Tatkala aku mulai memakai seragam putih biru, saat itulah perangaiku mulai berubah. Ibu meminta untuk menemaninya pergi ke pasar, aku menolak dengan alasan banyak tugas sekolah. Ibu meminta untuk membantunya membersihkan rumah karena sedang ditinggal Bi Imah yang sedang pulang kampung, aku mengelak dengan dalih akan pergi untuk kerja kelompok. Padahal aku pergi untuk bermain PlayStation. Alasan-alasan tersebut aku rangkai hanya untuk menghindar darimu.
Ketika baru lulus bangku perkuliahan, memakai toga, berjalan dengan mantap di antara banyaknya orang, aku bisa lihat tetesan harumu di sana. Ibu dengan kepintarannya menyembunyikan kesedihan, tapi aku tahu kau bangga melihatku memakai jubah hitam yang diimpikan seluruh mahasiswa.
Setelah selesai acara, aku mencarimu, memelukmu dengan erat. Ibu mengucapkan ratusan kata selamat, memuji setinggi langit anak laki-lakinya ini. Waktu itu juga sebuah janji keluar dari mulutku, "Aku berjanji akan membahagiakanmu, selalu berada di saat Ibu membutuhkanku."
Namun, apa yang aku perbuat setelah janji itu, aku malah melangkah jauh meninggalkan rumah, meninggalkan Ibu dalam kesepian. Bahkan saat Ibu sedang sakit, aku tidak dapat mendengar keluh kesahnya. Sungguh anak yang kurang berbakti.
Kasihmu bagaikan samudra yang tak ada batasnya. Kesabaranmu selaksa air yang tak akan pernah habis ditelan zaman. Doamu layaknya lingkaran besar yang tak ada ujungnya. Namun semua itu aku balas dengan segala keangkuhan. Tuhan, aku tahu waktu tak akan terulang lagi bagiku untuk menebus segala kesalahan. Tapi aku minta berikan kesempatan kedua kepadaku untuk menepati janji yang telah aku ingkari. Aku mohon.
*** Â
Tangan Ibu mengerjap, matanya mulai membuka lamat-lamat. Ibu memanggil namaku dengan lembut dan berkata, "Gimana keadaanmu, Nak?"
Oh Ibu, seharusnya yang mengatakan kalimat itu anakmu ini, Bu. Bukan kau yang sedang terbaring lemah begini. Seharusnya aku yang khawatir dengan keadaanmu sekarang, bukan malah sebaliknya.
Ibu mencoba bangkit, aku menahannya. Dia tak ingin terlihat lemah di depan anaknya. Ibu menyuruhku untuk lebih mendekat. Tangan Ibu mengelus wajahku, aku masih dianggapnya laki-laki kecil berusia delapan tahun.
"Wajahmu terlihat pucat, Nak. Kamu pasti belum makan. Kalau Ibu tidak dipaksa untuk istirahat, Ibu pasti sekarang sudah ada di dapur. Meracik bumbu dan menyiapkan ikan panggang kesukaanmu. Lalu Ibu akan menyuapimu dan kamu akan meminta Ibu memutar-mutar makanan itu seperti pesawat terbang sebelum masuk ke mulut. Lalu kamu akan meminta Ibu mengulanginya sampai makanan itu habis."
Ibu berusaha mengingat memorinya. Sedangkan aku hancur dan semakin merasa bersalah. Kalimat itu sangat sederhana, tapi mengapa bisa membuat hatiku menjadi lebur seperti ini?