Langkahku berat ketika meninggalkan ruangan dokter. Hati kecilku mengetuk-ngetuk perasaan, menuntut supaya segera memberi keputusan.
Ibu terbangun ketika aku kembali ke ruang perawatan. Senyumnya timbul begitu melihatku. Dia menyuruhku untuk duduk di sampingnya. "Bagaimana pekerjaanmu, Nak?"
"Pekerjaan yang mana, Bu?" Aku balik bertanya.
"Ya pekerjaanmu sebagai wartawan itu."
Aku menunduk cukup lama. Hawa dingin dari kipas angin menyergap tubuhku. Aku harus berpikir dengan keras dan cepat. Semoga keputusan yang kuambil ini adalah pilihan terbaikku.
"Mulai sekarang aku tidak lagi bekerja sebagai wartawan. Aku mau bekerja untuk Ibu. Menjaga dan menemani Ibu selamanya," kataku mengumbar senyum.
"Tapi itu mimpimu, Nak. Sayang kalau kamu memutuskan untuk keluar. Ibu juga masih kuat melakukan semuanya sendiri."
"Enggak, Bu. Selama ini aku yang meninggalkan Ibu dan kini aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Aku ingin selalu di samping Ibu. Aku rindu Ibu memasak makanan kesukaanku, Ibu menyuapi terus aku malah lari-larian ketika disuapi kemudian Ibu memanggil namaku dengan keras tapi aku pura-pura enggak dengar," ucapku lembut. Ibu tergelak kecil.
Akhirnya aku bisa kembali melihat tawa Ibu setelah sekian lama. Aku lebih mendekat, Ibu meraih badanku, memeluknya. Sudah lama juga aku tak merasakan dekapan seorang Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H