Semua orang masih bersedih dengan kepergian Widya. Rasa haru dan tidak percaya menyelimuti semua keluarga, kecuali Haidar yang merasa semesta sedang mendukungnya. Parasnya memang sedih, tetapi hatinya mekar seperti bunga.
Pertemuan keluarga yang sejatinya akan diadakan 3 minggu lagi, pasti akan batal dengan kejadian ini. Jika tidak, sebaiknya harus diundur demi menghormati duka keluarga, setidaknya seperti itulah yang ada dalam pikirannya.
Setelah proses salaman kepada seluruh tamu yang menghadiri acara tahlil selesai, Haidar langsung menarik tangan Ardan dan Selvi menuju ke kamar tamu. Sementara, Putri hanya bisa melihatnya tanpa mampu berkomentar, ada rasa ingin tahu tetapi, perasaannya memupus dan lebih baik fokus membersihkan ruangan.
"Kenapa sih narik-narik?" kata Ardan yang melepaskan diri dari tangan Haidar di kamar.
Haidar mencoba melihat keadaan sekitar, kemudian menutup pintunya lalu berkata," Kak Widya baru saja meninggal, lebih baik acara pertemuan keluarganya kita batalkan, atau minimal diundur."
"Kenapa harus diundur? Justru bisa dipercepat, agar 40 hari besok semua bisa datang mendoakan," ucap Selvi yang melihat Haidar mengernyitkan dahinya, dan tampak panik.
"Kamu ini tidak punya perasaan sekali, kasihan keluarganya kak Widya pasti masih berduk," kata Haidar.
"Kak, yang menyelenggarakan itu Kak Putri, harusnya yang memberikan keputusan dia, bukan kita, gimana kalau semuanya sudah siap?" kata Selvi.
"Ya, kalau sudah siap, kalau belum? lagipula Kak Putri darimana bisa dapat uang? hidupnya seperti itu, belum lagi suaminya habis pulang dari rumah sakit, kasihan juga kondisinya," ungkap Haidar.
Perdebatan kedua adiknya itu, membuat Ardan teringat momen ketika dirinya hanya berdua dengan Widya di Rumah Sakit beberapa waktu lalu. Kakaknya ingin apapun yang terjadi pertemuan ini terus dilaksanakan karena ada hal penting yang harus disampaikan.