Tapi, kenapa aku harus bingung karena seorang lelaki? Menyusuri pantai! Why not? Dengan mantap, kemudian akupun bergabung dengan sembilan orang lainnya, yang semuanya dipimpin Gun.
Kupasang kembali sepatu ketsku. Kukenakan topiku.
"Gun tadi ngomong apa?" Santi ingin tahu. Ia berusaha menjejeri langkahku. "Ada perkembangan baru, nih?" tanyanya lagi mengoda.
Aku mengernyit heran, tak mengerti apa yang dia maksud.
"Cuma menanyakan apakah aku masih kuat atau tidak," kataku sambil menatap punggung leleki di hadapanku. Tuhan, kalau saja aku dapat memilikinya, mungkin aku dapat berbagi beban dengannya.
"Aku sering lho melihat dia menatapmu, memperhatikan tanpa sepengetahuanmu. Malah semalam aku melihat dia berbicara serius dengan Anto. Kudengar namamu sering disebut-sebut."
Aku menatap Santi tak percaya. Anto adalah bekas kawan SMA kakakku. Walaupun sekarang mereka tak sefakultas, tapi dia selalu menyempatkan diri datang ke rumahku.
Jadi, sedikit banyak dia tahu, kehidupan keluargaku macam apa. Anto pasti membicarakan aku. Dan Gun akan semakin jijik melihat aku, semakin sulit aku mengharapkannya. Ada rasa marah  menyadari semua ini.
Malam ini langit Pangandaran sangat jernih. Kugelar matrasku di atas tanah berpasir. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Kulihat Anto sedang berbaring sendirian. Kuhampiri dia.
"Kupikir kamu telah begitu banyak tahu kehidupan keluargaku. Dan semula aku yakin kamu dapat dipercaya untuk tidak menyebarkannya pada orang lain. Tapi mengapa itu kamu lakukan?" aku mencoba bersikap tenang.
"Apa maksudmu, De?" Anto menatapku tak mengerti.
"Aku nggak rela, kalau kejelekan-kejelekan keluargaku kamu ceritakan pada orang lain. Tidak juga pada Gun. Jelas?"
"Aku tidak bermaksud begitu, De. Tapi..."
"Tapi kamu melakukannya juga, kan?" aku memotong ucapannya. "Kamu pikir aku butuh belas kasihan orang lain?" kupandang tajam matanya. "Tidak, Anto! Kamu bener-bener mengecewakan aku!" nada suaraku mulai naik.
"Dengar, De, " Anto mengguncang lenganku. Aku menepiskannya dengan kasar.