Mohon tunggu...
rkholil
rkholil Mohon Tunggu... -

~

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menguji Wacana Federalisme

9 Mei 2011   08:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Indonesia

Menurut Rifqi Hasibuan, Peneliti Populis Institute, desentralisasi bertujuan menyelenggarakan Good Governance. Konsep desentralisasi yang diimplementasikan dengan baik akan menghasilkan termitigasinya absolute power dan kuatnya mekanisme check and balances terhadap pemerintah eksekutif di daerah bagi pihak legislatif dan rakyat konstituennya atas dasar kedekatan fisik dan komunikasi.

Menurut Syarif Hidayat, Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), sejarah pemerintahan daerah di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa kemerdekaan bahkan masa kolonial, walaupun baru dicitrakan dengan kuat pasca era orde baru. Sebenarnya, walau sejak tahun 1948 Indonesia telah memiliki UU Pemerintahan Daerah yang di antaranya mengatur Kekuasaan dan Kewajiban Pemerintah Daerah, secara konstitusional Indonesia baru benar-benar mengatur desentralisasi melalui UU No. 22 tahun 1999 yang resmi diimplementasikan pada tahun 2001.

Sebelumnya, terutama pada era orde baru, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pembangunan yang sangat sentralistis, di antaranya melalui kebijakan Growth Pole Sentric dengan asumsi berlakunya efek domino kemajuan ekonomi terhadap daerah sekeliling, yang kemudian gagal terbukti. Hal ini menyebabkan ketimpangan kemajuan yang sangat parah, mulai dari antara Jakarta dan Non-Jakarta, Jawa dan Non-Jawa, Indonesia Barat dan Indonesia Timur, hingga kota dan desa secara umum. Dampak yang kemudian timbul sangat beragam seperti penerapan transmigrasi sebagai opsi mitigasi parsial yang juga membawa beragam efek samping, kecemburuan sosial, hingga kedengkian yang mendarah daging dan terwariskan dari pihak yang termarjinalkan atas pihak yang diistimewakan. Hal ini menjadi potensi disintegrasi yang sangat sensitif.

Implementasi otonomi daerah selama kurang lebih satu dasawarsa ke belakang pun dinilai kurang berhasil karena masih berupa hanya formalitas kelembagaan dan belum menyentuh substansi baik tujuan penyelenggaraan Good Governance maupun penghindaran absolutisasi kekuasaan. Pemilukada masih menjadi sebatas perhitungan politik untuk mencapai kemenangan parpol di tingkat nasional. State Actors pun belum semuanya meyakini kewenangan konstitusionalnya untuk bertindak dan berinisiatif untuk memajukan daerah yang dipimpinnya, walau terdapat beberapa catatan positif seperti Gorontalo, Banyuasin, Jembrana, Sragen, dan lain-lain. Mereka juga kebanyakan masih terelitisasi sehingga kurang aspiratif dan akomodatif terhadap kepentingan konstituennya yang sebenarnya berada dekat dengan mereka secara fisik maupun komunikasi.

Di sisi lain, beberapa daerah atas alasan-alasan yang berbeda menikmati eksklusivitas dan privilige berlebih yang tak imbang dengan daerah lainnya. Sebagi contoh adalah NAD (Nanggroe Aceh Daussalam) dan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Sayangnya, fenomena ini bukanlah merupakan anomali kesuksesan, namun lebih sebagai hasil kompromi kultural dan politis pihak pusat atas nilai tawar yang tinggi berupa di antaranya pertentangan dan ancaman disintegrasi yang muncul di daerah tersebut.

Federalisme

Amien Rais dengan kuat terasosiasi dengan ide ini, sebagai salahsatu tokoh yang tergetol mengkampanyekannya pada masa transisi pasca orde baru. Sebagai ilmuwan politik yang handal sekaligus praktisi kontemporer, Amien Rais berada di antara dua praduga ekstrem; prasangka positif akan ide inovasi yang konstruktif dan dugaan motif politis yang mendasari idenya ini. Secara pribadi, sementara orang menilainya sebagai bapak bangsa yang menempati posisi khusus tak tergantikan pada kancah perpolitikan negara, di saat sementara yang lainnya justru menilainya sebagai sekadar politikus golongan yang populis yang omongannya seringkali cablak dan nyelekit.

Dalam pengajuannya, Amien Rais membawa tiga asas yang dianggapnya sebagai syarat keberhasilan negara federal yaitu persepsi kesamaan (Al-Musaawah), musyawarah (Asy-Syuro), dan keadilan (Al-‘Adalah). Selain itu, Ia juga memberikan perbandingan dengan beberapa negara federal lain yang terbukti memetik keuntungan berupa kemajuan pembangunan dan Good Governance dari bentuk negaranya seperti Kanada, Jerman, Malaysia, Amerika Serikat, dan Australia. Walau sementara pihak menilai Indonesia tidak berada dalam posisi yang sama dengan negara-negara tersebut sehingga tidak relevan untuk dibandingkan, dalam artian Indonesia adalah negara berkembang dan negara-negara di atas adalah negara maju, sebenanya bisa didatangkan oposisi biner lain seperti misalnya kegagalan negara maju dalam mempertahakan integrasi nasionalnya dalam bentuk negara kesatuan seperti Uni Sovyet. Lagipula, salahsatu negara di atas yaitu Malaysia sebenarnya termasuk negara berkembang seperti indonesia.

Pada dasarnya, memang ide federalisme di Indonesia yang sempat digalakkan oleh Amien Rais masih berada dalam tatanan gagasan dan belum berhasil merancang konsep komprehensif yang bisa ditawarkan. Namun, tetap sepantasnya pada era keterbukaan ini tidak ada lagi pemenjaraan atas ide apabila itu bertujuan positif, walaupun sulit untuk diterima oleh konstitusi. UUD 1945 pasal 37 ayat 5 memang menyatakan “tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Namun, hal ini tidak bisa menjadi excuse untuk menutup celah diskusi akademis tentang ide federalisme. UUD kita, tanpa mengecilkan kontribusi para pendiri bangsa, tentu bagaimanapun tetap merupakan produk historis yang bisa dan patut dikembangkan sesuai relevansi zaman dan kepentingan nasional yang lebih besar yaitu di antaranya kemajuan ekonomi dan integrasi nasional yang lebih membumi dan konkret, dan bukanlah sebuah wahyu yang dogmatis dan harus selalu dirasionalisasi. Kenyataannya, UUD tersebut telah diamandemen berkali-kali walau dengan catatan itu semua terjadi pada masa kepemimpinan Amien Rais sendiri di MPR. Tentu hal ini bisa menunjuk kepada dua hal; antara bahwa Amien Rais memang memiliki kecenderungan untuk loose dan menyesuaikan UUD, atau bahwa pemimpin MPR yang lain tidak memiliki keberanian untuk mengkritisi dan cenderung terkurung oleh persepsi sakral tentang naskah tersebut.

Penulis juga menerima gambaran negatif bahwa keengganan para akademisi untuk mendialogkan ide ini relatif disebabkan doktrinasi akan konsepsi NKRI yang diagung-agungkan oleh golongan nasionalis radikal. Pada dasarnya, NKRI adalah produk kebijakan politis sama seperti RIS, di mana saat itu Indonesia sempat menerapkan bentuk negara federal, namun bedanya produk kebijakan politis ini berhasil dipertahankan hingga saat ini. Menurut penulis, NKRI sebagai pilihan bentuk negara bukanlah satu-satunya hal yang paling fundamental dan asasi dalam kehidupan bernegara di Indonesia karena dasar filosofisnya tidak sekuat perangkat kenegaraan lain seperti pancasila dan semboyan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun