“Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih banyak.”
Pak Burhan sudah berlalu. Tingal Mila sendirian di kedai itu. Mila duduk kembali di kursinya, menyandarkan punggung dan menengadahkan kepala. Dia menghirup napas pelan, dan membuangnya dengan kencang.
“Gagal lagi…”
Mila memandang langit-langit kedai. Saat itu masih siang hari, cuaca lebih hangat dibanding tempat tinggal Mila. Lampu tidak menyala, tapi Mila seolah disorot oleh lampu besar hingga pandangannya menjadi kabur. Mila memejamkan matanya. Sebulir air menyembul dari ujung matanya, mengalir menuju pelipis hingga hilang dibalik rambutnya.
Kriiing… kriiing…
Mila membuka mata. Mencoba menerka siapa yang menghubunginya di saat seperti ini sambil.
“Ya?”
“Mila, kamu masih di Seoul?”
Suara Si Kumis. “Hm-mh,” jawab Mila.
“Boleh aku minta tolong? Tidak, si tikus merah yang minta tolong.”
Mila mengangkat sebelah alisnya karena heran. Sepertinya ada gempa bumi atau korsleting listrik di kepala gadis berambut merah itu.