"Aku terlalu jauh meninggalkan rumah, meninggalkan Ibu sendirian, membiarkan Ibu bergelung kesedihan memikirkan aku. Sedangkan yang dipikirkan tak punya perasaan, selalu mengelak kalau ditanya kapan pulang. Maafkan aku, Bu. Sungguh sangat berdosa aku sekarang." Aku memegang tangan Ibu.
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Nak. Kamu juga perlu bekerja untuk masa depanmu. Lagi pula Ibu saja yang tidak bisa merawat tubuh Ibu sendiri," kata Ibu sembari mengelus pipiku.
Seorang perawat masuk, memintaku untuk menemui dokter di ruangannya. Aku melangkah keluar menuju ke ruangan dokter.
Ruangan dokter hening, hanya peralatan medis dan meja kosong. Kemudian seorang pria berjas putih masuk dan menyuruhku duduk. "Kamu putra dari Bu Lasmi?" tanya dokter. Aku mengangguk.
Dokter itu mulai membuka map berwarna hijau yang berisi beberapa lembar kertas. Mungkin kertas itu berisi data dan catatan tentang penyakit Ibu.
"Diagnosis saya, ibumu terkena penyakit mag kronis, mungkin ini diderita cukup lama dan ibumu berusaha menahannya dan tidak diobati. Tidak tepatnya jam makan, terlalu banyak mengonsumsi makanan pedas dan asam bisa jadi penyebabnya. Atau terlalu banyak pikiran juga menjadi salah satu faktor."
Aku diam, mendengarkan.
"Tapi kalau dilihat dari gejala yang dialami ibumu akhir-akhir ini, saya bisa menyimpulkan ibumu terlalu banyak pikiran. Saya tahu ketika saya bertanya kepada perempuan yang membawa ibumu kesini. Katanya beberapa hari ini ibumu sering memikirkan kamu, anaknya. Dan akibat dari itu, ibumu menjadi tidak teratur dalam pola makan."
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok?"
"Bisa sembuh kalau diberi obat namun penyakitnya bisa kembali sewaktu-waktu jika ibumu terlalu banyak pikiran lagi. Seorang yang sudah terkena penyakit mag ataupun lambung, pikirannya harus tenang dan tidak boleh memikirkan hal yang terlalu berat. Saran saya, kamu sebagai anaknya, temani ibumu, rawat dia sebaik mungkin, buatlah dalam masa-masa tuanya menjadi bahagia. Jika kamu bisa lakukan itu, saya yakin ibumu pasti akan berangsur-angsur sembuh. Dia hanya merindukan keberadaan kamu."
Dokter itu memandangiku, tajam. Sedangkan aku berada di antara dua sisi. Di satu sisi, aku sedang dalam masa-masa menikmati pekerjaanku sedangkan di sisi yang lain Ibu membutuhkanku untuk bisa terus menemaninya.