Aku menangkap gerakan bibirnya yang mengucapkan semua itu dengan perasaan yang sulit kulukiskan. "Jadi, jangan salahkan Anto, De," Aku menutupkan kedua telapak tanganku ke muka, menangis terisak-isak.
"Bapakku main gila dengan perempuan seusiaku. Mamaku hampir gila menerima kenyataan itu. Rumah bagaikan neraka, karena hampir setiap hari selalu terjadi pertengkaran." Tidak sadar aku mengeluh di sela isak tangisku. Menumpahkan semua beban. Ada rasa lega.
Gun membelai kepalaku. Mengusap airmata di pipiku. "Jangan biarkan kamu menanggung semua ini seorang diri. Berilah kepercayaan padaku."
Aku termangu.
"Aku menyayangimu, De. Mencintaimu." Suara itu begitu menyejukkan perasaanku. "De, kamu belum menjawab permintaanku," tuntutnya.
Tapi kelihatannya Gun sudah tidak memerlukan jawabanku, kerena dengan malu-malu aku menyambut uluran tangannya dan tenggelam dalam dekapannya untuk menemukan rasa damai dan aman.
Kupandang riak gelombang yang bergelora menghantam karang. Mereka punya irama hidup. Tak pernah putus asa, sehingga pelan-pelan dapat mengikis karang. Yah, semoga bersama Gun aku dapat bersikap arif dalam menghadapi semua masalah. Perjalanan ini benar melelahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H