Mohon tunggu...
Rizky Novian Hartono
Rizky Novian Hartono Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Belajar untuk menulis; menulis untuk belajar.

Menulis adalah cara untuk menyimpan ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Eksistensi Pasangan Calon Tunggal di Pilkada dalam Hukum Positif Indonesia

2 Desember 2020   21:13 Diperbarui: 2 Desember 2020   21:17 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Era reformasi membawa perubahan yang mendasar pada seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali pemilihan kepala daerah (pilkada). Lebih dari satu dasawarsa telah dilakoni, pilkada terus mengalami modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan dari rakyat di daerah itu sendiri. 

Pelaksanaan pilkada secara langsung sebagaimana yang telah diterapkan sekarang bukan tanpa melewati halang rintang. Butuh waktu yang tidak singkat pula hingga pada akhirnya perwujudan asas kedaulatan rakyat di daerah untuk menghasilkan pemimpin definitif sekaligus memiliki legitimasi yang kuat dapat diaktualisasikan. 

Bongkar pasang peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah menjadi contoh konkret bahwasanya pembentuk undang-undang masih mencari cara terbaik untuk mengimplementasikan amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana yang telah diubah beberapa kali menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada), pilkada mengalami transisi mekanisme yang baru untuk memperebutkan kekuasaan sekaligus perwujudan demokratisasi di daerah yakni dilaksanakan secara serentak.

Dalam ranah teoritis, konsep pemilu serentak adalah suatu kebijakan politik untuk melakukan penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari H pemungutan suara. (Ria, 2014, hal. 532).

Pilkada serentak 2020 menjadi pelaksanaan pilkada yang sangat berbeda dan memiliki tantangan tersendiri daripada tahapan pilkada sebelumnya sebab dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. 

Kondisi darurat kesehatan kemasyarakatan memaksa Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pelaksanaan pilkada yang semula dijadwalkan pada bulan September 2020 menjadi bulan Desember 2020 sebagaimana yang diatur dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020. 

Kondisi menarik lain yang perlu dikritisi di Pilkada 2020 ialah meningkatnya jumlah calon tunggal di berbagai daerah. Dilansir dari data KPU bahwa terdapat 25 kabupaten/kota yang hanya memiliki satu pasangan calon dalam pilkada di daerah tersebut.

Sejatinya UU Pilkada memang mengamini pelaksanaan pilkada hanya dengan satu pasangan calon sebagai upaya terakhir. Legalitas calon tunggal pada pilkada tidak lepas dari "restu" Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 bahwa terdapat kekosongan hukum jika pilkada tidak diikuti sedikitnya 2 (dua) pasangan calon sebagaimana yang diatur dalam UU Pilkada dan berpotensi melanggar hak untuk dipilih dan hak untuk memilih manakala norma tersebut tidak dipenuhi. 

Trend pilkada hanya dengan satu pasangan calon terus meningkat pada setiap perhelatan demokrasi di daerah. Pada tahun 2015, sebagai tahun tahapan pilkada serentak pertama, terdapat 3 (tiga) daerah yang memiliki satu pasangan calon, kemudian meningkat menjadi 9 (sembilan) daerah pada Pilkada 2017, dan meningkat kembali menjadi 16 (enam belas) daerah pada Pilkada 2018, dan terkini pada Pilkada 2020 terdapat 25 (dua puluh lima) daerah. 

Semula diyakini bahwa hanya dengan menghadirkan satu pasangan calon pada pilkada  merupakan manuver dari kalangan elite politik untuk menjegal pasangan calon (yang juga berstatus petahana) agar tidak dapat maju sebab akan menciptakan akibat hukum daerah tersebut harus menunda pelaksanaan hingga pilkada berikutnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Namun dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 seolah memutarbalikkan manuver politik tersebut secara nasional.

Banyak ahli yang mengkritisi kondisi pilkada hanya dengan satu pasangan calon merupakan kondisi yang tidak ideal dalam konteks berdemokrasi sebab filosofis dilaksanakannya pilkada ialah untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat di daerah dalam rangka melakukan transisi kepemimpinan di daerah. Keberadaan calon tunggal dalam pilkada juga dianggap akan mendegradasi kualitas dari demokrasi itu sendiri.

Kondisi ini menjadi anomali sekaligus ironi bagi Indonesia yang memiliki sistem multipartai dan jumlah penduduk yang besar. Padahal secara teori, kontestasi dan kompetisi ialah syarat mutlak demokrasi. Tatkala dua unsur itu tidak dapat terpenuhi, demokrasi yang sedang dibangun itu tidak terkonsolidasi, tak substantif, dan hanya prosedural belaka.

Meningkatnya calon pilkada tunggal tiap tahunnya semakin membuktikan tesis bahwa terdapat kekeliruan penafsiran peraturan perundang-undangan tentang pilkada yang mengatur mengenai keberadaan calon tunggal sekaligus disfungsi partai politik di Indonesia. 

Salah satu fungsi yang dimiliki Partai Politik sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ialah rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. 

Pengisian jabatan politik tersebut tidak akan tercapai jika rekrutmen terhadap masyarakat ataupun kader partai politik terganjal dengan berbagai aturan limitatif diantaranya tingginya persyaratan pengusulan pasangan calon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik, ataupun pasangan calon perseorangan.

Sebagaimana yang kita ketahui, calon kepala daerah dapat maju atas usul partai politik/gabungan beberapa partai politik atau maju secara perserorangan. 

Untuk pasangan calon kepala daerah dengan kendaraan partai politik, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada mensyaratkan perolehan suara paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. 

Tingginya minimal ambang batas tersebut menjadikan partai politik tidak leluasa dalam mengusulkan calon kepala daerah. Ketidakleluasaan tersebut berimplikasi pada calon kepala daerah yang kompeten dimungkinkan tidak dapat diajukan jika partai politik tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut.

Akhirnya alternatif lain ialah membentuk sebuah koalisi dengan partai politik lain yang memenuhi persyaratan, yang belum tentu tiap partai politik yang tergabung dapat mengusulkan masing-masing calon kepala daerahnya.

Selain tingginya ambang batas yang telah ditetapkan, problematika lain yang menjadi penyebab munculnya calon tunggal pada pilkada ialah sikap pragmatis dari partai politik itu sendiri. 

Dengan sahnya kondisi pilkada hanya dengan satu pasangan calon, partai politik menggunakannya sebagai sebuah strategi pemenangan yang baru. Partai politik yang sebetulnya memenuhi persyaratan ambang batas dalam mengajukan calon pasangan mengurungkan niatnya atau bahkan dengan sengaja tidak mengajukan pasangan calon dalam pilkada agar mendapatkan kekuasaan dengan cara mengamankan kemenangan sejak dibukanya masa pendaftaran pasangan calon pilkada yakni hanya mendukung calon pasangan yang telah memiliki elektabilitas yang tinggi di masyarakat atau bahkan hanya mendukung petahana kembali agar mendapatkan kemenangan sehingga timbul pratek borong dukungan yang dilakukan oleh partai-partai politik bagi salah satu pasangan calon.

Fakta empiris pada Pilkada 2020 terdapat praktek borong dukungan yang dilakukan oleh partai-partai politik yang menduduki kursi legislatif di daerah yang keseluruhannya mendukung satu pasangan calon.

Seperti yang terjadi di Kabupaten Kediri sebagai salah satu daerah yang memiliki calon tunggal yang didukung oleh 9 (sembilan) partai politik pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 

Di daerah lain seperti di Kabupaten Bengkulu Utara, calon tunggal yang juga berstatus sebagai petahana didukung sebanyak 10 (sepuluh) partai politik penghuni DPRD daerah tersebut.

Dengan tingginya ambang batas yang telah ditentukan oleh undang-undang dan elektabilitas petahana sebagai calon tunggal di pilkada menjadikan banyak partai politik akan berpikir berulang kali untuk mengusung pasangan calon. 

Lebih lanjut, kewenangan yang dimiliki Dewan Pimpinan Pusat (DPP) masing-masing partai politik sedikit banyak memengaruhi peta kompetisi perebutan kekuasaan di daerah sebab maju tidaknya seorang pasangan calon yang diusung suatu partai politik atau gabungan beberapa partai politik haruslah mendapatkan rekomendasi Dewan Perwakilan Pusat (DPP) sehingga kader partai politik di daerah harus mematuhi rekomendasi yang diberikan DPP partai politik tersebut. 

Ketiadaan wewenang bagi Dewan Perwakilan Cabang (DPC) atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD) partai politik untuk dapat mendaftarkan pasangan calon pada pilkada juga menutup potensi yang dimiliki kader partai politik di daerah untuk dapat maju dalam kontestasi. Hal ini menandakan masih berpengaruhnya pemusatan pengambilan keputusan dalam mengajukan pasangan calon kepala daerah dalam pilkada oleh partai politik di tingkat pusat.

Kondisi Covid-19 juga semakin memuluskan kondisi pasangan calon tunggal, utamanya jika berstatus rangkap sebagai petahana. Petahana bagaikan mendapat karpet merah dalam kontestasi karena telah memiliki rekam jejak kepemimpinan di periode sebelumnya ditambah dengan berbagai kebijakan yang dilakukan selama penanganan Covid-19, memungkinkan elektabilitas pasangan calon tunggal petahana sangat tinggi di daerah tersebut. 

Meskipun begitu, UU Pilkada juga mengakomodir keikutsertaan pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan melalui Pasal 39. Keberadaan calon tunggal pada dasarnya membuka peluang bagi kemunculan pimpinan yang berasal dari politik arus bawah sehingga masyarakat tidak hanya berposisi sebagai penonton atau pemilih calon yang diusungkan oleh partai politik namun juga sebagai aktor politik itu sendiri (Ryna, 2015, hal. 112-113)

Namun sama halnya dengan pasangan calon kepala daerah yang diusung partai politik, pasangan calon perseorangan juga memiliki persyaratan yang tinggi untuk dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah seperti yang diatur dalam Pasal 41 UU Pilkada. 

Perbedaan yang mendasar ialah pasangan calon dari jalur perseorangan harus mengumpulkan dukungan minimal 6.5% hingga 10% dari faktor jumlah penduduk pada suatu provinsi/kabupaten/kota. 

Ketiadaan mekanisme yang melembaga seperti partai politik bagi pasangan calon dari jalur perseorangan untuk mengumpulkan dukungan berdasarkan jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih mutlak menyulitkan calon pasangan tersebut untuk menggalang dukungan. Yang pada akhirnya kondisi calon tunggal dalam perhelatan demokrasi di tingkat daerah tidak dapat terelakkan.

Meskipun legalitas keberadaan calon tunggal dalam pilkada sah menurut peraturan perundang-undangan, tetap dibutuhkan konstruksi hukum dan upaya yang ideal untuk menjaga marwah demokrasi di Indonesia.

Sejatinya dengan diberlakukannya pilkada secara langsung oleh masyarakat di daerah, negara hendak mewujudkan demokratisasi hingga tingkat paling rendah agar pembangunan nasional tetap dapat terlaksana dengan pemimpin-pemimpin yang berkualitas dan memiliki legitimasi yang kuat hasil dari pilihan masyarakat di daerah. 

Sosialisasi untuk menggaungkan eksistensi kotak kosong pada pilkada melawan calon tunggal tentu harus secara massif dilakukan agar masyarakat teredukasi bahwa hak memilihnya tidak harus berupa memilih calon tunggal jika setuju namun dapat memilih kotak kosong jika visi-misi yang digiring oleh calon tunggal tidak sesuai dengan kebutuhan dan hati nurani pemilih itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun