"Tapi kenapa? Apa sebenarnya arti hubungan kita di matamu? Aku menunggui tanpa kabar sama sekali. Kamu bilang yang memberikan umur untuk hubungan jarak jauh seperti ini hanya komunikasi, Jar. Aku manut. Dan … aku butuh itu sepuluh tahun ini. Tapi kamu, kamu kemana?" Kali ini tubuh itu ambruk, lutut Nisa menubruk lantai—berlutut.
Fajar ikut berlutut menghadap Nisa, dia segera meraup wajah itu. Wajah yang selalu dia rindukan. Iya tahu, wajah itu kini terluka. Rambutnya yang tergerai itu menutupi sebagian dari wajahnya. Fajar segera menyeka rambut itu kebelakang telinga Nisa, kemudian kedua ibu jarinya dikomando untuk menyeka air matanya.
"Aku hanya tidak ingin calon istriku dinafkahi oleh seorang tukang tato," ucap Fajar pelan namun penuh makna. "Aku kembali sebagai orang baru, bukan si pembuat tato." Detik berikutnya kedua tangan itu menghambur memeluk Nisa. Mengusap punggungnya, dan bibir itu mengcup keningnya. Pelukan itu dibalas Nisa. Penantian lamanya telah berakhir hari ini. Rasa benci luruh bersamaan dengan datangnya perasaan bahagia yang membuncah.
"Maafkan Paman." Tanpa sadari keduanya, seseorang ikut bergabung. Tangan yang sudah ringkih itu kemudian memegang bahu Nisa juga Fajar. Keduanya kali ini menyadari siapa gerangan yang datang. "Maafkan Paman," ucap lelaki yang umurnya sudah melampaui setengah abad itu lagi. Kali ini lebih lirih, lebih mengungkap penyesalannya.
Selesai ...
Oleh: Rizky Kurniawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H