Fakta empiris pada Pilkada 2020 terdapat praktek borong dukungan yang dilakukan oleh partai-partai politik yang menduduki kursi legislatif di daerah yang keseluruhannya mendukung satu pasangan calon.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Kediri sebagai salah satu daerah yang memiliki calon tunggal yang didukung oleh 9 (sembilan) partai politik pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Â
Di daerah lain seperti di Kabupaten Bengkulu Utara, calon tunggal yang juga berstatus sebagai petahana didukung sebanyak 10 (sepuluh) partai politik penghuni DPRD daerah tersebut.
Dengan tingginya ambang batas yang telah ditentukan oleh undang-undang dan elektabilitas petahana sebagai calon tunggal di pilkada menjadikan banyak partai politik akan berpikir berulang kali untuk mengusung pasangan calon.Â
Lebih lanjut, kewenangan yang dimiliki Dewan Pimpinan Pusat (DPP) masing-masing partai politik sedikit banyak memengaruhi peta kompetisi perebutan kekuasaan di daerah sebab maju tidaknya seorang pasangan calon yang diusung suatu partai politik atau gabungan beberapa partai politik haruslah mendapatkan rekomendasi Dewan Perwakilan Pusat (DPP) sehingga kader partai politik di daerah harus mematuhi rekomendasi yang diberikan DPP partai politik tersebut.Â
Ketiadaan wewenang bagi Dewan Perwakilan Cabang (DPC) atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD) partai politik untuk dapat mendaftarkan pasangan calon pada pilkada juga menutup potensi yang dimiliki kader partai politik di daerah untuk dapat maju dalam kontestasi. Hal ini menandakan masih berpengaruhnya pemusatan pengambilan keputusan dalam mengajukan pasangan calon kepala daerah dalam pilkada oleh partai politik di tingkat pusat.
Kondisi Covid-19 juga semakin memuluskan kondisi pasangan calon tunggal, utamanya jika berstatus rangkap sebagai petahana. Petahana bagaikan mendapat karpet merah dalam kontestasi karena telah memiliki rekam jejak kepemimpinan di periode sebelumnya ditambah dengan berbagai kebijakan yang dilakukan selama penanganan Covid-19, memungkinkan elektabilitas pasangan calon tunggal petahana sangat tinggi di daerah tersebut.Â
Meskipun begitu, UU Pilkada juga mengakomodir keikutsertaan pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan melalui Pasal 39. Keberadaan calon tunggal pada dasarnya membuka peluang bagi kemunculan pimpinan yang berasal dari politik arus bawah sehingga masyarakat tidak hanya berposisi sebagai penonton atau pemilih calon yang diusungkan oleh partai politik namun juga sebagai aktor politik itu sendiri (Ryna, 2015, hal. 112-113)
Namun sama halnya dengan pasangan calon kepala daerah yang diusung partai politik, pasangan calon perseorangan juga memiliki persyaratan yang tinggi untuk dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah seperti yang diatur dalam Pasal 41 UU Pilkada.Â
Perbedaan yang mendasar ialah pasangan calon dari jalur perseorangan harus mengumpulkan dukungan minimal 6.5% hingga 10% dari faktor jumlah penduduk pada suatu provinsi/kabupaten/kota.Â
Ketiadaan mekanisme yang melembaga seperti partai politik bagi pasangan calon dari jalur perseorangan untuk mengumpulkan dukungan berdasarkan jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih mutlak menyulitkan calon pasangan tersebut untuk menggalang dukungan. Yang pada akhirnya kondisi calon tunggal dalam perhelatan demokrasi di tingkat daerah tidak dapat terelakkan.