Seharian Nisa memikirkan perkataan Heln kemarin siang, tentang pantas tidaknya hubungan ini jika masih dipertahankan. Ada rasa sesak saat Heln—sahabatnya—berkata seperti itu. Ucapan Heln memang benar. Namun begitu, Nisa masih berkeras untuk tetap mencoba bertahan.
"Ini cuma masalah waktu, Nisa. Tidak lama lagi semuanya jelas. Buat apa kamu susah payah bertahan, padahal orang yang kamu perjuangkan tidak peduli padamu sama sekali?" Ucap Heln dengan intonasi cukup keras sambil menatap tajam Nisa. Dan kata-kata itu berhasil menggaum di telinga Nisa sampai saat ini.
Naif rasanya jika Nisa tidak mengakui kalau hatinya gamang. Fisiknya berteriak ingin menyudahi saja. Namun perasaannya, seolah masih tak gentar menghadapi 'tantangan' ini.
***
Nisa sudah tidak membantu Heln di kedai kopinya. Sudah sebulan ini Nisa sibuk dengan butik kecil miliknya sendiri. Berbekal dua buah mesin jahit tua yang dibeli dari Ibu Heln, kios yang pernah berjaya sebagai tempat usaha—fotocopy—milik orang tuanya, kini kembali bergeliat secara perlahan. Walau beralih fungsi, namun dalam hatinya ada rasa bangga yang menguar. Dia selalu didampingi Klara, sepupunya. Biarpun masih sekolah, Klara tetap menjadi orang yang selalu diandalkan untuk urusan menjahit. Heln sesekali datang ke butik kecil miliknya untuk sekedar berkunjung atau menanyai kabar Fajar.
Dua tahun sudah Fajar hilang dari kehidupan Nisa. Tak ada yang tahu saat ini lelaki pujaannya itu ada di mana. Namun yang pasti, Nisa masih menunggu, menanti jawaban atas kepastian hubungan mereka. Heln sudah tidak lagi menyuruh Nisa untuk menyudahi hubungannya dengan Fajar. Sebab Heln tahu, betapapun kalimatnya tajam menghujam, Nisa tidak pernah gentar. Seperti ada perisai yang maha kuat, yang meneguhkan hatinya untuk tetap bertahan, walau kekasihnya tenggelam entah di mana.
Setiap hari sejak terakhir Fajar menghubunginya melalui telepon, Nisa tidak pernah absen untuk mengecek komputer. Barangkali ada surel yang masuk dari kekasihnya. Namun sayang, surel itu tak kunjung datang. Nama Fajar tidak pernah muncul. Entah badai macam apa yang membuatnya enggan menampakkan diri barang sebentar.
"Nisa, kamu tahu apa yang terjadi kemarin?" Teriak Heln saat baru tiba di butik milik Nisa. Tanpa memperdulikan ekspresi lawan bicaranya yang masih bingung, Heln kemudian menarik kursi ke hadapan Nisa. Wanita yang hari ini terlihat sumringah itu kemudian dengan anggun duduk di atasnya. Tangan kirinya memegang lengan kanan Nisa yang sedang memegang gunting. Nisa menghentikan aktifitasnya, dia tahu Heln minta diperhatikan.
"Ada apa?" Tanya Nisa.
Heln kemudian meletakkan tas yang sebelumnya tersampir di bahunya ke atas mesin jahit. Lalu kedua tangannya diletakkan di atas mesin jahit, mengetuk-ngetuk bagian yang seperti meja dengan sepuluh jarinya.
Nisa terlihat heran, dia memperhatikan gerak tangan sahabatnya tersebut. Beberapa detik Nisa terdiam, kemudian tersenyum ke arah Heln. Heln balas tersenyum padanya. "Ini sungguhan?" Tanya Nisa tak percaya.