Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pemuda yang Beruntung

6 Januari 2021   11:19 Diperbarui: 6 Januari 2021   11:31 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang di sebuah kampus.

Bogar menepuk bahuku ketika aku baru saja memarkir motor. Aku sedikit terperanjat. Dia adalah teman baruku dari Medan. Merantau jauh-jauh ke Jawa untuk menimba ilmu. Baru kukenal saat ospek minggu lalu. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk cepat akrab. Bogar seorang humoris, beberapa kali membuatku terpingkal dengan guyonannya.

Sedikit cerita, ketika selesai ospek, Bogar hanya luntang-lantung di kampus dan tidak punya tempat tinggal. Mau cari kos katanya sudah malam. Menginap di aula atau di masjid kampus sudah kepalang sering. Akhirnya aku tawarkan dia untuk tinggal sementara di rumahku sembari mencari kos. Selama tinggal di rumahku, Bogar merupakan orang yang rajin. Semua kegiatan dikerjakan: menyapu hingga mencuci piring. Katanya malu kalau harus diam saja lantaran menumpang di rumah orang.

Setelah empat hari, dia akhirnya menemukan kos yang nyaman sesuai kantong. Padahal aku sempat menawarkan untuk menetap. Lagi pula aku juga tidak keberatan jika Bogar tetap tinggal di rumahku. Toh dia bisa jadi pemecah suasana sewaktu aku sedang suntuk.

Sebelum meninggalkan rumahku, dia berkata, "Orang Medan harus mandiri di perantauan dan tidak menyusahkan orang lain."

Sejak saat itu, Bogar menjadi teman akrabku di kampus.

"Bagaimana kabarmu, Gar?" tanyaku kepada Bogar seraya berjalan menuju kelas.

"Baik-lah. Tak berubah penampilan kau. Masih kucel macam selimut tak pernah dicuci saja," canda Bogar dengan aksen Medannya yang khas.

"Gar, gimana kosmu? Nyaman?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Kau harus lihat, di kosku ada cewek cantik banget. Bodinya macam Luna Maya saat sedang keramas. Bergelombang bagai gitar. Pokoknya aku jamin, otakmu akan liar jika melihatnya," ucap Bogar sembari memamerkan jempol tangannya.

Aku masih berjalan dengan Bogar. Kelasku yang terletak di lantai tiga mengharuskanku untuk menaiki anak tangga. Kebetulan gedung bertingkat empat ini satu-satunya yang tak tersedia lift.

"Menyedapkan mata tuh. Kau enggak tergoda, Gar?"

"Ya enggak lah. Aneh kali kau. Dia hanya gambar yang ada di poster iklan sampo depan kamarku," kata Bogar seraya tertawa.

"Setan kau, Gar." Aku lantas mengikuti tawa Bogar. Bahkan tawa kami berdua sempat mengganggu salah satu kelas yang tengah menjalankan proses pembelajaran.

***

Sampailah kami berdua di kelas. Cukup luas, dengan satu kipas angin yang berputar di tengah. Empat jendela tertempel di tembok bagian kanan sebagai alternatif lain angin sepoi yang keluar-masuk. Sudah banyak mahasiswa lain yang bersiap menunggu kehadiran dosen. Ada juga yang terlihat berbincang-bincang, bersenda-gurau. Wajah-wajah tak awam bagiku.

Situasi ini yang kumanfaatkan untuk mencari teman baru lagi. Aku berkenalan dengan Dendi, pemuda asli Malang. Sempat kesulitan berbicara dengannya karena beberapa bahasa yang diucapakannya terbalik. Kata Dendi, itu merupakan ciri khas orang Malang dan mereka menyebutnya dengan bahasa kiwalan.

Kemudian aku juga sempat berkenalan dengan Agam. Laki-laki asal Palembang yang mempunyai badan atletis. Mungkin kalau dia membuka bajunya, para gadis langsung menjerit histeris karena melihat perutnya yang six pack. Agam banyak berbicara tentang olahraga. Tentang turunnya prestasi timnas sepakbola Indonesia dan sedang berjayanya atlet ganda putra badminton Indonesia di kancah dunia. Dia layaknya analis olahraga, yang tahu semua bahkan hingga seluk-beluknya.

Sedangkan Bogar berbaur dengan mahasiswa perempuan. Mata Bogar bersinar jika sedang bercengkerama dengan perempuan. Aku tahu siasat Bogar. Dia memang cerdik memanfaatkan situasi. Seperti kata pepatah: sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Selain dia ingin berkenalan, dia nampaknya juga akan mencari pasangan secepat mungkin.

Bogar memang mempunyai selera tinggi. Dia cepat akrab dengan Risa, seorang mahasiswi asal Bandung. Yang kalau senyum bisa meluluhkan jiwa laki-laki karena saking manisnya ditambah lesung yang menempel di pipinya. Dengan kepalanya yang dibalut hijab menambah nilai plus dalam dirinya. Bandung memang tak salah dijuluki sebagai kota kembang.

Seorang pria paruh baya masuk ke dalam kelas, yang kuketahui dia adalah dosen yang akan mengajar kelas kami. Seisi kelas diam seketika. Pandangan kami semua tertuju pada dosen yang kini telah berdiri di depan kelas.

"Selamat siang semua," ucapnya dengan nada bersemangat.

"Selamat siang, Pak." Seluruh mahasiswa serentak menjawab.

"Saya yang akan mengampu mata kuliah kalian. Nama saya,  Muhammad Aziz Farady. Kalian semua bisa memanggil saya dengan, Pak Aziz ...."

Kami semua diam, mendengarkan. Satu-dua mahasiswa bertanya tentang asal daerah, status, berapa anaknya hingga nomor teleponnya. Semua ditanyakan layaknya seorang wartwan yang mengorek informasi. Untungnya, Pak Aziz dengan senang hati menjawab satu per satu pertanyaan dari kami.

Setelah memperkenalkan dirinya, Pak Aziz kemudian membuka daftar kehadiran mahasiswa. Dia memanggil setiap dari kami untuk bergantian memperkenalkan diri. Di sinilah aku bisa mengetahui nama dan daerah asal teman-teman baruku.

Yang menarik perhatian tentu saja Bogar. Ketika dia berdiri, memperkenalkan diri, dia sok-sokan memakai bahasa Inggris. Padahal bahasa Inggrisnya sangat kaku dan terkesan dipaksakan. Sewaktu Pak Aziz menimpali dengan bahasa Inggris juga, Bogar malah celingukan, bingung. Wajahnya berubah menjadi merah, malu. Hal itu yang mengundang tawa dari seisi kelas.

"Baik, saya sudah sedikit mengenal tentang kalian. Selamat datang di kelas saya. Sebelum saya memulai perkuliahan, saya ingin bertanya tentang satu hal dan menurut saya ini menjadi penting. Menurut kalian siapakah orang yang paling beruntung di dunia ini?" tanya Pak Aziz kepada seluruh mahasiswa.

Agam mengangkat tangannya, "Anak yatim, Pak. Karena dia bisa besar dan kuat tanpa kehadiran orang tua."

"Anak pejabat, Pak. Mereka sangat beruntung karena segala yang dibutuhkannya tinggal minta kepada bapaknya. Tidak perlu susah payah untuk mendapatkannya," ujar Raden, temanku asal Solo.

"Rafatar, anak Rafi Ahmad. Dia kaya sejak lahir." Bogar membuka suaranya. Seisi kelas langsung tergelak, tak kuat mendengar omongan Bogar yang jenaka. Bahkan membuat Pak Aziz sampai geleng-geleng kepala.

Setiap mahasiswa bergantian menjawab. Sedangkan aku dan beberapa mahasiswa lain hanya mendengarkan saja. Sejujurnya aku masih bingung dengan pertanyaan dari Pak Aziz. Bingung dengan konteks keberuntungan seperti apa. Jika keberuntungan dilihat dari sisi materi, mungkin anak pejabat, anak selebritas termasuk orang yang beruntung. Jika ditilik dari ranah kebahagiaan mungkin anak jalanan yang bisa bersekolah juga termasuk orang yang beruntung.

"Sebetulnya semua orang yang lahir di dunia ini adalah orang yang beruntung. Hanya saja setiap dari kita memiliki jalan hidup dan tugasnya masing-masing. Ada orang yang lahir hanya untuk berbuat baik ke sesama. Anak pejabat beruntung karena dilahirkan dalam kondisi ekonomi yang berlebih begitupun juga anak yatim. Walaupun mereka tidak punya orang tua, tapi keberuntungan mereka terletak pada hatinya. Mereka mempunyai hati lapang sebagai wadah untuk kesabaran, kerja keras, dan hal baik lain yang menyokong hidupnya."

Kami mendengarkan dengan saksama, takzim. Bahkan mahasiswi perempuan tampak sedang mencatat omongan dari Pak Aziz.

"Namun, di balik itu semua, apakah kalian tahu siapa orang yang paling beruntung di dunia ini? Itulah kalian-kalian yang duduk di kelas ini. Telah mengalahkan ribuan pemuda lain yang berharap mengubah status menjadi mahasiswa. Entah kalian semua berasal dari latar belakang apa, kalian pemuda-pemuda yang akan meneruskan perjuangan untuk mengubah negeri ini menjadi lebih baik.

"Di tingkat ini, tidak ada lagi berleha-leha untuk dicekoki pelajaran. Kalian bukan anak sekolah lagi, kalian bukan anak kecil lagi. Kalianlah yang harus menjemput ilmu itu. Manfaatkan waktu sebaik mungkin, baca buku sebanyak-banyaknya. Di saat kalian mulai bermalas-malasan, ribuan mahasiswa lain di luar sana telah mengayuh roda keilmuannya. Kalian akan tertinggal dan butuh effort yang keras untuk mengejarnya." Pak Aziz menutup kalimatnya.

Pak Aziz memandang setiap mahasiswa lekat-lekat. Dia ingin menularkan semangat kepada seluruh mahasiswanya. Sementara kami semua tercengang. Kami baru sadar bahwa kami yang duduk di sini adalah orang yang beruntung, yang telah menjadi orang pilihan untuk belajar di tingkat yang paling tinggi.

"Ilmu tidak akan pernah habis dan ilmu juga yang akan kalian bawa untuk menghadapi kerasnya dunia di luar sana bukan materi atau kekayaan. Dengan ilmu kalian tidak akan mudah ditipu," Pak Aziz sejenak terdiam, "sampai jumpa pada mata kuliah saya minggu depan."

Pak Aziz melangkah keluar. Seisi kelas memberikan gemuruh tepuk tangan. Ada yang bersorak saking takjubnya dengan setiap jengkal kalimat yang diucapkan Pak Aziz. Aku kagum dengan cara bertutur Pak Aziz. Setiap kata yang dikeluarkannya menempel di pikiran. Mulai sekarang, kami semua siap untuk menyelam di lautan keilmuan dan kami bersiap untuk menjadi penerus negeri agar lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun