Mohon tunggu...
Rizqotun Wasiah
Rizqotun Wasiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Riris hobby membaca novel dan bernyanyi kesehariannya hanya ada kebahagian :)

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Buku: Hukum Perdata Islam di Indonesia

12 Maret 2024   12:43 Diperbarui: 12 Maret 2024   13:04 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Identitas Buku

Judul : Hukum Perdata Islam di Indonesia edisi revisi : Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam

Penulis : Prof. Dr. H. Amiur Nuruddin, M.A. dan Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag.

Tahun terbit : Cetakan ke-7, 06 Oktober 2019

Penerbit : Prenada Media Group ( Divisi Kencana )

Buku yang ditulis dan juga digagas oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan yang berjudul "Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI)" menuliskan secara lengkap mengenai sejarah perkembangan Hukum Perdata Islam di Indonesia dan juga menganalisa secara kritis terhadap fikih, UU no:1/1974 hingga KHI.

Jika kita ingin mengkaji atau mengkritisi hukum perdata Islam di Indonesia, buku ini bisa dikatakan sebagai bahan referensi yang sangat penting. Buku ini terdiri dari 321 halaman yang dibagi menjadi 14 bagian. Bagian 1 menjelaskan  latar belakang sejarah dan perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia, Bagian 2 menjelaskan tentang asas-asas perkawinan UU No. 1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam, dan Bagian 3 sampai 12 membahas tentang perkawinan dan keharmonisan. Saya jelaskan Mulai dari syarat-syarat perkawinan, pencatatannya, larangannya, pembubarannya, hingga pembahasan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, termasuk poligami.

Bagian ketiga belas dan  keempat belas yang kemudian menjadi bagian akhir, diakhiri dengan pembahasan yang menggambarkan tentang anak, mulai dari asal usulnya, pengasuhannya, dan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Masing-masing dalil diberikan sudut pandang dari kulminasi Fiqh dan hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, serta diberikan pula analisis terhadap setiap bagian dalil serta sejarah perkembangan hukum Islam  di Indonesia oleh Syafi'i. Dia menjelaskan. Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah seorang ahli agama sekaligus ahli hukum Islam, yang reputasinya sudah tidak  diragukan lagi  terkenal pada pertengahan abad ke-11, dan  perkembangannya berlanjut hingga abad ke-17 dan ke-18. seorang ahli Abad kesembilan belas. Setelah  masa kerajaan, hukum Islam berkembang pada masa penjajahan VOC, namun tidak ada hambatan dalam perkembangan dan penerapan hukum Islam pada masa penjajahan. VOC juga boleh dikatakan turut andil dalam terciptanya ringkasan yang  memuat hukum perkawinan dan hukum waris Islam yang berlaku bagi umat Islam.

Kebijakan  Belanda terhadap hukum Islam meliputi Receptie dan Receptie Theory in Complexu. Namun pada masa kemerdekaan, teori yang dikemukakan Belanda tersebut tidak berlaku lagi  karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Alquran. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan syariat Islam harus diatur dan  diawasi oleh Kementerian Agama.

Dan pasca kemerdekaan, hukum Islam juga hidup berdampingan dengan berbagai partai politik. Dalam penentuan hukum Islam, banyak terjadi perbedaan pendapat antara banyaknya pendapat yang dikemukakan  hingga Undang-undang Nomor  diundangkan. Sejak Januari 1974 sampai dengan KHI .

Dalam hal prinsip perkawinan dalam UU No.1/1974 memiliki perspektif yang menyatakan bahwa perkawinan adalah hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga unsur batin atau rohani. Sedangkan dalam perspektif KHI Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Dari defininisi yang dikemukakan diatas bisa dicermati adanya perbedaan dengan perspektif fikih yang telah diuraiakan dalam kiab kitab hingga tampaknya para ulama mendefinisikan bahwa perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja.

Prinsin-prinsip Perkawinan menurut M.Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam UU Perkawinan adalah:

  • Menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia.
  • Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
  • Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
  • Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing masing.
  • UU Perkawinan menganut asas monogami akan tetapi terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agama mengizinkannya.
  • Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakuan oleh pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
  • Kedudukan suami dan istri dalam keluarga adalah seimbang

Jika disederhanakan, asas perkawinan itu menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada enam. (1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, (2) Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing, (3) Asas monogami, (4) Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya (5) Mempersulit terjadinya perceraian, (6) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Rukun dan syarat perkawinan ada lima, calon suami-istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Dalam buku ini ditekankan menganai mahar sabagai syarat sah perkawinan para ulama menetapkan mahar hukumnya wajib didasarkan al-Quran ,sunnah dan ijma. Meski demikian mahar itu wajib namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan dan tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak boleh juga mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa di lecehkan atau disepelekan.

Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Undang-Undang Perkawinan hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Yang tercantum dalam Bab II pas 6 dan 7. Perspektif KHI

Berbeda dengan UU No 1/1974, KHI ketika mem-bahas rukun perkawinan tanpakya mengikuti sistematika fikih yang mengaitkan rukun dan syarat. Ini di muat dalam pasal 14. Kendatipun KHI menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, ternyata dalam uraian persyaratannya KHI mengikuti UP yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.Yang menarik, pada pasal-pasal berikutnya juga di bahas tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), akad nikah (pasal 27), namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Sampai di sini, KHI tidak mengikuti skema fikih, juga tidak meng-ikuti UU No 1/1974 yang hanya membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai.

Dalam perspektif Islam, peminangan itu lebih mengacu untuk melihat kepribadian calon mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Kendati demikian bukan berarti masalah fisik tidak penting.

Di dalam UUP, peminangan ini tidak dikenal. Alasannya mungkin karena peminangan tidak dapat disebut sebagai peristiwa hukum. Kendatipun UUP tidak mengaturnya, para pengkaji hukum Islam menyebut syarat perkawinan yang ada di pasal 6 dan 7 sebenarnya secara implisit mengatur peminangan tersebut. Salah satu syarat perkawinan adalah adanya persetujuan kedua calon mempelai.

Berbeda dengan UU No 1/1974, Kompilasi Hukum Islam tampakya mengapresiasi dengan cukup luas peminangan in. Seperti yang terlihat dalam pasal 1 bab 1 huruf a, peminangan didefinisikan sebagai kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita dengan cara-cara yang baik (ma'ruf).

Pencegahan dan pembatalan perkawinan menurut Perspektif Fikih. Fikih Islam tidak mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fikih Islam dan kata batal itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Di dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-Jaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil ialah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah al-fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan.

Jika dianalisis diaturnya masalah pencegahan dan pembatalan dalam UU perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan sebuah upaya efektif untuk menghindarkan terjadinya perkawinan yang terlarang karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama. Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No 1/1974 dalam pasal 13 yang bunyinya:

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk me-langsungkan perkawinan. Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaskud di dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal; syarat administratif dan syarat materiil.

Perspektif KHI berkenaan dengan pencegahan ini, agaknya KHI mengikut rumusan-rumusan UUP walaupun dalam bagian tertentu ada beberapa penambahan dan modifikasi. Secara eksplisit KHI menyatakan perkawinan dapat dicegah jika terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi, baik yang berkenaan dengan syarat administratif ataupun syarat materiil. Tujuannya adalah untuk menghindari perkawinan yang terlarang.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan yang dalam fikih tidak dicantumkan secara jelas tentang pencatatan perkawinan, dalam Al-Quran hanya ada dalil tentang anjuran mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Dalil inilah yang dijadikan acuan tentang pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan UUP perkawinan yang sebagai-mana terlihat nanti, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan per-kawinan itu dilaksanakan.

Di dalam UU No 1/1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam KHI dimuat masalah pencatatan perkawinan pada pasal 5 dan pasal 6. Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, di dalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan "agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam." Ketertiban disini menyangkut tujuan hukum Islam yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pasal 6 ayat 2 ada klausul "tidak mempunyai kekuatan hukum". Apa makna tidak memiliki mempunyai kekuatan hukum ini, tetapi sayangnya KHI tidak memiliki penjelasan.

Buku ini juga membahas tentang tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan yang sesuai, yang dijelaskan cukup lengkap dan runtut mulai dari pemberitahuan, penelitian, pengumuman hingga pelaksanaan perkawinan yang dibahas menggunakan pandangan hukum seperti mencamtumkan pasal-pasal yang terkait dengan pembahasan. Sehingga pembaca dapat melaksanakan urutan pelaksanaan perkawinan tanpa harus melanggar hukum yang sedang berlaku.

Selanjutnya mengenai perjanjian perkawinan, perlu dicatat bahwa ada dua hal yang penting mengenai perjanjian ini. Pertama, perjanjian perkawinan ini bukan merupakan sebuah kemestian. Tanpa ada perjanjian perkawinan pun, perkawinan itu dapat dilaksanakan. Kedua, berkenaan dengan isi perjanjian tersebut kendati pada dasarnya dibebaskan tetapi perlu diingat bahwa tidak boleh bertentangan dengan aturan syari'at.

Selanjutnya larangan yang tampaknya berkenaan dengan larang perkawinan yang termuat di dalam Fikih, UUP dan KHI tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual dari fikih, UPP dan KHI. Hal ini disebabkan karena masalah larangan perkawinan ini adalah masalah normatif yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang taken for granted. Kendati demikian sebenarnya mash ada satu bentuk larangan perkawinan yang tidak diatur dalam KHI di Indonesia, yaitu nikah mut'ah.

Pembahasan selanjutnya menyinggung mengenai poligami, jika dilhat dari hukum Islam, Al-Quran juga menyinggung tentang masalah poligami ini pada surah an-Nisaa ayat 3 dan ayat 129, dan pada buku ini juga disertai pendapat penulis mengenai poligami dan juga pendapat dari ulama-ulama yang juga menjelaskan tentang syarat-syarat dan alasan dari poligami itu sendiri.

Hak dan kewajiban suami istri perkawinan tidak saja dipandang sebagai media merealisasikan syari'at Allah agar memperoleh kebaikan dunia akhirat, tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam fikih mengenai hak dan kewajiban suami istri, di antara kewajiban suami terhadap istri adalah berlaku adil dalam mengatur waktu untuk para istri, memberi nafkah dan lemah lembut dalam berbicara terhadap mereka. Sedangkan, berkewajiban istri kepada suami dijelaskan bahwa wanita-wanita yang salih seperti yang diketahui oleh ayat adalah mereka yang taat pada suami.

Dalam UUP hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai 34. KHI mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri ini sangat rinci. Pembahasannya di mulai dari pasal 77-78 mengatur hal-hal yang umum, pasal 80 berkenaan dengan kewajiban suami, pasal 81 tempat kediaman dan pasal 82 kewajiban suami terhadap istri yang lebih dari seorang, dan pasal 83 berkenaan dengan kewajiban istri.

Putusnya perkawinan diatur dalam UUP. Dan pada Buku ini juga membahas mengenai hukum perdata yang juga membahas putusnya perkawinan serta mengambil pendapat dari para tokoh yang disertai dengan pendapat penulis.

Menyangkut tentang iddah sebenarnya tidak ada pergeseran konseptual yang signifikan antara fikih, UUP, PP No. 95/1975 pasal 39 dan KHI. Mungkin ini disebabkan karena iddah bersifat normatif seperti yang dinyatakan di berbagai ayat al-Qur'an. kendati demikian bukan berarti masalah ini sunyi dan kritik. Di antara masalah yang dikritik sebagai pengkaji hukum Islam adalah masalah fungsi iddha, dan larangan wanita yang sedang dalam masa iddah.

Fikih menjelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir akibat perkawinan yang sah, maka UUP dan KHI mendefinisikannya tidak berbeda dengan fikih. Melainkan dalam hal pemeliharaan anak dan tanggung jawab setelah bercerai sesuai dengan ketentuan Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa bapak bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan Agama dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya dimaksud.

Buku ini membahasa menganai peran negara dalam pembentukan hukum Islam dan penerapannya dalam sistem hukum Indonesia. Penulis mengkaji faktor-faktor sejarah dan budaya yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam di Indonesia dan mendalami bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi sistem hukum.

Secara keseluruhan, buku ini memberikan analisis komprehensif tentang perkembangan hukum Islam di Indonesia dan dampaknya terhadap sistem hukum negara. Buku ini sangat menarik untuk dibaca bagi siapa saja yang tertarik dengan hukum Indonesia, hukum Islam, atau persilangan keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun