Mohon tunggu...
Rizqa Alfiani
Rizqa Alfiani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Inspirasi Ngaji di Suatu Pagi

13 November 2018   12:30 Diperbarui: 13 November 2018   12:38 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aisyah dan orang tuanya mengambil tempat duduk di pojok aula, duduk melingkar dengan kiriman di tengahnya. Tempat lain  sudah penuh dengan orang tua yang juga menjenguk putrinya. Makan bersama dan bercerita panjang lebar seputar kehidupan di pondok sudah menjadi kegiatan rutin para santri ketika dijenguk. Tak terkecuali Aisyah yang sekarang juga berstatus sebagai santri. Ada saja yang ingin dia ceritakan kepada Abi (sebutan Aisyah kepada ayahnya) dan selalu ada cerita para sahabat dan ulama  terdahulu yang menjadi jawaban dari pertanyaan yang Aisyah tanyakan pada beliau.

Abi mulai berkisah "Ada ulama` bernana Ibnu Hajar Al Ashkolani yang terkenal dan telah mengarang banyak kitab. Dulunya, beliau murid yang bodoh, selalu tertinggal jauh dari temannya. Bahkan sering lupa dengan pelajaran yang diajarkan oleh gurunya di sekolah, hingga membuatnya frustasi. Beliau pun memutuskan untuk pulang meninggalkan sekolahnya. Di tengah perjalanan pulang, dalam kegundahan hatinya meninggalkan sekolah , hujan turun dengan sangat lebat, memaksa dirinya untuk berteduh dalam sebuah gua. Ketika berada di dalam gua, pandangannya tertuju pada sebuah teresan air yang sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu. Ia pun terkejut. "Sungguh sebuah keajaiban" katanya. Dia mulai merenung, seketika itu dia sadar, bertapa pun kerasnya sesuatu, jika diasah terus penerus pastilah akan menjadi lunak.

"Batu saja bisa berlubang dengan setetes air apalagi kepala saya yang tidak sekeras batu," ucapnya. Akhirnya beliau memutuskan untuk kembali menuntut ilmu di sekolahnya."

Terkadang sebelum Aisyah menanyakan apapun, abinya sudah menceritakan sebuah kisah. Dan itu pasti berhubungan dengan jawaban dari pertanyaannya yang bahkan belum sempat  dia ucapkan. Aisyah menganggukkan kepala. "Jadi semua masalah yang santri alami di pondok itu pada hakikatnya sama?"

"Iya, buktinya itu juga terjadi padamu kan Aisyah?"

"Iya," Aisyah mengiyakan meski dia sedikit heran kenapa abinya bisa tahu masalah yang dia alami. Dia mengernyitkan bahunya.

Mungkin sekitar satu jam setengah, saat matahari tepat di atas kepala. Orang tuanya pamit untuk pulang. Mereka mengakhiri perbincangan mereka dengan salam.  "Siapa mau makan?" Tanya Aisyah kepada teman-temannya saat tiba di kamar. "Aku!" mereka langsung duduk melingkari makanan yang dibawa Aisyah. Dibukanya nasi yang dibungkus dalam gulungan daun pisang, meniupkan aroma khas, dalam bungkusan terpisah pepes cakalan yang berjajar rapi  melehkan liur mereka. Tak sampai lima menit semua makannya sudah ludes termakan.

***

Pada malam itu entah kenapa, Aisyah masih terjaga dari tidurnya. Tidak seperti biasaya, yang sepulang diniyah langsung molor di atas bantal. Dia tak sengaja mendengar suara seperti orang berbisik dari luar, dia ketakutan. Namun karena dia penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk melihatnya, kepalanya keluar sedikit ke jendela. "tak ada siapa pun!" saat dia hendak menarik kepalanya ke dalam, di bawah jendelanya ada seseorang yang sedang memegang beberapa kitab dan buku. Belajar dalam hening dan gelapnya malam, dia adalah Nanda, orang yang selama ini membuatnya iri, karena keberuntungannya.

"Tak pantas aku iri dengannya"

 "Dia bisa bukan karena beruntung, tapi karena memang usahanya sangat besar." Pikirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun