Panas menyengat membakar ubun-ubun. Setengah kuseret kakiku menapaki pasir demi pasir. Terkadang sepatuku terbenam di kedalaman pasir. Keringat membanjiri sekujur tubuhku.Â
Kulepaskan pandang ke kejauhan. Di kananku laut biru dengan ombaknya yang bergelombang memainkan irama tersendiri. Pantai yang seolah tiada ujung seakan menambah berat beban di kakiku.
"Masih jauh. Aku harus kuat," batinku bicara.
"Gun, istirahat dulu, dong!"
Itu pasti suara Santi. Kupalingkan kepalaku ke belakang. Kasihan sekali melihatnya berjalan setengah diseret Anto karena kecapean. Untung Anto cukup kuat, jadi bertambahnya beban dari tubuhSanti tidak terlalu mengganggu langkahnya. Enaknya seperjalanan dengan pacar, pikirku.
"Nanti, di balik batu karang sana," Gun menunjuk batu karang yang terletak lebih dari 100 meter di hadapanku.
Kupercepat langkahku , mencoba menyusulGun yang hampir sampai.
"Kapan kamu akan meninggalkan kegiatan menyiksa seperti itu?" masih kuingat teguran Mama ketika aku pamit kepadanya.
Menyiksa, kata Mama? Padahal suasana rumah lebih menyiksa batinku. Sambil menikmati usapan lembut angin pantai di tubuhku, kubiarkan lamunanku melayang ke rumah. Dua hari sebelum keikutsertaanku dalam penyusuran pantai Cipatujah -- Pangandaran ini, rumah kembali seperti kapal pecah. Bukan hanya barang-barang yang berantakan tetapi juga keheningan yangterkoyak oleh seribu makian yang keluar dari mulut kedua orangtuaku.
"Masih kuat kan, De?" Gun membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap memandang sepasang mata elang yang menatap tajam ke arahku. Sama sekali aku tidak menyadari kehadirannya.
"Iya," jawabku pendek. Aku bangkit dari berbaringku, kemudian duduk sambil mendekaplutut. Tidak enak rasanya berbaring sambil dipandangi oleh seorang lelaki.
"Kakimu jangan ditekuk. Luruskan!" Gun menarik kakiku halus. Sentuhannya agak mengacaukan perasaanku.