Hari berganti hari, kembali tenggelam dalam kesibukan dunia. Berangkat ke kantor, mengikuti rapat divisi, melakukan liputan, dan menyiapkan laporan. Itu terus berulang-ulang setiap hari, menjadi hafalan. Bekerja di salah satu kantor yang bergerak di bidang informasi, membuat aku harus selalu siaga setiap saat. Kapan pun tenagaku dibutuhkan aku harus berangkat.
Pagi ini saja, sebelum fajar muncul di kaki langit, aku sudah melakukan liputan di salah satu kompleks perumahan terkait penemuan sebuah mayat di salah satu rumah. Kemudian aku juga harus mengikuti rapat divisi untuk membahas rencana untuk satu bulan ke depan.
Penat. Bersama kedua temanku, kami duduk pada kursi di ruang kerja yang berukuran tak lebih dari sepuluh langkah. Setelah serangkaian kegiatan, aku bisa sedikit beristirahat. Secangkir kopi sudah tersaji di hadapanku, uapnya masih mengepul. Kopi hitam ini menjadi minuman wajib untukku setelah melakukan kegiatan.
"Menurut analisisku, anak muda tadi meninggal karena overdosis obat-obatan," ujar Kalis, salah seorang temanku yang biasanya bertugas di depan kamera.
"Kita tunggu saja keterangan resmi dari kepolisian. Tapi kalau dilihat dari bukti sementara, analisis Kalis tidak meleset," Syahri, temanku yang lain juga mengeluarkan opininya.
"Soalnya aku tadi sempat bertanya kepada seorang polisi bahwa terdapat semacam busa di bibir anak muda itu," tukas Kalis seraya mengetukkan jari telunjuknya di meja.
Telepon genggam berdenting beberapa kali, menyelusup menggetarkan saku celana. Sedikit mengganggu diskusi kecilku bersama teman-teman. Aku lihat di layar dan tertulis nama Bi Imah di sana. Bi Imah adalah pembantu yang selama ini mengurus dan menemani Ibu di rumah.
"Ibu masuk rumah sakit, Mas." Tanpa permisi, suara Bi Imah merangsek melewati telinga.
Aku terduduk lemas. Ibu sakit apa? Seketika itu, aku bangkit dari tempat duduk, keluar dari ruangan. Teman-temanku sempat bingung dan heran denganku, mereka memanggilku. Tapi pangilan itu tak kugubris. Aku langsung menuju ruangan atasan yang terletak tak jauh dari ruanganku, meminta izin, dan menjelaskan tentang kondisiku. Beruntungnya, atasanku mengerti keadaanku.
Tak perlu harus kembali ke kontrakan, aku bergegas menuju terminal. Aku tak memiliki waktu lagi untuk mengambil barang, harus segera tahu kondisi Ibu. Kabar dari Bi Imah membuatku terlampau panik dengan keadaan.
Bus membawaku pergi dari kota Besar menuju tanah kelahiran. Aku sandarkan kepala pada kaca bus, menatap jauh. Aku memikirkan keadaan Ibu, khawatir. Sebelumnya Ibu tak pernah bercerita tentang penyakitnya. Dua hari lalu, terakhir kali dia menelepon, menanyakan kabar, masih terdengar nada suara yang segar, tak menunjukkan tanda-tanda sakit.