Mohon tunggu...
rkholil
rkholil Mohon Tunggu... -

~

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menguji Wacana Federalisme

9 Mei 2011   08:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analisis Konsep Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia;
Menguji Wacana Federalisme

Pendahuluan

Dalam artikel ini penulis berusaha menguji seberapa pantas ide federalisme diperbincangkan lebih lanjut dalam dunia akademis, atau lebih jauhnya dipertimbangkan untuk diterapkan secara nyata di Indonesia. Sebelum memasuki topik federalisme tersebut, penulis terlebih dahulu berusaha menggambarkan konsep desentralisasi dalam bentuk Otonomi Daerah dan sejarah implementasinya di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perbandingan mengingat federalisme dan otonomi daerah adalah sama-sama bentuk desentralisasi walau dalam taraf yang berbeda.

Penulis berusaha menghadirkan perdebatan yang cukup menggambarkan keadaan di dunia nyata akademis beserta argumen-argumen yang penulis perkirakan dipakai oleh para anggota dari dua kubu pendebat baik pro maupun kontra. Perdebatan akademis ini penting menurut penulis mengingat ilmu, teori, dan pengetahuan adalah apa yang diketahui hingga saat ini. Fakta atau data baru yang didapatkan di masa depan bisa saja meruntuhkan konstruksi teori yang telah terbangun mapan dalam waktu yang lama. Dan perdebatan positif ini akan saling mengoreksi tiap kubu untuk kemudian datang kembali dengan argumentasi yang lebih kuat sehingga mengembangkan disiplin keilmuan yang dibahas.

Harapan penulis adalah supaya sedikit banyak diskusi yang penulis lemparkan di sini bisa mendapat feed back yang konstruktif. Hal ini berguna untuk memerkaya khazanah gagasan tentang kenegaraan dan kebangsaan di Indonesia.

Hakikat Bernegara

Lord Acton (1834-1902), seorang ahli sejarah dari Inggris, pernah berkata, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula”. Peribahasa lama berkata; “homo homini lupus”. “tiap manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”. Thomas Hobbes (1588-1679) mendefinisikannya sebagai keadaan anarchy; “the condition of man is a condition of war of everyone against everyone”. Manusia pada dasarnya diasumsikan memiliki sifat-sifat jahat dan bertendensi untuk menyalahgunakan hak orang lain demi pemenuhan hak pribadinya.

Untuk mendapatkan kenyamanan dari keteraturan dan memitigasi chaos dari the anarchy state of nature itulah manusia bernegara. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) mengabstraksikan pemikirannya tentang kasus Revolusi Prancis bahwa pada hakikatnya masyarakat bersepakat atas sebuah Social Contract untuk menitipkan sebagian tertentu dari kebebasan pribadinya kepada sebuah pihak yang bertanggung jawab menjaga keteraturan, yang disebut pemerintah, dalam sebuah negara. Hobbes membayangkan kemunculan seekor monster raksasa yang kuat dan menyeramkan dari dalam goa yang gelap, yang membuat orang-orang tunduk kepadanya lalu masyarakat menjadi teratur. Immanuel Kant (1724-1804) merekomendasikan sebuah bentuk negara republik daripada kerajaan yang dianggapnya cenderung bersifat menekan kebebasan rakyatnya. Bentuk negara republik dianggapnya lebih adil dan menjamin kedamaian mengingat bahwa itu dibentuk berdasar kesepakatan.

Pemecahan Kekuasaan

Namun ternyata, bentuk negara republik pun bisa terkesan merebut kebebasan rakyatnya alih-alih mengelola dengan baik kebebasan yang dititipkan. Demokrasi yang dibayangkan Rousseau dan Kant tidak selalu terjadi pada realita. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa norms and laws yang sebenarnya bertujuan mengatur power-power untuk mencapai order, terkadang justru diciderai atau bahkan dimanipulasi oleh power itu sendiri demi tujuan-tujuan pribadi. Berangkat dari pemikiran serupalah konsep pemisahan kekuasaan dikembangkan. John Locke (1632-1704), dalam Two Treatiseson Civil Government, membagi kekuasaan pemerintah republik menjadi legislatif untuk membuat peraturan, eksekutif untuk melaksanakannya dan juga mengadili, dan federatif untuk menjaga keamanan negara (hubungan luar negeri). Montesquieu (1689-1755), dalam L’Esprit des Lois, kemudian memperbaikinya menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang hingga kini populer dengan sebutan Trias Politica.

Searah dengan Trias Politica, konsep desentralisasi juga telah dibahas sejak dulu oleh Aristoteles dan pemikir-pemikir lain sebagai cara untuk mencegah kekuasaan absolut. Miriam Budiardjo (1923-2007) mengklasifikasikan Trias Politica sebagai pembagian kekuasaan secara horizontal sedangkan desentralisasi baik dalam bentuk politik atau administrasi pada berbagai taraf mulai dari otonomi daerah, federalisme, hingga konfederasi, sebagai pembagian kekuasaan secara vertikal.

Kasus Indonesia

Menurut Rifqi Hasibuan, Peneliti Populis Institute, desentralisasi bertujuan menyelenggarakan Good Governance. Konsep desentralisasi yang diimplementasikan dengan baik akan menghasilkan termitigasinya absolute power dan kuatnya mekanisme check and balances terhadap pemerintah eksekutif di daerah bagi pihak legislatif dan rakyat konstituennya atas dasar kedekatan fisik dan komunikasi.

Menurut Syarif Hidayat, Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), sejarah pemerintahan daerah di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa kemerdekaan bahkan masa kolonial, walaupun baru dicitrakan dengan kuat pasca era orde baru. Sebenarnya, walau sejak tahun 1948 Indonesia telah memiliki UU Pemerintahan Daerah yang di antaranya mengatur Kekuasaan dan Kewajiban Pemerintah Daerah, secara konstitusional Indonesia baru benar-benar mengatur desentralisasi melalui UU No. 22 tahun 1999 yang resmi diimplementasikan pada tahun 2001.

Sebelumnya, terutama pada era orde baru, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pembangunan yang sangat sentralistis, di antaranya melalui kebijakan Growth Pole Sentric dengan asumsi berlakunya efek domino kemajuan ekonomi terhadap daerah sekeliling, yang kemudian gagal terbukti. Hal ini menyebabkan ketimpangan kemajuan yang sangat parah, mulai dari antara Jakarta dan Non-Jakarta, Jawa dan Non-Jawa, Indonesia Barat dan Indonesia Timur, hingga kota dan desa secara umum. Dampak yang kemudian timbul sangat beragam seperti penerapan transmigrasi sebagai opsi mitigasi parsial yang juga membawa beragam efek samping, kecemburuan sosial, hingga kedengkian yang mendarah daging dan terwariskan dari pihak yang termarjinalkan atas pihak yang diistimewakan. Hal ini menjadi potensi disintegrasi yang sangat sensitif.

Implementasi otonomi daerah selama kurang lebih satu dasawarsa ke belakang pun dinilai kurang berhasil karena masih berupa hanya formalitas kelembagaan dan belum menyentuh substansi baik tujuan penyelenggaraan Good Governance maupun penghindaran absolutisasi kekuasaan. Pemilukada masih menjadi sebatas perhitungan politik untuk mencapai kemenangan parpol di tingkat nasional. State Actors pun belum semuanya meyakini kewenangan konstitusionalnya untuk bertindak dan berinisiatif untuk memajukan daerah yang dipimpinnya, walau terdapat beberapa catatan positif seperti Gorontalo, Banyuasin, Jembrana, Sragen, dan lain-lain. Mereka juga kebanyakan masih terelitisasi sehingga kurang aspiratif dan akomodatif terhadap kepentingan konstituennya yang sebenarnya berada dekat dengan mereka secara fisik maupun komunikasi.

Di sisi lain, beberapa daerah atas alasan-alasan yang berbeda menikmati eksklusivitas dan privilige berlebih yang tak imbang dengan daerah lainnya. Sebagi contoh adalah NAD (Nanggroe Aceh Daussalam) dan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Sayangnya, fenomena ini bukanlah merupakan anomali kesuksesan, namun lebih sebagai hasil kompromi kultural dan politis pihak pusat atas nilai tawar yang tinggi berupa di antaranya pertentangan dan ancaman disintegrasi yang muncul di daerah tersebut.

Federalisme

Amien Rais dengan kuat terasosiasi dengan ide ini, sebagai salahsatu tokoh yang tergetol mengkampanyekannya pada masa transisi pasca orde baru. Sebagai ilmuwan politik yang handal sekaligus praktisi kontemporer, Amien Rais berada di antara dua praduga ekstrem; prasangka positif akan ide inovasi yang konstruktif dan dugaan motif politis yang mendasari idenya ini. Secara pribadi, sementara orang menilainya sebagai bapak bangsa yang menempati posisi khusus tak tergantikan pada kancah perpolitikan negara, di saat sementara yang lainnya justru menilainya sebagai sekadar politikus golongan yang populis yang omongannya seringkali cablak dan nyelekit.

Dalam pengajuannya, Amien Rais membawa tiga asas yang dianggapnya sebagai syarat keberhasilan negara federal yaitu persepsi kesamaan (Al-Musaawah), musyawarah (Asy-Syuro), dan keadilan (Al-‘Adalah). Selain itu, Ia juga memberikan perbandingan dengan beberapa negara federal lain yang terbukti memetik keuntungan berupa kemajuan pembangunan dan Good Governance dari bentuk negaranya seperti Kanada, Jerman, Malaysia, Amerika Serikat, dan Australia. Walau sementara pihak menilai Indonesia tidak berada dalam posisi yang sama dengan negara-negara tersebut sehingga tidak relevan untuk dibandingkan, dalam artian Indonesia adalah negara berkembang dan negara-negara di atas adalah negara maju, sebenanya bisa didatangkan oposisi biner lain seperti misalnya kegagalan negara maju dalam mempertahakan integrasi nasionalnya dalam bentuk negara kesatuan seperti Uni Sovyet. Lagipula, salahsatu negara di atas yaitu Malaysia sebenarnya termasuk negara berkembang seperti indonesia.

Pada dasarnya, memang ide federalisme di Indonesia yang sempat digalakkan oleh Amien Rais masih berada dalam tatanan gagasan dan belum berhasil merancang konsep komprehensif yang bisa ditawarkan. Namun, tetap sepantasnya pada era keterbukaan ini tidak ada lagi pemenjaraan atas ide apabila itu bertujuan positif, walaupun sulit untuk diterima oleh konstitusi. UUD 1945 pasal 37 ayat 5 memang menyatakan “tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Namun, hal ini tidak bisa menjadi excuse untuk menutup celah diskusi akademis tentang ide federalisme. UUD kita, tanpa mengecilkan kontribusi para pendiri bangsa, tentu bagaimanapun tetap merupakan produk historis yang bisa dan patut dikembangkan sesuai relevansi zaman dan kepentingan nasional yang lebih besar yaitu di antaranya kemajuan ekonomi dan integrasi nasional yang lebih membumi dan konkret, dan bukanlah sebuah wahyu yang dogmatis dan harus selalu dirasionalisasi. Kenyataannya, UUD tersebut telah diamandemen berkali-kali walau dengan catatan itu semua terjadi pada masa kepemimpinan Amien Rais sendiri di MPR. Tentu hal ini bisa menunjuk kepada dua hal; antara bahwa Amien Rais memang memiliki kecenderungan untuk loose dan menyesuaikan UUD, atau bahwa pemimpin MPR yang lain tidak memiliki keberanian untuk mengkritisi dan cenderung terkurung oleh persepsi sakral tentang naskah tersebut.

Penulis juga menerima gambaran negatif bahwa keengganan para akademisi untuk mendialogkan ide ini relatif disebabkan doktrinasi akan konsepsi NKRI yang diagung-agungkan oleh golongan nasionalis radikal. Pada dasarnya, NKRI adalah produk kebijakan politis sama seperti RIS, di mana saat itu Indonesia sempat menerapkan bentuk negara federal, namun bedanya produk kebijakan politis ini berhasil dipertahankan hingga saat ini. Menurut penulis, NKRI sebagai pilihan bentuk negara bukanlah satu-satunya hal yang paling fundamental dan asasi dalam kehidupan bernegara di Indonesia karena dasar filosofisnya tidak sekuat perangkat kenegaraan lain seperti pancasila dan semboyan negara.

Amien Rais pun menyuarakan ide federalisme ini dikarenakan keinginannya untuk menghentikan kebijakan sentralistik secara holistik, dan asumsi bahwa nasionalisme tidak perlu terganggu hanya karena berubahnya bentuk negara. Justru saat ini tampak ilusi nasionalisme di saat orang-orang lebih memperjuangkan eksistensi daripada esensi seperti misalnya DPR yang padahal esensinya adalah mewakilkan rakyat sebagai pemaknaan definitif dari namanya namun justru menyibukkan diri untuk mencari kenyamanan pribadi.

Selain itu, anggapan bahwa bentuk negara federal akan lebih rentan terhadap disintegrasi bisa dibilang kurang kuat landasan logikanya mengingat justru saat ini di mana-mana separatisme muncul sebagai bentuk protes atas identitas NKRI yang terkesan dipaksakan, kenyataan pluralitas yang kurang diperhatikan, dan sentralisasi dan ketimpangan yang belum juga berhasil diselesaikan bahkan setelah masa yang disebut oleh sebagian orang sebagai era reformasi ini bergulir selama satu dasawarsa.

Otonomi Daerah dan Federalisme

Konsep otonomi daerah terbukti belum berhasil dipersepsikan secara seragam oleh para pengambil kebijakan. Perubahan kelembagaan oleh karenanya bisa diterapkan namun dengan substansi kebijakan yang masih sulit untuk berubah dari sentralistik. Sehingga, sekeras apapun otonomi daerah secara formal berusaha diterapkan, kerangka dasar kebijakannya masih tetap sentralistik sesuai mindset para pemangku kebijakan yang sampai saat ini masih tampak tegas mematok NKRI sebagi harga mati.

Ninok Leksono, Redaktur Senior Harian Kompas, menyatakan bahwa kondisi Indonesia saat ini yang secara umum masih sentralistik mirip dengan keadaan Uni Sovyet pada penghujung ajalnya. Pemerintahan yang terpusat dan di sisi lain belum benar-benar transparan baik dalam segi anggaran maupun penetapan peraturan, penegakan hukum, dan wilayah wewenangnya yang lain, tidak mampu mengontrol suatu negara dengan wilayah yang sangat luas apalagi dalam kasus Indonesia juga sangat plural baik dalam segi kesukuan, agama, budaya, bahasa, afiliasi ideologi, dan lain-lain. Walaupun, dalam prosesnya, perlu diperhatikan untuk hal ini terjadi benar-benar dengan sukarela dan berlandaskan itikad baik tiap elit di tingkat pusat dan daerah agar tidak mengikuti sejarah Uni Sovyet yang bubar, sempat menjad CIS (Centre of Independent States), namun kemudian benar-benar menjadi negara-negara yang terpisah dan berbeda sendiri-sendiri. Bagaimanapun, keutuhan bangsa tetap hal yang penting dan esensial untuk dipertahankan sebagai bentuk kesamaan nasib, sejarah, dan tujuan yang tertuang dalam bentuk kesepakatan bersama mendirikan negara.

Dengan memfederalkan Indonesia, setidaknya akan tercapai beberapa hal. 1) kekuasaan yang tersebar akan memberikan dua keuntungan yaitu berkurangnya peluang dan praktik korupsi karena berkurangnya absolutitas kekuasaan dan menguatnya mekanisme check and balances termasuk secara langsung dengan publik konstituen di daerah. 2) teredamnya semangat dan aksi separatisme yang merupakan bentuk protes akan praktik sentralisasi dan ketimpangan pembangunan ekonomi. 3) dengan terciptanya Good Governance sebagai efek dari tercapainya poin (1), lebih meratanya taraf ekonomi secara umum akan mengurangi tindak kekerasan seperti terorisme dan anarkisme yang cenderung banyak dipicu oleh rasa frustasi terhadap kondisi ekonomi dan kesenjangan sosial. 4) kemandirian tiap calon negara bagian akan menguatkan inisiatif untuk saling bersaing secara positif dalam mengembangkan networking dan kerjasama eksternal yang bisa meningkatkan investasi. 5) pemerintah pusat dapat lebih berfokus untuk memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional, sebagai bentuk penerapan salahsatu tujuan bernegara yaitu ikut andil dalam menyelenggarakan perdamaian dunia. 6) dengan mengurangi integrasi koersif nasional yang menekan, integrasi fungsional nasional yang mutualistis dan integrasi normatif nasional yang mempersatukan secara nilai akan menguat dan kemudian memperkuat rasa nasionalisme.

Kesimpulan

Melihat sejarah penerapan otonomi daerah di Indonesia yang masih parsial dan semu, ide federalisme tampaknya perlu lebih dikaji untuk lebih membuka mata akan keberadaan opsi bentuk negara yang sebenarnya tak salah untuk diuji secara konseptual. Ide federalisme diharapkan bisa menyelesaikan problem mindset sentralistik pembangunan yang kurang berhasil ditanggulangi jika hanya melalui pendekatan kelembagaan tanpa menguatkan landasan pemikiran dan kebijakannya. Dialog tentang ide ini patut untuk tidak dibatasi hanya dengan alasan kesakralan NKRI dan UUD 1945 namun dengan mengabaikan kepentingan nasional yang lebih besar.

Bung Hatta Sang Proklamator Kemerdekaan Bangsa berkata, “jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.” 28/4/11.

Bibliografi

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2008.

Hasibuan, Rifqi. “Good Governance yang Mengerdilkan Warga.” Jurnal
Referensi, Analisa Politik Dwi Bulanan.
Edisi IV/2010.

Hidayat, Syarif. “Mengurai Peristiwa Merentas Karya; Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah.” Majalah PRISMA. No 3 Vol 29/Juli 2010.

Hidayat, Syarif. “Akar Persoalan dan Solusi Otonomi Daerah.” LIPI. http://www.lipi.go.id/www.cgi?cetakberita&1294213027&&2011& diakses pada tgl 27 April 2011.

Malim, La Ode Gantara Izhar. “Pemikiran Politik Amien Rais tentang Federalisme untuk Indonesia.” Universitas Dayanu Ikhsanuddin Bau-Bau. 2006.

Microsoft® Student 2009 With Encarta [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.

*penulis adalah mahasiswa HI UI angkatan 2010, aktivis SPEAK, dan reporter FISIPERS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun