Di tengah tampuk negara yang dikuasai oleh para penguasa yang sibuk memikirkan dirinya sendiri, seorang anak laki-laki yang baru berusia tujuh tahun menghampiri kakeknya yang tengah duduk di selasar sembari membaca koran. Anak laki-laki itu bertanya tentang istilah membakar api. Si Kakek sontak kaget dengan pertanyaan cucunya.
"Kamu tahu dari mana istilah membakar api itu?" tanya Kakek kepada Fadlu, nama cucunya.
"Barusan Fadlu nonton berita di televisi, ada dua orang memakai rompi oranye. Mereka berdua dikelilingi banyak orang, terus katanya mereka suka membakar api."
"Kamu enggak usah nonton berita lagi! Kamu nonton si Unyil saja!"
"Kenapa, Kek? Fadlu ingin membakar api. Kalau Fadlu membakar api nanti Fadlu bisa masuk televisi seperti orang-orang itu."
"Fadlu ... dengarkan, Kakek! Membakar api seperti yang ada di televisi itu tidak baik. Merugikan banyak orang bahkan bisa merugikan negara. Kamu bisa cari kesenangan yang lain saja."
Fadlu tertunduk, air mukanya berubah. Mungkin dia sedih karena dilarang kakeknya untuk mencoba hal yang baru dijumpainya.
Perlu kalian ketahui, membakar api merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut: menggelapkan uang rakyat.
Tak ingin melihat cucunya berlarut, akhirnya si Kakek menyuruh Fadlu duduk di sampingnya. Si Kakek ingin bercerita tentang sebuah kisah yang terjadi lima abad silam. Kisah yang menyimpan ironi di balik kesenangan. Setelah si Kakek menyeruput jahe hangat, dia memulai ceritanya.
"Jauh sebelum Kakek dulu lahir, ada sebuah negeri yang indah, tenteram, damai, dan tanahnya subur. Negeri itu terletak di antara dua samudera yang terbentang. Namanya negeri Canda. Di negeri itu orang-orangnya hidup dengan makmur. Kamu bebas melakukan apa saja, kamu bisa tertawa sekencang-kencangnya, sepuas-puasnya. Kamu juga bisa menertawakan orang lain seperti menertawakan diri kamu sendiri."
Fadlu memperhatikan kakeknya, sesekali dia bergeser untuk mendapatkan posisi duduk yang paling nyaman.