Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

#4 Gunung Kelud: Kawan yang Hilang

4 Maret 2022   16:00 Diperbarui: 5 Maret 2022   07:19 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekhawatiran pasti akan selalu menyelimuti setiap diri manusia. Hal itu baik. Karena dengan kekhawatiran itulah kita bisa sadar dan peduli akan hal-hal kecil di sekeliling kita. Dan justru dengan khawatir kita akan otomatis memberanikan diri untuk menghadapi rintang yang melintang.

***

Setelah membereskan bekas makanan, kami hanya membawa dua tas kecil yang berisi botol air yang nanti akan diisi di air terjun dan kompor beserta panci. "Jalanan setelah ini akan menurun dan harus berpengangan tali sebagai alat bantu," jelas Rosyad.

Pukul setengah sembilan kami mulai berangkat. Kabut masih mengungkung gunung. Tapi kami masih punya keyakinan bahwa kabut akan segera hilang.

Benar apa yang dikatakan Rosyad. Lima menit kami berjalan, trek sudah menunjukkan kesulitannya. Menurun. Cukup curam. Butuh effort  yang berlebih bagi kami bertiga. Rosyad yang sudah malang melintang di dunia pendakian enteng saja melaluinya. Sementara saya, Ahmad, dan Agung harus menata napas berkali-kali. Kami harus berpegangan tali yang kuat jika tak ingin terpeleset di jalur pendakian.

Saya sempat berpikir jika trek menurun saja begini apalagi saat nanti kembali pasti akan lebih berat karena pasti trek akan menanjak. Kami harus kuat dan punya keyakinan tinggi. Sering sekali kami mengambil break. Mengatur napas sejenak.

Tak terasa setelah pelan-pelan kami berjalan, trek menurun sudah kami lalui. Selepas ini kami akan menghadapi jalur punggung naga. Sebelum melewati jalur punggung naga ini, terdapat sebuah peringatan bagi para pendaki. "Hati-Hati. Kiri dan Kanan Jurang." Melihat tulisan tersebut kami menjadi tertantang sekaligus menaikkan level kewaspadaan.

Disebut jalur punggung naga karena mungkin jalur ini yang menghubungkan antara puncak bayangan dan puncak setinggel gunung Kelud. Di samping kiri dan kanan jurang. Hanya tumbuhan liar dan ilalang yang menjadi pagar.

Sejauh ini pendakian berjalan normal. Kami terus berjalan dengan irama sedang. Kabut mulai menipis. Tak setebal beberapa menit yang lalu. Ini menjadi harapan baru. Sinar matahari pun perlahan mengintip dari balik mendung.

"Semangat! Sebentar lagi sampai di pertigaan jalur," seru Rosyad yang sudah memimpin di depan.

Kaki saya mulai merasakan pegal yang teramat. Baru kali ini saya merasakan lelah yang seperti ini. Agung dan Ahmad pun juga merasakan yang sama. Keringat mengucur deras.

Capek, istirahat. Capek, istirahat. Santai. Itu yang ditekankan Rosyad.

Terus saja kami berjalan santai hingga tiba di pertigaan jalur. Di samping kanan tertulis "Kili Suci". Jika mengikuti trek lurus kami akan ke puncak. Jika berbelok ke kanan, jalur akan mengantarkan ke air terjun.

Dok. Pribadi. Pertigaan Kili Suci
Dok. Pribadi. Pertigaan Kili Suci

"Kita ke air terjun dulu, baru menuju puncak. Palingan sekitar satu jam perjalanan pulang-perginya," ujar Rosyad.

"Jalannya bagaimana?" tanya Ahmad. Dia nampak kelelahan. Kakinya mulai gemetar.

"Curam. Lebih curam dari trek turunan setelah puncak bayangan tadi."

Ahmad menelan ludah. Sangat menantang baginya.

"Istirahat saja dulu. Santai. Kalau merasa mendingan, baru kita menuju ke air terjun," jelas Rosyad.

Kami beristirahat cukup lama. Terutama Ahmad. Dia nampak sangat kelelahan. Kasihan melihatnya. Napasnya tersengal. Saya pun sebenarnya juga mulai merasakan kaki gemetar. Tapi masih bisa ditahan.

"Yookk!!" ajak Ahmad.

Kami mulai menuruni trek yang curam. Bahkan saya harus sambil jongkok untuk menuruni trek. Karena tidak mungkin bagi saya menuruni trek yang curam begini dengan berdiri. Apalagi tenaga semakin terkuras. Hal ini diperparah karena alas sepatu saya yang mulai terkelupas.

"Arrggghhh!!!" Saya mengeram.

"Hati-Hati!" Ketiga kawan saya serempak mengingatkan.

Kaki kiri saya terpeleset. Hampir menggantung di jurang. Trek ini cukup berbahaya. Hanya pepohoan kecil yang menjadi pegangan. Baru beberapa langkah saja saya sudah terpeleset.

Kami berjalan kembali dengan hati-hati. Lima langkah berjalan, Ahmad mengajak break. Raut mukanya menunjukkan kelelahan yang luar biasa. Napasnya ngos-ngosan. Ini pendakian pertama baginya.

"Gimana? Masih kuat?" tanya Rosyad.

Ahmad menggeleng. Dia tak kuat mengeluarkan suara.

"Begini saja. Kau kembali ke pertigaan jalur tadi. Tunggu di sana. Nanti dua orang ke bawah cari air dan dua lagi ke atas. Tunggu di pertigaan Kili Suci," usul Agung.

Ide yang realistis mengingat kondisi Ahmad yang sudah kewalahan. Kami bersepakat. Saya dan Ahmad kembali ke atas, sementara Rosyad dan Agung akan turun ke bawah mencari sumber mata air.

"Kalian jangan ke mana-mana. Tunggu satu jam," kata Rosyad.

Agung dan Rosyad lantas berjalan kembali. Sementara saya dan Ahmad kembali ke atas sembari membawa beberapa camilan dan kompor.

Sesampai di pertigaan jalur Kili Suci, Ahmad langsung terduduk. Begitu pun saya. Rasa lelah menjalar ke seluruh tubuh. Kaki Ahmad gemetar. Dia bercerita bahwa ini kali pertama merasakan rasa lelah yang begitu hebat. Mungkin efek trek yang menurun setelah puncak bayangan tadi.

Dok. Pribadi. Turunan yang curam di pertigaan Kili Suci
Dok. Pribadi. Turunan yang curam di pertigaan Kili Suci

Kami berdua beristirahat. Memakan beberapa camilan. Kabut mulai menipis. Dari kejauhan terlihat punggung pegunungan yang gagah. Kami berdua juga berjumpa pendaki lain. Sejenak berbincang. Menghabiskan barang sepuluh menit waktu untuk saling mengenal. Kemudian pendaki tersebut meneruskan perjalanan ke puncak.

Tak terasa waktu terus berlalu hingga satu jam. Dan belum ada tanda-tanda Agung dan Rosyad kembali. Kami berusaha meneriakinya. Sia-sia. Suara kami berdua hanya diterpa angin dan memantul di antara punggung pegunungan. Kami berdua mulai khawatir.

"Setengah jam lagi kalau belum ada tanda-tanda mereka berdua kembali, kita turun," ucapku kepada Ahmad.

Sembari menunggu, kami berdua terus meneriaki mereka. Barang kali ada jawaban. Tapi sekeras apa pun kami berteriak, selalu tak ada jawaban. Ke mana kedua kawanku? Pikiran kami berdua melayang. Jangan-jangan terjadi apa-apa. Resah. Khawatir. Cemas. Perasaan tersebut mengerubungi kami.

Selepas setengah jam dan tidak ada tanda-tanda Agung dan Rosyad kembali, kami berdua memutuskan untuk turun ke bawah. Tidak ada cara lain. Saya dan Ahmad harus menyusul kedua kawan kami.

Bersambung ... Next Part 5.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun