Fadlu diam. Dia menggambarkan betapa asyiknya jika bisa hidup negeri itu. Dia bisa bermain semaunya tanpa harus dimarahi kakeknya. Setiap sore dia bisa menyepak bola sampai kakinya merasa lelah. Lalu dia bisa puas menghabiskan waktu sampai malam bersama teman-temannya. Fadlu senyum-senyum sendiri membayangkan semua itu.
"Kakek lanjutkan ya! Di negeri Canda ini kamu tak perlu khawatir tentang dirimu sendiri. Jika kamu lapar, jangan risau, karena makanan sudah disiapkan. Semua makanan yang kamu mau sudah tersaji. Kamu tinggal pilih apa yang kamu suka, lalu mengambilnya, kemudian tinggal melahap sepuasnya. Makanya orang-orang di negeri ini mempunyai perut yang besar karena mereka terlalu banyak makan.
"Setelah makan biasanya orang akan mengantuk. Jangan bingung juga, tempat tidur juga telah tersedia. Bagus sekali. Bahkan punya Kakek kalah bagusnya. Di sana sudah pasti bisa tidur dengan nyenyak. Enggak ada yang akan membangunkan karena telinga mereka sudah tertutup rapat. Teriakan sekencang apapun juga tidak bisa membangunkannya. Kamu juga bisa jalan-jalan. Di sana banyak tempat wisata yang menyedapkan mata. Apalagi pantai-pantainya yang dikenal paling masyhur. Pasirnya putih, airnya biru jernih, kelapa yang tumbuh di pinggir seolah melambai-lambai kepada para pengunjung."
"Enak ya, Kek jika bisa hidup di sana?"
"Pasti. Itulah mengapa negeri Canda dijuluki dengan negeri yang makmur," tandas si Kakek.
"Fadlu ingin ke sana, Kek. Gimana caranya?" Fadlu mendekat kepada kakeknya.
"Kamu lupa?"
"Lupa apa, Kek?" Fadlu bengong, mengernyitkan dahi.
"Ini kan namanya negeri Canda yang pasti tidak ada di dunia nyata. Lagi pula Kakek bercerita barusan juga sedang bercanda," kata si Kakek seraya tersenyum lebar.
Sedangkan Fadlu cemberut, bibirnya ditekuk ke bawah. Dengan menyedekapkan kedua tangannya dia berkata, "Fadlu sudah mendengarkan baik-baik tapi Kakek malah enggak serius."
Kemudian Fadlu meninggalkan kakeknya, masuk ke dalam rumah. Sementara si Kakek hanya memandangi Fadlu dengan senyum yang semakin lebar.