Mohon tunggu...
Denny Rizky Ramadhan
Denny Rizky Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ekonomi FEM IPB University 2019

Mahasiswa ekonomi yang tertarik isu HAM dan kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menjawab Tudingan dan Kesalahpahaman RUU P-KS, Sahkan RUU P-KS!

28 September 2020   06:45 Diperbarui: 28 September 2020   06:52 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau yang kerap disebut RUU PKS adalah sebuah Rancangan Undang-Undang yang menjadi payung hukum untuk menangani kasus dan permasalahan seputar kekerasan seksual, seperti yang kita ketahui bersama bahwa kekerasan seksual merupakan suatu isu yang sangat mengkhawatirkan di tengah masyarakat tidak hanya bagi perempuan melainkan bagi laki-laki sekalipun, 

oleh karena itu diperlukan sebuah jaminan hukum bagi warga negara agar mempunyai rasa aman terhindar dari setiap kekerasan seksual. Sejatinya RUU PKS ini telah digagas dan diusulkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 2012, namun Draf RUU PKS ini baru diusulkan kepada Badan Legislatif DPR pada tahun 2016.

Jika dilihat dari situs resmi DPR RI dalam draft RUU PKS, secara umum RUU PKS mencakup hal-hal yang berkaitan dengan korban kekerasan seksual seperti yang tertera dalam draft RUU PKS Pasal 4 ayat (1) yaitu, Penghapusan kekerasan seksual meliputi :
a.) Pencegahan,
b.) Penanganan,
c.) Perlindungan,
d.) Pemulihan Korban, dan
e.) Penindakan Pelaku

Dari pasal tersebut mengindikasikan tujuan dibentuknya RUU PKS adalah sebagai upaya untuk mencegah kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan dengan pidana demi keadilan, menjamin lingkungan bebas kekerasan seksual, dan berfokus untuk menangani, melindungi dan memulihkan korban. 

Menurut Komisioner Komnas Perempuan terdapat 348,446 kasus selama 2019. 50% kasus kekerasan seksual yang dilaporkan berakhir dengan jalur non-hukum termasuk mengawinkan korban. Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad juga mencatat kasus tindak kekerasan yang menimpa perempuan disabilitas semakin meningkat sebesar 47 persen apabila dibandingkan tahun 2018. Korban terbanyak adalah disabilitas intelektual.

Sementara, anggota Komnas Perempuan, Retty Ratnawati menilai tindak kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan seringkali terjadi ketika mereka menjalani relasi pacaran. Sebagian besar korban memiliki latar pendidikan paling tinggi SLTA.

"Kondisi ini diakibatkan karena kurangnya pemahaman seksualitas dan kesehatan reproduksi di usia seksual aktif sehingga perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual. Oleh karena itu pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas dalam kebijakan pendidikan di Indonesia sangatlah dibutuhkan," ungkap Retty.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja tidak cukup untuk memberikan perlindungan terhadap korban. Oleh karena itu, ia menilai tidak ada alasan lagi untuk menunda pengesahan RUU PKS yang bersifat lex specialist atau aturan hukum yang bersifat khusus.

Dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas tahun 2020 oleh DPR membuat banyak pihak yang pro terhadap RUU PKS menyayangkan hal tersebut. Di tengah kondisi darurat kekerasan seksual yang semakin meningkat setiap tahunnya, hal ini justru tidak diimbangi dengan niatan DPR untuk segera mengesahkan RUU ini, bahkan memutuskan untuk mengeluarkan RUU PKS dari prioritas pembahasan dengan alasan pembahasannya yang sangat sulit. Oleh karena itu banyak penolakan yang terjadi dan menuntut agar DPR memasukkan kembali RUU PKS ke dalam prolegnas pada tahun 2021 dan segera mengesahkannya maksimal pada tahun 2021.

Alasan mengapa RUU PKS ini muncul, karena pengaturan dalam KUHP tentang kekerasan sangatlah terbatas. Inilah yang akan menjawab pernyataan kelompok yang mengaku bahwa kita tidak membutuhkan RUU PKS karena sudah memiliki undang-undang lain dan KUHP yang mengatur tentang kekerasan maupun hubungan seksual. 

Pengaturan yang ada dalam KUHP secara garis besar mengatakan bahwa bentuk kekerasan seksual hanyalah perkosaan dan pencabulan, padahal masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan seksual di luar itu. Pengaturan yang ada pun belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak korban. Melalui RUU PKS-lah detail definisi kekerasan seksual yang kurang lengkap pada KUHP disempurnakan.

Untuk meluruskan hoaks dan kesalahpahaman terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka dari itu saya menyederhanakannya sebagai berikut,

RUU PKS Tidak Mendukung Seks Bebas dan LGBT

Tidak diaturnya seks bebas danLGBT dalam RUU PKS bukan berarti RUU PKS mendukungnya. Lagipula, seks bebas dan LGBT  tidak masuk ranah kekerasan seksual, sehingga tidak tepat diatur RUU PKS!

RUU PKS Tidak Melegalkan Aborsi  

UU Kesehatan memidana aborsi sukarela namun tidak mengatur aborsi paksa. RUU PKS melengkapi dan tidak mencabut pasal aborsi UU Kesehatan, sehingga memberikan akses keadilan bagi korban aborsi paksa

RUU PKS Tidak Melegalkan Prostitusi

RUU PKS sejalan dengan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan orang yang mengincar pelaku jual-beli orang dan eksploitasi seksual. Sementara pihak yang diperjualbelikan dipandang sebagai korbannya. Cara berfikir yang menganggap RUU PKS adalah sama dengan Pro Perzinahan adalah logika berfikir yang melompat. 

Terlebih lagi, mereka menolaknya dengan legitimasi dalil agama. Sama halnya dengan peraturan prostitusi yang ada di RUU PKS, dalam RUU tersebut pemaksaan pelacuran dilarang dan orang yang melakukan pemaksaan bisa dijerat oleh hukum. Saya memang kurang bisa mengerti, bagaimana poin ini bisa berubah tafsirnya menjadi "pelegalan zina". Mungkin karena tidak dituliskan bagaimana hukumnya orang yang melakukan hubungan seks atas dasar suka sama suka.

RUU PKS Tidak Memidana Pemaksaan Berpakaian 

Pemaksaan penggunaan pakaian tidak diatur dalam RUU PKS. Hal ini menjadi pertanyaan draft mana yang membahas tentang seorang ibu bisa dijerat dengan pasal di RUU PKS jika ibu tersebut menyuruh anaknya memakai jilbab tapi anaknya tidak mau.

Penting rasanya ketika kita berada dalam kebingungan untuk menentukan mana sesuatu yang benar, kekritisan adalah sebuah kunci dan harus menjadi hal yang utama untuk bisa kita asah. Contohnya saja pada kasus pro-kontra RUU PKS yang ternyata terdapat banyak sekali asumsi-asumsi liar yang berada di luar tujuan maupun isi dari RUU itu sendiri.

Memang perlu kita sadari bahwa masih banyak dari kita lebih menyukai budaya mendengar daripada budaya membaca, namun perlu kita sadari pula bahwa semua yang diucapkan oleh beberapa orang atau kelompok tertentu tidak lantas menjadi sebuah kebenaran yang final. Mau tidak mau, untuk mendapatkan kebenaran yang objektif kita harus bisa mengkritisi. 

Selain itu tentunya kita tetap harus membaca supaya kita mendapatkan data-data secara holistik dan bisa dipertanggungjawabkan, tidak hanya bergantung pada "katanya" yang tidak jelas sumber data tersebut berasal entah dari golongan atau kepentingan yang mana.

Seharusnya, sebagai umat Islam, kita justru harus mendukung penuh dan mendesak DPR untuk sesegera mungkin mengesahkan RUU yang berpihak kepada kaum perempuan tersebut sebagai bentuk aplikasi kontekstual sunnah nabi. Bukan malah sebaliknya, menggunakan agama untuk legitimasi pikiran yang mendehumanisasi kaum perempuan.

Referensi

www.dpr.go.id

www.komnasperempuan.go.id

islami.co

kompas

detik

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun