***
Isunya Nanda ingin mengikuti lomba itu. Dia juga anak yang baru tahu namanya ilmu nahwu dan sorrof. "Nanda bisa ikut, berarti aku juga harus bisa" batin Aisyah berbicara. Terlintas di kepalanya untuk mengikuti lomba itu juga.
Kamar yang biasa sepi, karena semuanya punya kesibukan masing-masing. Dibukanya kitab kuning tanpa harkat dan makna gandol yang dia tulis, tangannya masih kaku menulis dengan tulisan pego, hingga semua sulit terbaca. Itu membuat keyakinanan dirinya ikut lomba mulai  mengerut. "Ah.. tulisanku saja tidak bisa dibaca"
***
Hari kemerdekaan santri di pondokku ini adalah hari Ahad, hari yang menjadi ajang meluruskan punggung, setelah satu minggu berkegiatan. Hari bebas diniyah, sekolah dan les sore. Kamar yang bisanya hanya ada beberapa orang saja, kini terisi penuh. Menghabiskan waktu dengan candaan. Bukan lagi buku pelajaran yang mereka pegang, tapi sedikit unsur fiksi dan kisah penggugah jiwa. Tak ada kesempatan emas yang mereka sia-siakan. Bahkan untuk merangkai mimpi di atas tas sekolah yang berubah fungsi menjadi bantal. "Sekarang waktunya merangkai mimpi, karena seminggu ke depan kita akan mewujudkannya." Begitulah alibinya.
Di sisi lain petugas keamanan yang tak bisa bersantai seperti mereka, karena harus bertugas menjaga  santri yang dijenguk oleh orang tuanya. HT alias Handy Talky menjadi senjata mereka saat berjaga, pemberi  informasi kepada stan siaran untuk menyiarkan siapa saja yang orang tuanya menjenguk.
"Panggilan ditujukan kepada ananda Aisyah Putri di tunggu kehadirannya di aula, karena orang tua sedang menunggu ananda" suara stan siaran memanggil Aisyah. "Aisyah, Kamu dijenguk" Lisa membangunkanku. Aku bergegas menuju kamar mandi dan mencuci muka. Tepat pukul 10.00 orang tua Aisyah menjenguknya.
"Assalmualaikum."
"Waalikum salam."
"Bangun tidur Nak?"
"Hehe.. .Iya Bi." Terkekeh.