Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Negeri Canda

21 Desember 2020   06:58 Diperbarui: 21 Desember 2020   07:35 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah tampuk negara yang dikuasai oleh para penguasa yang sibuk memikirkan dirinya sendiri, seorang anak laki-laki yang baru berusia tujuh tahun menghampiri kakeknya yang tengah duduk di selasar sembari membaca koran. Anak laki-laki itu bertanya tentang istilah membakar api. Si Kakek sontak kaget dengan pertanyaan cucunya.

"Kamu tahu dari mana istilah membakar api itu?" tanya Kakek kepada Fadlu, nama cucunya.

"Barusan Fadlu nonton berita di televisi, ada dua orang memakai rompi oranye. Mereka berdua dikelilingi banyak orang, terus katanya mereka suka membakar api."

"Kamu enggak usah nonton berita lagi! Kamu nonton si Unyil saja!"

"Kenapa, Kek? Fadlu ingin membakar api. Kalau Fadlu membakar api nanti Fadlu bisa masuk televisi seperti orang-orang itu."

"Fadlu ... dengarkan, Kakek! Membakar api seperti yang ada di televisi itu tidak baik. Merugikan banyak orang bahkan bisa merugikan negara. Kamu bisa cari kesenangan yang lain saja."

Fadlu tertunduk, air mukanya berubah. Mungkin dia sedih karena dilarang kakeknya untuk mencoba hal yang baru dijumpainya.

Perlu kalian ketahui, membakar api merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut: menggelapkan uang rakyat.

Tak ingin melihat cucunya berlarut, akhirnya si Kakek menyuruh Fadlu duduk di sampingnya. Si Kakek ingin bercerita tentang sebuah kisah yang terjadi lima abad silam. Kisah yang menyimpan ironi di balik kesenangan. Setelah si Kakek menyeruput jahe hangat, dia memulai ceritanya.

"Jauh sebelum Kakek dulu lahir, ada sebuah negeri yang indah, tenteram, damai, dan tanahnya subur. Negeri itu terletak di antara dua samudera yang terbentang. Namanya negeri Canda. Di negeri itu orang-orangnya hidup dengan makmur. Kamu bebas melakukan apa saja, kamu bisa tertawa sekencang-kencangnya, sepuas-puasnya. Kamu juga bisa menertawakan orang lain seperti menertawakan diri kamu sendiri."

Fadlu memperhatikan kakeknya, sesekali dia bergeser untuk mendapatkan posisi duduk yang paling nyaman.

"Di negeri itu kamu bisa melihat laut yang sangat luas. Banyak ikan yang menumpang hidup di dalamnya. Dan itu dimanfaatkan baik oleh penduduknya. Mereka bekerja sebagai nelayan, setiap malam mereka berangkat berlayar ke tengah laut dengan perahu kayu yang sederhana. Mereka bahu-membahu menjaring ikan. Apabila tangkapannya sudah banyak, mereka akan menepi dan menjual hasil tangkapannya kepada orang-orang. Itulah mengapa orang-orang di sana pintar semua karena mereka suka makan ikan.

"Tanahnya juga subur. Kamu mau menanam apa? Durian? Pinus? Randu? Semua bisa ditanam di sana. Pernah ada seseorang yang mencoba menanam jagung dan dia tidak menyangka bahwa tiga bulan ke depannya, jagungnya sudah bisa dipanen. Tapi kebanyakan dari orang-orangnya suka menanam padi. Bahkan negeri itu dijuluki sebagai lumbung padi dunia. Semua negara di dunia berbondong-bondong untuk belajar kepada negeri Canda itu. Negara paling maju pun rela menghabiskan keringatnya hanya untuk mencuri ilmu dari negeri Canda itu."

"Jadi, kalau Fadlu banyak makan ikan, Fadlu bisa pintar dong, Kek?" tanya Fadlu. Dia  mulai antusias.

"Tentunya, enggak makan ikan pun sekarang kamu juga sudah pintar." Si Kakek mengelus rambut Fadlu.

"Kakek teruskan ceritanya. Di negeri itu kamu harus hati-hati jika ingin memasukinya. Kamu akan terkejut dengan apa yang terjadi. Karena di sana semua hal bisa menjadi kebalikan. Jika kamu berbicara serius, kamu malah ditertawakan orang-orang. Jika kamu melemparkan lelucon, kamu bisa dianggap serius oleh penduduknya. Pernah suatu waktu, ada orang yang melawak dan itu lucu sekali tapi malah dilaporkan kepada aparat. Untungnya, dia banyak yang membela kalau tidak, pasti dia akan masuk ke pengadilan.

"Setiap bulan tertentu kamu bisa melihat hiburan yang diselenggarakan oleh penduduknya. Dalam hiburan itu, semua adat dan kesenian yang dimiliki negeri itu ditampilkan. Tapi yang menjadi favorit satu yaitu kamu bisa melihat laki-laki yang berdandan seperti perempuan begitu juga sebaliknya. Orang-orang yang mau melakukan itu, pasti mereka terkenal. Dicari-cari, dimintai foto bahkan bisa masuk televisi, menjadi artis. Hanya dengan modal berdandan dan membuang rasa malu mereka sendiri."

Mata Fadlu memperhatikan dengan serius cerita dari kakeknya. Setiap kalimat yang keluar dari mulut kakeknya yang sudah beruban itu pasti ditangkap dengan baik.

"Mau Kakek lanjutin atau tidak?" tanya si Kakek kepada Fadlu.

"Lanjutin dong, Kek," kata Fadlu penuh harap.

"Di negeri Canda adalah tempat bermain paling seru, kamu bisa bermain semaunya. Tempat bermainnya pun disediakan oleh negara. Apapun jenis permainan yang kamu inginkan: jungkat-jungkit, ayunan, bola, takraw, semuanya tersedia. Anak-anak kecil seperti kamu ini sangat bahagia. Dari pagi ketemu pagi lagi hanya dihabiskan dengan bermain. Tak ada yang melarang dan tak ada yang memperingatkan.

"Perlu kamu ketahui juga, Fad ... tak hanya anak kecil yang bermain. Orang dewasa juga disediakan tempat bermain. Lebih besar, lebih glamor, dan lebih bagus. Orang dewasa ini lucu kalau hendak bermain, mereka akan memakai pakaian yang rapi supaya terlihat elegan dan dihormati teman-temannya. Mereka juga berangkat ke taman bermain dengan mobil yang mewah. Tapi selalu ada risiko di setiap permainan. Kamu harus bisa bekerja sama dengan baik. Jika kamu berusaha menentang teman-temanmu atau pemilik tempatnya, kamu bisa dilempar ke luar. Dan jika kamu ingin masuk kembali, kamu harus membayar dengan mahal."

Fadlu diam. Dia menggambarkan betapa asyiknya jika bisa hidup negeri itu. Dia bisa bermain semaunya tanpa harus dimarahi kakeknya. Setiap sore dia bisa menyepak bola sampai kakinya merasa lelah. Lalu dia bisa puas menghabiskan waktu sampai malam bersama teman-temannya. Fadlu senyum-senyum sendiri membayangkan semua itu.

"Kakek lanjutkan ya! Di negeri Canda ini kamu tak perlu khawatir tentang dirimu sendiri. Jika kamu lapar, jangan risau, karena makanan sudah disiapkan. Semua makanan yang kamu mau sudah tersaji. Kamu tinggal pilih apa yang kamu suka, lalu mengambilnya, kemudian tinggal melahap sepuasnya. Makanya orang-orang di negeri ini mempunyai perut yang besar karena mereka terlalu banyak makan.

"Setelah makan biasanya orang akan mengantuk. Jangan bingung juga, tempat tidur juga telah tersedia. Bagus sekali. Bahkan punya Kakek kalah bagusnya. Di sana sudah pasti bisa tidur dengan nyenyak. Enggak ada yang akan membangunkan karena telinga mereka sudah tertutup rapat. Teriakan sekencang apapun juga tidak bisa membangunkannya. Kamu juga bisa jalan-jalan. Di sana banyak tempat wisata yang menyedapkan mata. Apalagi pantai-pantainya yang dikenal paling masyhur. Pasirnya putih, airnya biru jernih, kelapa yang tumbuh di pinggir seolah melambai-lambai kepada para pengunjung."

"Enak ya, Kek jika bisa hidup di sana?"

"Pasti. Itulah mengapa negeri Canda dijuluki dengan negeri yang makmur," tandas si Kakek.

"Fadlu ingin ke sana, Kek. Gimana caranya?" Fadlu mendekat kepada kakeknya.

"Kamu lupa?"

"Lupa apa, Kek?" Fadlu bengong, mengernyitkan dahi.

"Ini kan namanya negeri Canda yang pasti tidak ada di dunia nyata. Lagi pula Kakek bercerita barusan juga sedang bercanda," kata si Kakek seraya tersenyum lebar.

Sedangkan Fadlu cemberut, bibirnya ditekuk ke bawah. Dengan menyedekapkan kedua tangannya dia berkata, "Fadlu sudah mendengarkan baik-baik tapi Kakek malah enggak serius."

Kemudian Fadlu meninggalkan kakeknya, masuk ke dalam rumah. Sementara si Kakek hanya memandangi Fadlu dengan senyum yang semakin lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun