku ini cukup sukses mengelola apa yang tengah dirintisnya.

Seperti yang kubilang tadi, rumah belajar yang dirintisnya ini mendapat sorotan cukup banyak orang. Mendapat simpati dari berbagai kalangan, salah satunya politisi yang sejak tadi menjadikan Nadira gundah gulana. Bagaimana tidak, mula-mula sang politisi datang terlampau sering dengan memberikan banyak buku-buku anak baru—yang memang dibutuhkan Nadira dan kawan-kawannya. Lama-lama si politisi itu memaksanya menerima bantuan jauh lebih besar dengan timbal balik si politisi dicantumkan namanya sebagai dewan pengasuh di Jendela. Tujuannya tentu untuk mendapatkan nama. Simpati yang datang tentu tidak hanya untuk Jendela, tapi juga untuknya.

Apa yang diucapkan Edgar kiranya memang benar, pejabat lebih sering mengenkan topeng daripada menampakkan wajah aslinya.

“Terus sekarang apa?” tanya Edgar, sambil mengunyah makanannya.

“Ya gua enggak mau terima. Enak aja!”

Edgar menyesap es teh miliknya, “Ya tinggal ditolak.”

“Bisa enggak sih, kita enggak kayak orang kebanyakan?” Aku menyelak sebelum Nadira menjawab apa yang baru saja dilontarkan Edgar. Keduanya saling pandang. “Kita lagi makan,” kataku cepat.

“Ya abis gua kesel, Gi! itu politisi hampir setiap hari ngirim koncoya buat bicarain ginian, bikin anak-anak enggak nyaman belajar."

Aku menghentikan aktivitas mengunyahku, menyesap minuman lalu menatap Nadira lekat-lekat. “Oke gini, Gua dari awal lu bilang bahwa mau buat rumah belajar itu amat sangat dukung.

Nadira mengangguk

“Waktu itu gua tanya, Jendela ini mau jalan dengan bagaimana? Dan lu jawab dengan lantang ... “Gua pengen manfaatin relasi, gua pengen anak muda gerak, gua pengen orang-orang di sekitar gua sadar kalau hal yang macem ini itu penting. Udah seharusnya kita berbuat untuk masa depan bangsa kita sendiri. Enggak ada salahnya kita patungan, enggak ada salahnya kalau gua minta bantuan ke teman, senior dan junior buat diriin ini rumah baca. Gua pengen generasi kita gerak sendiri, males minta bantuan pemerinta karena birokrasi yang ruwet. Lagian, kalau gini doang, mah peluang jalannya besar,” Itu, lu bilang gitu, ingat?” kali ini aku bertanya.

Nadira mengangguk. Edgar memerhatikanku.

“Sekarang komunikasi aja yang benar sama itu politisi, jelasin apa itu Jendela, konsepnya bagaimana. Kalau dia kasih bantuan, ambil. Tapi kalau minta feedback yang enggak-enggak, mending apa-apa yang dikasih pulangin. Lu masih punya teman, gua masih banyak teman. Insya Allah Jendela masih bakal terus berdiri, enggak usah takut,” ucapku panjang lebar.

Edgar mengangguk. “Betul, Ra. Masih ada kita-kita,” tambahnya. “Tenang aja, nanti kalau perlu Anggi ikut ngomong—jelasin yang sejelas-jelasnya apa itu Jendela. Kalau perlu, minta itu politisi buka topeng!”

“Ah, udah. Gua mau salat magrib dulu, kalian tunggu sini,” aku lantas beringsut dari dudukku, segera menuju mushola yang posisinya tidak jauh dari tempat makan.

***

Selesai salat magrib kami melanjutkan perjalanan kembali. Kalau tidak macet, setengah jam kami sudah sampai dilokasi.

“Gi, bentar,” Nadira menginterupsi saat kamu mulai menginjak pedal gas.

“Ada apa?” Edgar yang bertanya, dia duduk di kursi belang.

Nadira menunjuk tuna wisma yang tengah duduk sambil menengadahkan tangannya ke arah pengunjung kedai yang datang.

Kuperhatikan orang itu, laki-laki empat puluh tahunan itu mengenakan kaos warna hijau yang bolong di beberapa bagiannya. Belum lagi, aku bisa melihat kalau lelaki itu tak sempurna pada fisiknya. Entahlah, bawaan lahir atau memang kakinya terpasa harus diamputasi, yang jelas orang itu kesulitan berjalan. Aku mengerti, Nadira hendak memberikan uang pada orang itu, maka kuberhentikan mobil tepat di samping bapak tadi agar memudahkan Nadira untuk memberinya uang.

“Ini, Pak. Mohon diterima, mudah-mudahan bisa membantu,” katanya.

“Terima kasih, Neng ... terima kasih banyak,” ucapnya. Aku menilai kalau bapak itu tampak senang dengan pemberian Nadira.

“Sama-sama.”

Aku selalu suka dengan kepedulian sosial perempuan yang kukenal semenjak SMA itu. Aku segera melajukan mobil ke tempat tujuan.

***

Film pendek karya kami mendapat tiga penghargaan langsung untuk kategori Sutradara Terbaik, Skenario Terbaik, juga Film Terbaik. Kerja keras kami selama tiga bulan belakangan ini terbayar. Hasil tidak mengkhianati usaha, begitu yang kuyakini.

“Hasil pengamatan di jalan yang luar biasa,” seru Edgar bersemangat. Dia masih meniman-nimang tiga plakat yang didapat.

“Betul! Gua udah duga kalau ide ini, sederhana tapi nyentuh fenomena sosial banget,” Nadira menambahkan. Sepertinya urusan politisi itu sudah tidak lagi mengganggu pikirannya.

Aku hanya tersenyum sambil mengemudikan mobil. Sudah lewat tengah malam, kupikir harus segera mengantarkan Nadira pulang.

Di Tugu Adipura, mataku menangkap sosok yang tidak asing. Laki-laki dengan kaos hijau yang lusuh. Laki-laki empat puluh tahunan yang diberi uang Nadira karena kasihan melihat fisiknya yang tidak sempurna. Aku melihatnya dengan jelas, dia bersama perempuan dengan pakaian yang sama lusuhnya, sama kotornya. Dan laki-laki itu berjalan, dengan kedua kakinya.

“Ada apa, Gi?” Nadira bertanya.

Aku langsung mengalihkan kembali pandanganku ke jalan, “Enggak apa-apa.”

“Nyetir yang bener, Lay! Entar nabrak, lagi. Udah malem ini!” Edgar menanggapi.

Selesai ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun