Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anak Laki-laki yang Terlambat Pulang

23 Januari 2021   07:20 Diperbarui: 23 Januari 2021   09:53 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari berganti hari, kembali tenggelam dalam kesibukan dunia. Berangkat ke kantor, mengikuti rapat divisi, melakukan liputan, dan menyiapkan laporan. Itu terus berulang-ulang setiap hari, menjadi hafalan. Bekerja di salah satu kantor yang bergerak di bidang informasi, membuat aku harus selalu siaga setiap saat. Kapan pun tenagaku dibutuhkan aku harus berangkat.

Pagi ini saja, sebelum fajar muncul di kaki langit, aku sudah melakukan liputan di salah satu kompleks perumahan terkait penemuan sebuah mayat di salah satu rumah. Kemudian aku juga harus mengikuti rapat divisi untuk membahas rencana untuk satu bulan ke depan.

Penat. Bersama kedua temanku, kami duduk pada kursi di ruang kerja yang berukuran tak lebih dari sepuluh langkah. Setelah serangkaian kegiatan, aku bisa sedikit beristirahat. Secangkir kopi sudah tersaji di hadapanku, uapnya masih mengepul. Kopi hitam ini menjadi minuman wajib untukku setelah melakukan kegiatan.

"Menurut analisisku, anak muda tadi meninggal karena overdosis obat-obatan," ujar Kalis, salah seorang temanku yang biasanya bertugas di depan kamera.

"Kita tunggu saja keterangan resmi dari kepolisian. Tapi kalau dilihat dari bukti sementara, analisis Kalis tidak meleset," Syahri, temanku yang lain juga mengeluarkan opininya.

"Soalnya aku tadi sempat bertanya kepada seorang polisi bahwa terdapat semacam busa di bibir anak muda itu," tukas Kalis seraya mengetukkan jari telunjuknya di meja.

Telepon genggam berdenting beberapa kali, menyelusup menggetarkan saku celana. Sedikit mengganggu diskusi kecilku bersama teman-teman. Aku lihat di layar dan tertulis nama Bi Imah di sana. Bi Imah adalah pembantu yang selama ini mengurus dan menemani Ibu di rumah.

"Ibu masuk rumah sakit, Mas." Tanpa permisi, suara Bi Imah merangsek melewati telinga.

Aku terduduk lemas. Ibu sakit apa? Seketika itu, aku bangkit dari tempat duduk, keluar dari ruangan. Teman-temanku sempat bingung dan heran denganku, mereka memanggilku. Tapi pangilan itu tak kugubris. Aku langsung menuju ruangan atasan yang terletak tak jauh dari ruanganku, meminta izin, dan menjelaskan tentang kondisiku. Beruntungnya, atasanku mengerti keadaanku.

Tak perlu harus kembali ke kontrakan, aku bergegas menuju terminal. Aku tak memiliki waktu lagi untuk mengambil barang, harus segera tahu kondisi Ibu. Kabar dari Bi Imah membuatku terlampau panik dengan keadaan.

Bus membawaku pergi dari kota Besar menuju tanah kelahiran. Aku sandarkan kepala pada kaca bus, menatap jauh. Aku memikirkan keadaan Ibu, khawatir. Sebelumnya Ibu tak pernah bercerita tentang penyakitnya. Dua hari lalu, terakhir kali dia menelepon, menanyakan kabar, masih terdengar nada suara yang segar, tak menunjukkan tanda-tanda sakit.

Aku menunduk, memandangi lantai bus yang terlihat gelap. Rasa bersalah menggerayutiku, sudah lama aku tak pulang. Padahal setiap Ibu menelepon pasti menanyakan kapan aku pulang. Jawabanku selalu sama, "Sebentar lagi, Bu." Jawaban yang terlihat sederhana tapi akan menjadi rumit untuk Ibu. Dan di saat seperti inilah, rasa penyesalan itu muncul. Aku tak bisa mendampinginya ketika dia membutuhkan perhatian dari anak laki-lakinya.

Lengang. Gedung-gedung tinggi, pepohonan, pemukiman warga, semua berlalu begitu cepat. Tiba pada tempat tujuan.

Aku berjalan dengan langkah cepat melalui koridor rumah sakit. Aku hampiri Bi Imah yang duduk di kursi besi panjang, kursi itu nampak berkarat pada sisi kanannya. Bi Imah berdiri, menyalamiku. "Ibu di dalam, Mas. Tertidur setelah diberi perawatan."

Aku mengangguk datar, menuju kamar perawatan. Pintu kamar kubuka perlahan. Aroma khas obat-obatan tercium. Aku berjalan mendekati, duduk di sampingnya. Tak kusangka, wanita kuat yang dulu dengan sangat sabar membesarkanku kini terbaring lemah. Selang infus tertanam di tangan kanannya. Aku pandangi wajahnya yang mulai dijalari keriput, menyiratkan bekas perjuangan panjang di dunia. Aku genggam tangan Ibu, sedikit dingin. Bu, anak semata wayangmu telah kembali.

Aku menatap langit-langit kamar perawatan, menghela napas. Perasaan bersalah serasa menimpukku karena telah meninggalkannya selama ini.

***  

Masih lekat dalam ingatan ketika aku merengek berhari-hari hanya untuk meminta sepeda. Padahal keluarga kita waktu itu sedang dalam keadaan berduka. Dua minggu sebelumnya Bapak meninggalkan kami sekeluarga. Namun aku malah menuntut untuk segera dibelikan sepeda baru, hanya aku yang belum punya sepeda di antara teman-temanku yang lain. Sungguh anak yang tidak punya perasaan.

Umurku waktu itu baru menginjak lima tahun. Awalnya Ibu membujuk supaya aku bersabar. Tapi dengan segala keangkuhan, aku menodong dengan tangisan. Beberapa hari kemudian, setelah pulang dari sekolah, Ibu menyambut dengan senyum yang merekah. Menunjukkan sebuah barang yang menjadi keinginanku, sepeda. Ibu terlihat senang ketika kakiku berhasil mengayuh pedal sepeda itu pertama kali walaupun aku belum terlalu mahir mengendarainya. Tak berhenti sampai di situ, tak tega karena melihat anak laki-lakinya sering jatuh, Ibu dengan sangat telaten mengajariku, menuntun sampai aku bisa melanglang jauh. 

Aku bawa sepeda itu ke manapun kaki melangkah. Ke sekolah, bermain di lapangan, tak akan kubiarkan sepeda itu lepas. Bahkan wajahku sampai lebam karena sepeda pemberian darimu lecet akibat dipinjam oleh teman. Ibu merawat lukaku dengan kasih sayang, memintaku untuk tidak berkelahi lagi. Aku berusaha melindungi setiap barang hasil kerja kerasmu, Bu.

Beberapa bulan kemudian, ketika semua orang terlelap dalam tidur. Rembulan sedang bersinar dengan gagah di langit malam, saat itu juga seseorang yang tak dikenal masuk ke dalam rumah. Dan entah kebetulan atau tidak, yang diambil adalah sepeda kesayanganku. Aku marah waktu itu, mencari dan menantang maling yang berani masuk ke dalam rumah. Walaupun aku tahu, jika bertemu dengannya pasti aku yang babak belur.

Ibu mengelus kepalaku, menyuruh supaya ikhlas. Kau bilang waktu itu, "Ikhlas sangat rumit dilakukan jika dalam kesusahan." Aku yang egois tak mengerti dan tak ingin tahu tentang ikhlas. Yang aku butuhkan hanya sepedaku kembali, apapun caranya. Dan berselang beberapa hari kemudian, Ibu kembali membelikanku sepeda. Walaupun sepeda bekas, tapi itu cukup membuat kemarahanku terurai.

Tatkala aku mulai memakai seragam putih biru, saat itulah perangaiku mulai berubah. Ibu meminta untuk menemaninya pergi ke pasar, aku menolak dengan alasan banyak tugas sekolah. Ibu meminta untuk membantunya membersihkan rumah karena sedang ditinggal Bi Imah yang sedang pulang kampung, aku mengelak dengan dalih akan pergi untuk kerja kelompok. Padahal aku pergi untuk bermain PlayStation. Alasan-alasan tersebut aku rangkai hanya untuk menghindar darimu.

Ketika baru lulus bangku perkuliahan, memakai toga, berjalan dengan mantap di antara banyaknya orang, aku bisa lihat tetesan harumu di sana. Ibu dengan kepintarannya menyembunyikan kesedihan, tapi aku tahu kau bangga melihatku memakai jubah hitam yang diimpikan seluruh mahasiswa.

Setelah selesai acara, aku mencarimu, memelukmu dengan erat. Ibu mengucapkan ratusan kata selamat, memuji setinggi langit anak laki-lakinya ini. Waktu itu juga sebuah janji keluar dari mulutku, "Aku berjanji akan membahagiakanmu, selalu berada di saat Ibu membutuhkanku."

Namun, apa yang aku perbuat setelah janji itu, aku malah melangkah jauh meninggalkan rumah, meninggalkan Ibu dalam kesepian. Bahkan saat Ibu sedang sakit, aku tidak dapat mendengar keluh kesahnya. Sungguh anak yang kurang berbakti.

Kasihmu bagaikan samudra yang tak ada batasnya. Kesabaranmu selaksa air yang tak akan pernah habis ditelan zaman. Doamu layaknya lingkaran besar yang tak ada ujungnya. Namun semua itu aku balas dengan segala keangkuhan. Tuhan, aku tahu waktu tak akan terulang lagi bagiku untuk menebus segala kesalahan. Tapi aku minta berikan kesempatan kedua kepadaku untuk menepati janji yang telah aku ingkari. Aku mohon.

***  

Tangan Ibu mengerjap, matanya mulai membuka lamat-lamat. Ibu memanggil namaku dengan lembut dan berkata, "Gimana keadaanmu, Nak?"

Oh Ibu, seharusnya yang mengatakan kalimat itu anakmu ini, Bu. Bukan kau yang sedang terbaring lemah begini. Seharusnya aku yang khawatir dengan keadaanmu sekarang, bukan malah sebaliknya.

Ibu mencoba bangkit, aku menahannya. Dia tak ingin terlihat lemah di depan anaknya. Ibu menyuruhku untuk lebih mendekat. Tangan Ibu mengelus wajahku, aku masih dianggapnya laki-laki kecil berusia delapan tahun.

"Wajahmu terlihat pucat, Nak. Kamu pasti belum makan. Kalau Ibu tidak dipaksa untuk istirahat, Ibu pasti sekarang sudah ada di dapur. Meracik bumbu dan menyiapkan ikan panggang kesukaanmu. Lalu Ibu akan menyuapimu dan kamu akan meminta Ibu memutar-mutar makanan itu seperti pesawat terbang sebelum masuk ke mulut. Lalu kamu akan meminta Ibu mengulanginya sampai makanan itu habis."

Ibu berusaha mengingat memorinya. Sedangkan aku hancur dan semakin merasa bersalah. Kalimat itu sangat sederhana, tapi mengapa bisa membuat hatiku menjadi lebur seperti ini?

 "Aku terlalu jauh meninggalkan rumah, meninggalkan Ibu sendirian, membiarkan Ibu bergelung kesedihan memikirkan aku. Sedangkan yang dipikirkan tak punya perasaan, selalu mengelak kalau ditanya kapan pulang. Maafkan aku, Bu. Sungguh sangat berdosa aku sekarang." Aku memegang tangan Ibu.

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Nak. Kamu juga perlu bekerja untuk masa depanmu. Lagi pula Ibu saja yang tidak bisa merawat tubuh Ibu sendiri," kata Ibu sembari mengelus pipiku.

Seorang perawat masuk, memintaku untuk menemui dokter di ruangannya. Aku melangkah keluar menuju ke ruangan dokter.

Ruangan dokter hening, hanya peralatan medis dan meja kosong. Kemudian seorang pria berjas putih masuk dan menyuruhku duduk. "Kamu putra dari Bu Lasmi?" tanya dokter. Aku mengangguk.

Dokter itu mulai membuka map berwarna hijau yang berisi beberapa lembar kertas. Mungkin kertas itu berisi data dan catatan tentang penyakit Ibu.

"Diagnosis saya, ibumu terkena penyakit mag kronis, mungkin ini diderita cukup lama dan ibumu berusaha menahannya dan tidak diobati. Tidak tepatnya jam makan, terlalu banyak mengonsumsi makanan pedas dan asam bisa jadi penyebabnya. Atau terlalu banyak pikiran juga menjadi salah satu faktor."

Aku diam, mendengarkan.

"Tapi kalau dilihat dari gejala yang dialami ibumu akhir-akhir ini, saya bisa menyimpulkan ibumu terlalu banyak pikiran. Saya tahu ketika saya bertanya kepada perempuan yang membawa ibumu kesini. Katanya beberapa hari ini ibumu sering memikirkan kamu, anaknya. Dan akibat dari itu, ibumu menjadi tidak teratur dalam pola makan."

"Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok?"

"Bisa sembuh kalau diberi obat namun penyakitnya bisa kembali sewaktu-waktu jika ibumu terlalu banyak pikiran lagi. Seorang yang sudah terkena penyakit mag ataupun lambung, pikirannya harus tenang dan tidak boleh memikirkan hal yang terlalu berat. Saran saya, kamu sebagai anaknya, temani ibumu, rawat dia sebaik mungkin, buatlah dalam masa-masa tuanya menjadi bahagia. Jika kamu bisa lakukan itu, saya yakin ibumu pasti akan berangsur-angsur sembuh. Dia hanya merindukan keberadaan kamu."

Dokter itu memandangiku, tajam. Sedangkan aku berada di antara dua sisi. Di satu sisi, aku sedang dalam masa-masa menikmati pekerjaanku sedangkan di sisi yang lain Ibu membutuhkanku untuk bisa terus menemaninya.

Langkahku berat ketika meninggalkan ruangan dokter. Hati kecilku mengetuk-ngetuk perasaan, menuntut supaya segera memberi keputusan.

Ibu terbangun ketika aku kembali ke ruang perawatan. Senyumnya timbul begitu melihatku. Dia menyuruhku untuk duduk di sampingnya. "Bagaimana pekerjaanmu, Nak?"

"Pekerjaan yang mana, Bu?" Aku balik bertanya.

"Ya pekerjaanmu sebagai wartawan itu."

Aku menunduk cukup lama. Hawa dingin dari kipas angin menyergap tubuhku. Aku harus berpikir dengan keras dan cepat. Semoga keputusan yang kuambil ini adalah pilihan terbaikku.

"Mulai sekarang aku tidak lagi bekerja sebagai wartawan. Aku mau bekerja untuk Ibu. Menjaga dan menemani Ibu selamanya," kataku mengumbar senyum.

"Tapi itu mimpimu, Nak. Sayang kalau kamu memutuskan untuk keluar. Ibu juga masih kuat melakukan semuanya sendiri."

"Enggak, Bu. Selama ini aku yang meninggalkan Ibu dan kini aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Aku ingin selalu di samping Ibu. Aku rindu Ibu memasak makanan kesukaanku, Ibu menyuapi terus aku malah lari-larian ketika disuapi kemudian Ibu memanggil namaku dengan keras tapi aku pura-pura enggak dengar," ucapku lembut. Ibu tergelak kecil.

Akhirnya aku bisa kembali melihat tawa Ibu setelah sekian lama. Aku lebih mendekat, Ibu meraih badanku, memeluknya. Sudah lama juga aku tak merasakan dekapan seorang Ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun