"Ini Mas," sambil terengah-engah Rio menyerahkan sebuah kunci. "Ini kunci motor saya, silahkan dipakai. Motornya itu," ucapnya lagi sambil menunjuk sebuah motor matic berwarna hitam yang diparkir di depan sanggar.
Dengan sedikit ragu Fajar mengambil kunci itu.
"Mbak Nisa pasti ada di rumah," ucap Rio berikutnya yang dibalas dengan anggukan Fajar. Fajar bergegas menghampiri motor yang terparkir itu dan melesatkannya.
Sepanjang perjalanan Nisa menangis tersedu-sedu. Perasaannya tidak bisa digambarkan siapapun. Dia tidak menyangka akan ada hari ini. Dia tidak menyangka sepuluh tahunnya menunggu telah berakhir hari ini. Dia rindu, tapi dia benci.
Mobil telah berhenti di rumah yang menjadi tempat tinggalnya bersama paman dan sepupunya Klara. Kedatangannya dengan terurai air mata tak ayal membuat Klara yang sedang kedatangan Heln dan anak-anaknya khawatir. Heln yang melihat itupun sama khawatirnya. Mereka berpandangan beberapa saat, kemudian beranjak hendak menghampiri Nisa. Namun langkah mereka berhenti saat melihat siapa yang berlari di belakang Nisa, seorang yang akrab—sangat akrab mungkin. Seseorang yang menghilang dari kehidupan Nisa sepuluh tahun lamanya.
"Nisa...," Fajar berhasil meraih tangan Nisa sesaat sebelum Nisa masuk ke dalam rumah.
Nisa tertarik kebelakang, dan berputar tepat diberanda rumah. Kali ini mereka berpandangan. Mata yang bahkan tak sanggup untuk dilihatnya lagi. Pandangan meneduhkan itu lagi. Kerinduan itu lagi. Kali ini hatinya luluh tidak mencoba berontak atau beranjak. Wajah itu ditatapnya lamat-lamat. Tetap tampan. Hidung mancung itu, mata cokelat muda itu. Sungguh ia rindu. Lelaki itu masih terlihat tampan walau beberapa helai rambutnya sudah berwarna putih. Jas yang dikenakan Fajar membuatnya kelihatan lebih dewasa dan berwibawa. Candu itu datang lagi, tak sanggup rasanya jika menyuruhnya pergi. Dilema besar kini tengah mengungkung perasaan Nisa.
Lama keduanya bertatapan. Empat tangan dari dua manusia yang saling merindu itu bertautan, menghasilkan getaran kecil.
"Maafkan aku," ucap Fajar lirih.
"Dari mana saja kamu? Kenapa tidak pernah mengirimiku surel? Kenapa tidak membalas surel? Kenapa tidak sekali saja kamu mangabariku? Kenapa harus selama ini? Kenapa, Fajar? Kenapa?" Walau terbata Nisa berhasil mengungkapkan pertanyaan yang selalu menindih hatinya. Air mata itu masih mengalir.
"Maafkan aku," hanya itu kata yang mampu diucapkan Fajar. Dia merasa dosanya terlalu besar. "Maafkan aku, Nisa," ucap Fajar lagi.