Mohon tunggu...
Rizky Karo Karo
Rizky Karo Karo Mohon Tunggu... Dosen - Profil Singkat

Saya seorang pembelajar. Seorang Muda di Fakultas Hukum di Yogyakarta, enerjik, kalem namun easygoing, sedang belajar untuk menjadi advokat yang dapat membela orang miskin, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran/keadilan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Sembarang Kawin

1 April 2016   12:49 Diperbarui: 1 April 2016   17:16 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawin, kapan kawin? May, may be yes or may be no? sebuah slogan iklan perusahaan rokok beberapa waktu silam, sebenarnya memiliki makna mendalam. Seseorang menimbang masak-masak bahwa dia tidak ingin sembarang kawin. Apapun yang dibilang orang, orang tersebut sabar, dan menunggu yang tepat. 

Jika dipandang dari segi agama, perkawinan adalah sakral. Apapun agamanya, pasti memiliki sudut pandang positif tentang perkawinan. Orang harus kawin dengan orang yang memiliki agama yang sama. Mengapa? Menurut saya pribadi, terlepas dari hak asasi manusia, dengan menikah bersama orang yang memiliki agama yang sama, tentu tidak perlu lagi adaptasi, atau takut ada cek cok dalam membesarkan anak nantinya.

Jika dipandang dari segi psikologis. Perkawinan adalah sarana mempertmukan dan memberi kepastian bagi dua insan, pria dan wanita, serta untuk melanjutkan keturunan. Menurut saya pribadi, terlepas dari hak asasi manusia, memang sudah kodratnya pria dan wanita itu menikah karena selain memberi kepastian bagi hati, dan kisah pacaran mereka. Mereka dapat juga melanjutkan keturunan dengan cara yang halal.

Jika dipandang dari segi sosial. Perkawinan dapat meningkatkan ataupun menurunkan status sosial seseorang. Misalnya saja, orang yang memiliki ekonomi pas-pasan, ataupun bekerja sebagai staff, namun kawin dengan orang yang punya ppenghasilan dan pangkat tinggi tentu akan menaikan status sosial.

Jika dipandang dari hukum, kawin harus sesuai dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, 

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh

satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 

(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak 

mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup

diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan 

kehendaknya.

(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu 

untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara 

atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas 

selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. 

(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4)

pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, 

maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan 

perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu 

mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. 

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun 

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak 

menentukan lain. 

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun

dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. 

(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada

Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak 

wanita. 

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut 

pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi

tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

 Jika memiliki beda kebangsaan hal tersebut juga diatur di UU Perkawinan yakni pada perkawinan campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan

antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena

perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan

campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula

kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-

undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59

(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan

menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata. 

(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-

undang perkawinan ini.

Pasal 60

(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat 

perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan 

karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh

mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang 

mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. 

(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu,

maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan

tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan 

pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. 

(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu 

menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).

(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi

jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan 

itu diberikan.

Pasal 61

(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. 

(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tampa memperlihatkan lebih

dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan

pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan

hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan. 

(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui 

bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun