Mohon tunggu...
Regulasi Kebijakan Komunikasi
Regulasi Kebijakan Komunikasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemilik

Blog ini dibuat oleh beberapa mahasiswa Ilmu Komunikasi Angkatan 2019 Universitas Atma Jaya Yogyakarta sebagai pemenuhan tugas Regulasi dan Kebijakan Komunikasi. Like dan comment dari pembaca akan sangat berarti bagi tugas kami. Terima Kasih!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kebijakan Komunikasi di Bidang Media Cetak Era Penjajahan Belanda sampai Tahun 1945

14 Maret 2021   21:25 Diperbarui: 16 Maret 2021   00:03 1859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. Kebijakan Komunikasi di Era Penjajahan Belanda

Abad 19

Pers Belanda sangat identik dengan sistem pemerintahan kolonial yang sangat otoriter dan dibatasi. Pada saat itu, media massa yang terlihat memiliki kemungkinan untuk mengeluarkan pendapat umum mengenai kebijakan pemerintah akan tidak mendapatkan izin terbit. 

Pada zaman ini kantor-kantor pers diperbolehkan dibuka namun apabila terdapat tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah, maka pemerintah akan melakukan penekanan dan hukuman yang diperlukan. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk menekan pers pada saat itu adalah  dengan mewajibkan pemberitaan atau pempublikasian ditinjau terlebih dahulu oleh pemerintah sehingga surat kabar tidak disebarkan secara bebas, contohnya surat kabar Javasche Courant. 

Pers awalnya dibentuk sebagai usaha orang Belanda namun pada perkembangannya juga menjadi pembawa kepentingan perusahaan perkebunan dan industri minyak, topik-topik tentang politik saat itu belum menjadi topik utama karena pemerintah Hindia Belanda sangat mengontrol berita yang dipublikasikan. 

Terdapat dua penggolongan pers, yaitu pers resmi dan pers tidak resmi. Pers Resmi adalah pers yang dimiliki oleh pemerintah dan setiap pemberitaannya sudah di cek oleh pemerintah atau sudah memiliki ijin edar. Contoh dari pers resmi yaitu Pers Belanda, di mana segala pemberitaannya harus disetujui oleh pemerintah. Sedangkan pers tidak resmi adalah perusahaan surat kabar baru yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Contoh pers tidak resmi adalah pers swasta.

Menjadi seorang redaktur pada zaman ini merupakan suatu hal yang berbahaya karena pengawasan yang ketat dari pemerintah, juga kebebasan pers yang terus digaungkan oleh wartawan pada saat itu seperti tidak membuahkan hasil. Bahkan, beberapa hukuman badan dan ancaman pembuangan diberlakukan kepada beberapa wartawan.

Peraturan Pertama Pers di Hindia Belanda

Peraturan ini dibuat pada tahun 1856 dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, bersifat pengawasan preventif. Isi dari peraturan ini dalam RR 1856 (KB 8 April 1856 Idn.Stb.no.74) antara lain: "Semua karya cetak sebelum diterbitkan, satu eksemplar harus dikirimkan dulu kepada pemerintahan setempat, pejabat justisi, dan Algemene Secretarie. Pengiriman ini harus dilakukan oleh pihak pencetak atau penerbitnya dengan ditandatangani. Kalau ketentuan itu tidak dipatuhi, karya cetak tersebut disita. Tindakan ini bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat penyimpanan barang-barang cetakan itu."

Abad 20

Pada abad ini, ada masalah menonjol dalam penerbitan surat kabar, yaitu larangan terbit atau "pembredelan". Hal tersebut membuat adanya surat kabar yang dilarang terbit dalam jangka waktu pendek dan juga tidak boleh terbit sama sekali lagi. Pada tahun 1906 terjadi perbaikan peraturan Drukpers-reglement yang dikeluarkan pada tahun 1856. Di tahun ini perbaikan disesuaikan dengan tuntutan keadilan akibat tekanan dari unsur-unsur demokratis, juga sistem sensor preventif dirasa merepotkan sehingga diganti menjadi pengawasan represif.

Perubahan yang dilakukan pada tahun ini menurut KB 19 Maret 106 Idn.Stb No. 270, dihapuskan ketentuan yang bersifat preventif sehingga penyerahan eksemplar kepada pejabat-pejabat tersebut dilakukan dalam kurun waktu 24 jam setelah barang cetak diedarkan. Apabila terjadi pelanggaran atas peraturan ini, tidak ada hukuman penyitaan namun denda antara f10-f100. Di tahun ini uang tanggungan sebesar f200-f5000 yang berlaku pada tahun 1859 juga telah dihapuskan.

Persbreidel Ordonantie 

Pers di tahun itu tampaknya mengalami perkembangan sebab  koran yang terbit kala itu berkembang dari yang awalnya berisi iklan lelang dan hiburan, berubah menjadi media publik yang berisi berita tentang kebijakan pemerintahan. Kritik dan tulisan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda mulai bermunculan.

Pada masa ini banyak wartawan dan politikus ternama, seperti Douwes Dekker. Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial melahirkan Persbreidel Ordonnantie yang didalamnya berisi: "Gubernur Jenderal bisa melarang percetakan, penerbitan, dan penyebaran surat kabar paling lama 8 hari. Namun jika surat kabar yang bersangkutan mengulanginya lagi, larangan terbitnya bisa lebih lama".

Ketentuan ini, menegaskan adanya larangan penerbitan bagi pers yang dinilai bisa mengganggu ketertiban umum dan melanggar kekuasaan pemerintahan Belanda kala itu. Apabila tulisan-tulisan itu mengalami perubahan dan dianggap melunak, maka larangan terbit bisa dicabut, namun jika tidak maka akan berlaku selama satu tahun.

Haatzai Artikelem

Haatzai Artikelem berisi pasal 154, 155, 156, dan 157. Disebut demikian karena pasal tersebut mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda (pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (Pasal 156 dan 157). Kelompok-kelompok penduduk yang dimaksud adalah "perbedaan" penduduk berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keturunan, dan suku. Haatzai Artikelem dibagi menjadi 2 kelompok: "Kejahatan Melanggar Ketertiban Umum" dalam pasal 154, 155, 156, 157 dan "Kejahatan Melanggar Kekuasaan Umum" dalam pasal 207 dan 208. 

Hukuman yang diberikan jika melanggar:

Pasal 154: Paling lama 7 tahun atau denda paling banyak 300 gulden

Pasal 155: Paling lama 4 tahun 6 bulan atau denda paling banyak 300 gulden

Pasal 156: Paling lama 4 tahun atau denda 300 gulden

Pasal 157: Paling lama 2 tahun 6 bulan atau denda paling banyak 300 gulden

Pasal 207: Paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda paling banyak 300 gulden

Pasal 208: Paling lama 4 bulan atau denda paling banyak 300 gulden

B. Kebijakan Pers Era Jepang

Sarana publikasi komunikasi diatur oleh penguasa Jawa-Madura (Balatentara XVI) dalam Undang-Undang No.16 tahun 1942. Hal yang paling menonjol yaitu berlakunya sistem izin terbit dan sensor preventif. Beberapa penerbitan media Indonesia berjalan di bawah kontrol ketat Jepang. Terdapat lima media yang diterbitkan Jepang untuk Jawa dalam rangka kepentingan propaganda, yaitu Asia Raya di Batavia, Tjahaja di Bandung, Sinar Baru di Semarang, Sinar Matahari di Yogyakarta, dan Suara Asia di Surabaya, serta terdapat majalah mingguan, Syu Shinbun di setiap daerah (Anom, E., & Waluyo, D., 2016). Terdapat 12 pasal dalam Undang-Undang No.16 tahun 1942, berikut beberapa pasal yang ditetapkan:

  • Pasal 1 menyatakan bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki izin publikasi atau izin terbit.
  • Pasal 2 melarang penerbitan yang sebelumnya memusuhi Jepang.
  • Pasal 3 menegaskan pelarangan penerbitan barang cetak yang bersifat harian, mingguan, bulanan dan yang tidak tentu jangka waktu terbitnya, kecuali telah mendapat izin. 
  • Ketentuan sensor preventif ada di pasal 4 yang menyatakan semua barang cetakan, sebelum diedarkan harus melewati lembaga sensor Balatentara Jepang.
  • Pasal 11 menyatakan bahwa para pelanggar pasal 4, 7, 8 dan 9 diancam hukuman sampai satu tahun penjara atau denda maksimum seribu rupiah yang pada zaman itu sangat mahal. Para tertuduh lebih dulu diajukan ke Gunsei Hooin atau Pengadilan Pemerintahan Militer. Kemudian, para pelanggar pasal 2, 3, 5, 6 diadili oleh Gunritsu Kaigi atau Pengadilan Militer.

Osamu Seirei No. 6 tahun 1944

Untuk membendung arus propaganda musuh, pemerintah militer Jepang mengganti undang-undang No. 16 tahun 1942 dengan Osamu Seirei No. 6 tahun 1944 tentang Mengawasi Penerbitan Dsb. Hal itu karena pemerintah Jepang khawatir musuh akan memanfaatkan media komunikasi yang ada, sehingga pemerintah militer Jepang mulai memberlakukan suatu alat kontrol terhadap seluruh media komunikasi massa termasuk pers, film, seni pertunjukan, gambar-gambar, lukisan-lukisan, pidato dan naskah sandiwara yang akan diedarkan serta dipertunjukkan kepada masyarakat.  (Yuliati, D., 2018).

Terdapat 16 pasal dalam Osamu Seirei No. 6 tahun 1944 yang mengandung lebih banyak larangan dan sanksi tegas bagi pelanggarnya, beberapa pasal yang ditetapkan antara lain:

  • Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa surat, gambar, lukisan, yang dapat menghambat usaha perang tentara Jepang, atau mengganggu ketentraman dan ketertiban umum serta mengganggu pemerintahan militer, tidak boleh diumumkan.

  • Pasal 14 ayat 1 memuat ketentuan barang siapa mengumumkan surat kabar, gambar, lukisan, berlawanan dengan pasal 1 ayat 1 dihukum mati, atau dihukum penjara seumur hidup atau berbatas, atau dihukum denda paling banyak f. 50.000,- 

  • Pasal 14 ayat 2 berisi ketentuan bahwa barang siapa mengumumkan surat, gambar, lukisan, berlawanan dengan pasal 1 ayat 2 dihukum penjara paling lama 3 tahun atau dihukum denda paling banyak f. 5.000,- 

  • Pasal 15 memuat ketentuan bahwa barang siapa menerbitkan penerbitan atau surat kabar, membuat film, dan memperbanyaknya, dengan melanggar pasal 3 ayat 1, pasal 4 dan pasal 8, dihukum penjara paling lama 2 tahun atau dihukum denda paling banyak f. 2.000,-

Kebijakan Propaganda Jepang

Propaganda dilakukan oleh pemerintahan militer Jepang melalui departemen propaganda (Sendenbu) agar dapat "menyita hati rakyat" (minsbin ba'aku) serta "mengindoktrinasi dan menjinakkan" (senbu kosaku) rakyat Indonesia. Mereka memobilisasikan seluruh masyarakat dan menjadikan mentalitas rakyat Indonesia sesuai dengan ideologi Jepang tentang Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Propaganda dirumuskan sebagai upaya mengindoktrinasi rakyat Indonesia untuk menjadi mitra Lingkungan Kemakmuran Bersama Timur Raya (Kurusawa, A., 2015).

C. Rancangan Propaganda dan Media

Salah satu ciri utama dari propaganda Jepang pada masa perang yaitu penggunaan media, terutama audio visual, secara positif. Jepang menganggap media audio visual paling efektif bagi penduduk desa yang kebanyakan tak berpendidikan dan buta huruf. Selain itu, penonton tetap menerima propaganda karena mereka haus akan hiburan.

  1. Film: Jepang merumuskan kebijakan perfilman terpadu bagi wilayah Asia Tenggara, yaitu industri film harus dipercayakan kepada dua perusahaan Jepang, Nichi'ei dan Eihai. Pemutaran film dari negeri musuh dilarang dan hanya film dari Jepang dan negara sekutu yang boleh diimpor.
  2. Drama: Keimin Bunka Shidosho memutuskan jenis cerita dan tema yang perlu ditekankan dalam drama untuk melaksanakan propaganda. Topiknya biasanya merupakan perhatian utama pemerintah, seperti gotong royong, tonarigumi, pertahanan tanah air, romusha, sejarah, dan kebrutalan Belanda.
  3. Kamishibai (Teater Kertas): Produksi kamishibai diawasi secara langsung oleh Sendebu, topik yang sering diangkat dalam propaganda ini adalah tentang kemiliteran dan moral. Di Jogja, dua kisah kamishibai yang paling terkenal adalah "Tri Margojoyo" dan "Wirowiroto".
  4. Nyanyian: Pada Desember 1943 lagu-lagu Jepang yang disusun oleh Sendebu diterbitkan oleh Balai Poestaka dengan judul Seinen no Uta (Lagu-Lagu Pemuda) berisi 11 not dan terjemahan dalam bahasa Indonesi. Kebanyakan lagu-lagu ini ditujukan untuk meningkatkan moral dan semangat orang Asia dengan irama kuat dan bersemangat.
  5. Radio: Radio yang dimanfaatkan sebagai alat propaganda ini memiliki peran yang beraneka ragam, yaitu sebagai sarana penyebaran seluruh teks pengumuman pemerintah, penyampaian berbagai jenis pengajaran politik, memberikan pendidikan sosial, juga memberitahukan peringatan serangan udara oleh sekutu.

D. Perbedaan dan Persamaan dari Penjajahan Belanda dan Jepang

Dari masa penjajahan Belanda hingga pendudukan Jepang, kebebasan pers selalu dibelenggu oleh peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial yang otoriter. Namun, pada masa pendudukan Jepang, pers di Indonesia jauh lebih dibelenggu akan kontrol pengawasan preventif dan represif yang lebih ketat terhadap Pers dibanding masa penjajahan Belanda. 

Media sepenuhnya dikontrol dengan peraturan-peraturan dan sanksi yang memaksa dengan tujuan sepenuhnya menjadi alat pendukung propaganda Jepang. Namun, dilansir dari Ratna, D. (2016), terdapat keuntungan dari pengawasan ketat tersebut bagi perkembangan pers Indonesia yang bekerja di penerbitan Jepang, yaitu pengalaman yang diperoleh para karyawan pers semakin bertambah, penggunaan Bahasa Indonesia dalam media pers makin sering dan luas, serta ada pengajaran untuk rakyat supaya bisa berpikir kritis terhadap berita yang diberikan oleh sumber resmi dari Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Anom, E., & Waluyo, D. (2016). Model dan Sistem Mengontrol Media di Indonesia (dari Perspektif Sejarah). Masyarakat Telematika Dan Informasi: Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi, 2(1), 27-44. DOI: https://dx.doi.org/10.17933/mti.v2i1.15 

Yuliati, D. (2018). Pers, Peraturan Negara, dan Nasionalisme Indonesia. Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi, 2(3), 253-272. DOI: https://doi.org/10.14710/anuva.2.3.253-272 

Suryomihardjo, A. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Kompas Jakarta.

Kurusawa, A. (2015). Kuasa Jepang di Jawa. Komunitas Bambu Jakarta.

Ratna, D. (2016). Perkembangan pers di era pendudukan Jepang & revolusi fisik. https://www.merdeka.com/pendidikan/perkembangan-pers-di-era-pendudukan-jepang-revolusi-fisik.html 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun