Mohon tunggu...
Rizky Febriana
Rizky Febriana Mohon Tunggu... Konsultan - Analyst

Senang Mengamati BUMN/BUMD dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ribut-ribut Soal Subsidi

22 Januari 2020   12:15 Diperbarui: 23 Januari 2020   08:09 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau nasabah prioritas adalah nasabah dengan jumlah simpanan terbanyak di bank. Mereka yang miskin, sangat miskin dan hampir miskin juga adalah nasabah prioritas bagi negara bukan komoditas.

Sekarang kita kembali berdebat perihal subsidi khususnya subsidi energi yang perlahan memang dicabut. Perdebatan semakin menjadi rumit, sebab para pemimpin negeri ini seringkali berubah pikiran, tergantung posisi apakah oposisi atau menjadi penguasa.

Menurut hemat saya, inilah akar permasalahan mengapa setiap kebijakan pemerintah apalagi perihal dicabutnya subsidi, direalokasikannya anggaran kepada yang lebih berhak, efisiensi anggaran yang dilakukan selalu gaduh, karena tidak adanya keteladanan pembuat kebijakan.

Misalnya kita ada di sebuah kondisi, kita adalah pejabat tertinggi. Kita menyampaikan bahwa ada kemungkinan target pendapatan di tahun ini tidak tercapai, kita harus melakukan efisiensi bla..bla..bla, harus hemat bla bla bla.

Eh setiap perjalanan dinas kita maunya business class, hanya mau menginap hotel bintang lima, rekrut orang-orang staf ahli kebanyakan tidak sesuai kebutuhan, mobil mau yang baru, gak mau mobil lama peninggalan pejabat yang lama, minum air mineral maunya botol plastik, gak mau dari air galon. Kita tidak mengenal kata prihatin.

Kalau begitu, pasti anak buah kita juga mikir. Apa iya kita sedang susah? Sama juga dalam bernegara. Kurang lebih rada percuma seorang Menteri Keuangan membuat peraturan untuk hemat uang negara karena mengatur perjalanan dinas tetapi kalau masih ada pejabat yang protes karena dianggap tidak layak dan lebih memilih mengeluarkan uang sendiri untuk dapat akomodasi yang standar menurut ukurannya.

Atau misal ada pejabat di daerah yang beli mobil baru seharga Rp2,1 miliar sebagai kendaraan operasional dinasnya, padahal kalau uang dibagi untuk membuat program subsidi bagi kalangan miskin, sangat miskin atau hampir miskin di daerahnya kan lumayan. Atau untuk menambah anggaran program pelatihan wirausaha bagi pengangguran.

Meski terkadang tidak apple to apple, satu sisi kebijakan pencabutan subsidi untuk efisiensi dan diwacanakan akan direalokasi untuk anggaran skala prioritas, tetapi di sisi yang lain subsidi partai politik meningkat, subsidi diberikan kepada korporasi besar, tunjangan jabatan naik.

Artinya cabut di satu sisi ditambah di sisi yang lain, yang bertambah justru jangan-jangan bukan anggaran sosial untuk keluarga miskin, sangat dan hampir miskin? Sebuah hipotesis politik anggaran yang perlu digali lebih dalam. Bagaimana menurut anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun