"Menyedapkan mata tuh. Kau enggak tergoda, Gar?"
"Ya enggak lah. Aneh kali kau. Dia hanya gambar yang ada di poster iklan sampo depan kamarku," kata Bogar seraya tertawa.
"Setan kau, Gar." Aku lantas mengikuti tawa Bogar. Bahkan tawa kami berdua sempat mengganggu salah satu kelas yang tengah menjalankan proses pembelajaran.
***
Sampailah kami berdua di kelas. Cukup luas, dengan satu kipas angin yang berputar di tengah. Empat jendela tertempel di tembok bagian kanan sebagai alternatif lain angin sepoi yang keluar-masuk. Sudah banyak mahasiswa lain yang bersiap menunggu kehadiran dosen. Ada juga yang terlihat berbincang-bincang, bersenda-gurau. Wajah-wajah tak awam bagiku.
Situasi ini yang kumanfaatkan untuk mencari teman baru lagi. Aku berkenalan dengan Dendi, pemuda asli Malang. Sempat kesulitan berbicara dengannya karena beberapa bahasa yang diucapakannya terbalik. Kata Dendi, itu merupakan ciri khas orang Malang dan mereka menyebutnya dengan bahasa kiwalan.
Kemudian aku juga sempat berkenalan dengan Agam. Laki-laki asal Palembang yang mempunyai badan atletis. Mungkin kalau dia membuka bajunya, para gadis langsung menjerit histeris karena melihat perutnya yang six pack. Agam banyak berbicara tentang olahraga. Tentang turunnya prestasi timnas sepakbola Indonesia dan sedang berjayanya atlet ganda putra badminton Indonesia di kancah dunia. Dia layaknya analis olahraga, yang tahu semua bahkan hingga seluk-beluknya.
Sedangkan Bogar berbaur dengan mahasiswa perempuan. Mata Bogar bersinar jika sedang bercengkerama dengan perempuan. Aku tahu siasat Bogar. Dia memang cerdik memanfaatkan situasi. Seperti kata pepatah: sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Selain dia ingin berkenalan, dia nampaknya juga akan mencari pasangan secepat mungkin.
Bogar memang mempunyai selera tinggi. Dia cepat akrab dengan Risa, seorang mahasiswi asal Bandung. Yang kalau senyum bisa meluluhkan jiwa laki-laki karena saking manisnya ditambah lesung yang menempel di pipinya. Dengan kepalanya yang dibalut hijab menambah nilai plus dalam dirinya. Bandung memang tak salah dijuluki sebagai kota kembang.
Seorang pria paruh baya masuk ke dalam kelas, yang kuketahui dia adalah dosen yang akan mengajar kelas kami. Seisi kelas diam seketika. Pandangan kami semua tertuju pada dosen yang kini telah berdiri di depan kelas.
"Selamat siang semua," ucapnya dengan nada bersemangat.