Kita telah kehilangan Pak Habibie - Bapak Teknologi Indonesia untuk selama-lamanya. Tetapi kita nggak akan pernah kehilangan "Habibie-Habibie" baru karena sesungguhnya mereka ada di sekitar kita di Indonesia.
Mungkin kita tidak menyadarinya, dalam gelaran kompetisi robotik tingkat dunia 2019 Trinity College Fire Fighting Home Robot Contest di Amerika Serikat (AS) pada 13-15 April 2019, Indonesia keluar sebagai juara pertama.
Robot pemadam api mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang ("UMM") yang ikut dilombakan tersebut bahkan mengalahkan perwakilan dari negara-negara seperti Tiongkok, Israel dan Amerika Serikat. Sedikit bukti kalau anak Indonesia itu memang seperti Habibie, meski dalam bidang yang berbeda.
Bukan tahun ini saja, di tahun-tahun sebelumnya, di tempat yang sama, Indonesia juga menyabet juara pada 2018, 2017, 2016, dan 2015.
Selain itu, pada tahun 2019 di bulan yang berbeda, pada 17-23 Juni, di ajang yang berbeda, Autonomous Marine Vehicle Team Universitas Indonesia (AMV UI) menjadi juara 3 dunia pada Kompetisi Robot kapal Internasional bertajuk "12th AUVSI Roboboat International" yang diselenggarakan di Florida Amerika Serikat.
Sebuah gelaran yang mempertandingkan karya inovasi mahasiswa terkait Autonomous Surface Vehicle (ASV) berupa robot kapal atau juga dikenal sebagai kapal tanpa awak yang mampu bergerak otomatis tanpa campur tangan manusia untuk patroli teritorial lautan yang sulit dimonitor oleh pemerintah.
Masih di tahun 2019, selang beberapa bulan berikutnya, di ajang yang berbeda, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Tim Bayucaraka Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)Â bahkan sukses menjadi juara dunia kategori fixed wing pada ajang Tbitak International Unmanned Aerial Vehicle (UAV) di Turki pada 16 s.d 20 September 2019.
Dua tantangan berhasil dilewati dengan sangat baik. Pertama, pesawat tanpa awak tersebut wajib melakukan manuver membentuk angka delapan ketika terbang. Kedua, setiap pesawat ditantang untuk menjatuhkan suatu barang dari udara pada daerah yang telah ditentukan.
Rasanya kok setiap tahun selalu saja ada putera-puteri Indonesia yang menjadi juara pada level dunia. Sebuah tanda bahwa kampus-kampus dalam negeri bisa melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang unggul dan bisa bersaingan dengan negara-negara maju.
Namun memang yang menjadi tantangan adalah belum optimalnya riset, keberlanjutan pengembangan dan pemanfaatan karya-karya anak bangsa untuk kepentingan dalam negeri.
Bayangan gue, bukankah sesungguhnya karya-karya inovasi robot atau alat para juara dunia asli Indonesia bisa dikembangkan untuk industri pertahanan nasional?
Kebayang nggak sih kalau petugas pemadam kebakaran di seluruh Indonesia punya robot yang membawa bom asap pemadam api (fire extinguisher bomb) untuk membantu dalam pemadaman titik api yang sulit kejangkau atau membahayakan?
Atau kebayang gak sih petugas PLN yang menggunakan bantuan robot untuk memutuskan aliran listrik yang bermasalah misalnya, atau robot yang bisa membantu petugas PDAM yang dapat mendeteksi kebocoran saluran pipa air bersih?
Atau petugas Telkom yang menggunakan robot bawah tanah untuk mengetahui kabel fiber optic yang putus di dalam gorong-gorong sehingga gak perlu menggali semua gorong-gorong cukup pada koordinat tertentu?
Atau bisa kebayang gak robot membantu Badan Nasional Penanggulangan Bencana ("BNPB") dalam penanggulangan bencana di daerah-daerah yang sulit kejangkau di tebing curam misalnya, atau Komite Nasional Keselamatan Transportasi ("KNKT") misalnya dibantu robot dalam mencari black box jika terjadi kecelakaan pesawat di dalam lautan yang dalam?
Atau kebayang gak sih, TNI AU kita menggunakan pesawat tanpa awak (UAV) karya bangsa dalam tugasnya menjaga kedaulatan wilayah udara kita atau TNI AL kita menggunakan ASV (autonomous watersurface vehicle) Â untuk membantu patroli di wilayah lautan kita yang sangat luas?
Atau TNI AD yang dibantu robot kecoa buatan mahasiswa Institut Teknologi Bandung ("ITB") untuk mengintai dan merekam target para pemberontak bersenjata? Jadi saat upacara HUT TNI, produk-produk inovasi anak negeri juga ikut dipamerkan.
Terbayang gak sih, Polisi Gegana kita menggunakan bantuan robot dalam menjinakan bom yang ditemukan atau Densus 88 kita menggunakan drone untuk melihat pergerakan target terduga teroris yang sudah terkepung di hutan atau di gedung misalnya tanpa harus mengorbankan jiwa?
Di Jepang, sewaktu gempa berkekuatan 9 skala richter pada 2011 silam, pusat reaktor nuklir di Fukushima salah satu yang terkena dampak. Untuk meneliti dampak radiasi nuklir, Jepang meminta bantuan Perusahaan Amerika Serikat iRobot sebagai "firefighters".
Packbot 510 dan Warrior 710 adalah 2 (dua) robot yang punya tugas masing-masing. Packboat 510 seperti yang dilansir dalam IEEE Spectrum dilengkapi HazMat payloads sebuah teknologi yang dapat mendeteksi suhu, radiasi gamma, gas dan uap yang eksplosif serta bahan kimia beracun. Sementara Warrior 710 membantu mengontrol aliran pendingin di dalam reaktor Fukushima tersebut.
Baru-baru ini di 2019, masih di lokasi yang sama, Perusahaan robot asal Jepang The Tokyo Electric Power Company (TEPCO) juga mengerahkan robot untuk membantu petugas dalam mengetahui permasalahan dan mencari tahu status reaktor yang meleleh serta dalam upaya pembersihan sisa-sisa kebocoran radioaktif di kompleks pembangkit nuklir Fukushima.
Teknologi robot khususnya dalam bentuk robot tanpa awak (UAV) juga sudah banyak digunakan oleh Amerika Serikat dalam zona perang. Tercatat, Militer AS sejak Januari 2014 mulai mengoperasikan sistem kendaraan udara tak berawak atau UAV secara besar-besaran.
Dikutip dari Military.com, jumlah drone yang dimiliki antara lain sebanyak 7.362 unit tipe RQ-11 Ravens dan 990 unit tipe AeroVironment Wasp IIIs.
Kemudian ada pula tipe AeroVironment RQ-20 Pumas berjumlah 1.137 unit, lalu 306 unit tipe RQ-16 T-Hawk dengan sistem UAS kecil, 246 unit tipe Predator dan MQ-1C Grey Eagles, 126 unit tipe MQ-9 Reaper, 491 unit tipe RQ-7 Shadows, hingga 33 unit tipe RQ-4 Global Hawk dengan sistem besar.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagian diantaranya sudah bisa dibuat sendiri meski masih dalam bentuk prototipe untuk kemudian diproduksi secara masal.
Sebagai contoh prototipe Pesawat tanpa awak (UAV) PUNA MALE yang baru saja diluncurkan merupakan hasil rancang bangun, rekayasa dan produksi anak bangsa sendiri melalui BPPT dan PT Dirgantara Indonesia ("PT DI").
Namun, sebagian yang lain belum terbayang. Wajar sih kita belum terbayang akan semua bayangan di atas. Selain bayangan-bayangan di atas perlu diuji kemungkinannya, yang menulis saat ini bukan anak IPA, bukan ahli robot yang paham matematika, fisika dan pemrogaman. Untuk itu bisa saja saya salah.
Hanya saja, sebagai anak sosial anak ekonomi, penulis hanya melihat fenomena bahwa anak Indonesia itu pintar, beprestasi di tengah keterbatasan bahkan bisa sejajar dengan negara-negara maju dari barat maupun timur.
Sayang kan kalau mereka tidak menemukan tempat berkaryanya. Hal ini sebagai fenomena sosial yang perlu disikapi, ada management kelembagaan yang perlu disempurnakan.
Karena dalam diskusi dengan teman sewaktu kuliah di Jogja dulu, ada yang pernah juara ajang bergengsi tingkat nasional Kontes Robot Indonesia ("KRI") sekarang memilih bekerja sebagai pegawai dan tugasnya lebih administratif. Alhasil karya robotnya hanya sebagai nostalgia masa lalu, "dimuseumkan".
Dalam skala yang lebih menasional, cerita yang lebih heroik kalau gak mau dibilang miris, seperti kisahnya Ricky Elson, ahli teknologi motor listrik dengan 14 paten di Jepang yang kembali ke Indonesia dan pada medio 2013 membuat prototipe mobil listrik nasional.
Kini dia seolah menghilang seiring menghilangnya wacana mobil listrik nasional, meski kita semua tahu dia saat ini mengabdikan dirinya di desa kecil di Tasikmalaya.
Sementara itu di Turki, di belahan bumi yang lain, prototipe mobil listrik baru saja diluncurkan 27 Desember 2019. Mobil listrik nasional TOGG berjenis SUV dan sedan akan diproduksi masal pada 2022 mendatang.
Padahal Indonesia seharusnya lebih dahulu sebagai produsen mobil listrik karena meluncurkan prototipe mobil listrik nasional jauh-jauh hari sewaktu Turki juga masih sebatas ide dan wacana.
Pernyataan saya sederhana. Yang lalu biarlah berlalu, kita boleh telat memproduksi secara masal teknologi karya anak bangsa tetapi kita gak boleh mengulanginya kembali, harus ada lesson learned ke depannya.
Sebagai langkah awal, Pemerintah dalam hal ini Kemenristek yang saat ini berganti nama menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia ("BRIN") perlu melakukan monitoring dan evaluasi karya-karya anak bangsa yang dipertarungkan dalam Kontes Robot Indonesia atau dalam program kreativitas mahasiswa ("PKM") yang digelar saban tahun dan melihat kembali jurnal-jurnal internasional yang ditulis anak negeri yang terbit setiap tahunnya.
Kemudian bertanya, ke mana robot-robot mereka yang canggih-canggih tersebut saat ini? Dimana tulisan-tulisan jurnal ilmiah, jurnal internasional itu diimplementasikan? Ke mana para juara, para ahli, praktisi, akademisi itu berkarya saat ini?
Pentingnya Industri Pertahanan Nasional
Saya pribadi percaya Indonesia akan selalu melahirkan orang-orang pintar di setiap masanya meski dari sebuah pelosok desa tertinggal sekalipun.Â
Apalagi saat ini, pendidikan lebih terjamin, setiap tahun 20% anggaran pendidikan dari APBN telah konsisten dialokasikan. Dana kesehatan tahun 2020 telah ditambahkan dua kali lipat dibandingkan tahun 2015 yang hanya Rp69,3 triliun.
Namun demikian, bagaimana dalam 10 tahun mendatang, 25 tahun lagi, 50 tahun lagi dan tahun-tahun berikutnya ketika orang pintar yang lahir, tumbuh sebagai akademisi, ahli, praktisi dengan karya inovasi apakah Indonesia tetap mampu memiliki dan mewujudkan karya mereka?
Indonesia bisa saja masih memiliki status kewarganegaraan mereka orang-orang pintar, tetapi tidak ada yang bisa menjamin untuk tidak kehilangan karya-karya mereka kecuali jika Pemerintah memfasilitasinya.
Sepertinya pada tahun 1973 Habibie tak akan kembali ke Indonesia dan lebih akan menetap di Jerman jika bukan Pemerintah yang memintanya kembali ke tahan air untuk melanjutkan mimpi kedirgantaraan Indonesia di Industri Pesawat Terbang Nurtanio ("IPTN") yang namanya pada 1985 kemudian berubah menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara ("IPTN") yang namanya berubah kembali pada tahun 2000 menjadi PT Dirgantara Indonesia ("PT DI").
Sama seperti Habibie yang menginisiasi lahirnya prototipe N250 dan R80. Indonesia harus kembali melahirkan "Habibie-Habibie" baru, tidak hanya lahir, tetapi harus mampu menghasilkan karya termasuk untuk industri pertahanan nasional di darat, laut dan udara dalam skala yang lebih luas, dalam level produksi yang lebih ekonomis "economic of scale".
Industri pertahanan nasional ini tentu menjadi prioritas. Wilayah daratan dan lautan Indonesia yang luas serta strategis harus ditopang pertahanan nasional yang kuat.
Hal ini tidak terlepas dari luas wilayah Indonesia mencapai 5,18 juta km2 dengan luas daratan sekitar 1,9 juta km2 dan lautan 3,25 juta km2 dengan jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa.
Posisi Indonesia juga sangat strategis yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan puluhan ribu pulau, juga memiliki sumber daya alam yang melimpah dengan objek-objek vital yang harus dijaga dari potensi ancaman dalam ataupun luar negeri.Â
Masalah Blok Natuna misalnya, adalah contoh bagaimana Indonesia memiliki risiko berkonfrontasi dengan negara-negara lain.
Masalah perbatasan wilayah maritim antar negara juga membutuhkan pertahanan nasional yang tangguh. Menurut Kementerian Pertahanan, saat ini tercatat ada beberapa status penyelesaian batas maritim yang belum selesai dengan 9 negara tetangga yakni India (landasan kontinen), Thailand (landasan kontinen), Malaysia (zona laut teritorial, kontinen dan ZEE).
Kemudian Singapura (zona laut teritorial), Vietnam (landasan kontinen), Filipina (zona laut teritorial, kontinen dan ZEE), Palau (landasan kontinen dan ZEE), Papua Nugini (landasan kontinen dan ZEE) dan Timor Leste (zona laut teritorial, kontinen dan ZEE).
Belum lagi kita bicara jalur laut, berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 10 Desember 1982 Indonesia memiliki jalur pelayaran internasional yang diakui dalam hukum laut internasional, Alur Laut Kepulauan Internasional ("ALKI") I, II dan III yang juga bersinggungan dengan beberapa negara lainnya dan empat choke points yang strategis bagi kepentingan global, yakni di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makasar.
Selain itu, potensi ancaman juga bisa datang dari teroris dan separatis. Menurut studi Institute for Economics and Peace, gerakan teroris dan separatis merupakan sebuah ancaman yang cukup serius di Indonesia.
Pada 2011, Indonesia masih pada peringkat 29 daftar Global Terorisme Indeks ("GTI") dengan skor 4,5. Pada 2019, peringkat Indonesia turun ke level 35 dengan skor 5,07 yang berarti kondisi ancaman terorisme cenderung menurun. Namun demikian, tingkat keamanan di Indonesia masih perlu untuk ditingkatkan kembali.
Hal-hal tersebut di atas yang mendorong pentingnya membangun industri pertahanan nasional sebab pertahanan nasional sendiri dibangun atas tiga (3) pilar kekuatan yakni kekuatan TNI & Polri yang profesional, kemampuan ekonomi Indonesia yang mandiri termasuk kekuatan industri pertahanan nasional.
Tiga Langkah Strategis
Untuk membangun industri pertahanan nasional yang tangguh setidaknya membutuhkan langkah-langkah strategis yang perlu diperkuat oleh Pemerintah Indonesia.
Pertama, mengintegrasikan dana riset nasional antara sumber APBN/D dengan swasta nasional, lembaga donor maupun sumber pendanaan lainnya.
Masalah pertama adalah hubungan kelembagaan yang rumit. Di bidang peneliti kita mengenal ada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewan Riset Nasional ("DRN"), Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan juga Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Indonesia cukup telat dalam mengintegrasikan langkah gerak kelembagaan badan atau lembaga penelitian. Baru di 2019 sebagai amanat UU No 11 Tahun 2019 yang sebenarnya sudah disusun sejak 2014 tentang Sisnas Iptek akhirnya melahirkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
BRIN adalah sebuah badan yang akan mengintegrasikan riset dasar, inovasi hingga penerapan dalam skala produksi. Paling tidak adanya BRIN, hubungan kelembagaan diharapkan bisa lebih efektif dan efisien.
Problem klasik berikutnya dalam dunia riset dan pengembangan adalah pendanaan. Data Kementerian Keuangan mengatakan dana riset pada APBN tahun anggaran 2019 dialokasikan sebesar Rp35,7 triliun namun tersebar ke 45 kementerian/lembaga (K/L).
Kita belum bicara rasio Gross on Research and Development (GERD) yang belum ideal, baru 0,25% dari APBN. Tetapi mari kita lihat fakta bahwa tidak adanya pengintegrasian dalam pendanaan riset dan pengembangan. Bayangkan Indonesia memiliki 52 kementerian/Lembaga yang juga memiliki litbang sendiri? LPDP (Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan) di bawah Kementerian Keuangan pun mengelola dana untuk kebutuhan riset, Pendanaan Riset Inovatif Produktif (RISPRO).
Indonesia juga punya The Indonesian Science Fund atau Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia. Intinya juga sama, DIPI sebagai lembaga pembiayaan riset mandiri tidak hanya mengandalkan anggaran APBN yang juga diresmikan secara simbolis pada 2016 oleh Bambang Brojonegoro yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Keuangan, yang hari ini sebagai kepala BRIN.
Kenapa lembaga pembiayaan riset dan pengembangan tidak diintegrasikan? Saya pikir tidak perlu semua Lembaga/kementerian memiliki litbang dan pengelolaan dan sendiri. Perlu ada perampingan dalam bentuk kluster dan pengintegrasian oleh BRIN.
BRIN juga nanti bisa bekerjasama dengan DIPI atau apapun nama Lembaga yang ditunjuknya nanti untuk pengintegrasian "foundation" yang bisa menghimpun dana swasta nasional, hibah, maupun sumber pembiayaan lainnya untuk keperluan riset dan pengembangan termasuk dalam bidang industri pertahanan nasional.
Kalau perlu ada gerakan crowdfunding seperti dulu Pak Habibie dan Ilham Habibie dengan R-80-nya yang diinisiasi oleh Lembaga pendanaan juga dapat menjadi alternatif pembiayaan riset dan pengembangan di Indonesia, yang terpenting semua terintegrasi.
Lembaga foundation tersebut tentu dalam menggelontorkan dananya termasuk misalnya dalam bidang industry pertahanan juga tidak bisa asal mengeluarkan dana, perlu adanya proses persetujuan dengan Komite Kebijakan Industri Pertahanan Indonesia ("KKIP") agar hasil riset lebih dapat diaplikasikan dan produktif.
Kedua, segera wujudkan holdingisasi BUMN industri pertahanan strategis. Di laut, kita punya BUMN seperti PAL Indonesia yang sudah mampu melakukan rancang bangun dan memproduksi kapal-kapal perang. Belum lagi Industri Kapal Indonesia, Dok Perkapalan Koja Bahari, Dok Perkapalan Surabaya. Â
Di udara kita punya Dirgantara Indonesia yang punya sejarah panjang mulai dari N250 Gatot Kaca sampai CN 235, NC212, Helli Super Puma hingga prototipe kapal tanpa awak (UAV) Puna Male. Â
Di darat, kita punya Pindad sebagai pabrik senjata SS-1, SS-2 yang selalu jadi juara menembak di ajang Australian Army Skill At Arms Meeting (AASAM) terakhir di 2019 kemarin.
Tidak hanya senjata kita sudah mampu joint production panser anoa dan beberapa alat tempur lainnya. Kita juga memiliki INKA untuk kereta api, Dahana untuk bom peledak, LEN, INTI, INUKI, Kratau Steel, Bharata Indonesia yang mampu memperkuat industri pertahanan nasional kita.
Tetapi dalam skala global, tidak ada satupun yang masuk ke dalam Top 100 perusahaan yang bergerak dalam bidang industri pertahanan nasional. Seperti dilansir Defense News, pada tahun 2019 atas kinerja keuangan 2018, Perusahaan asal Amerika Serikat, Tiongkok dan Eropa masih mendominasi 100 besar dunia industri pertahanan global dengan jumlah pendapatan usaha yang besar.
Untuk masuk ke dalam jajaran tersebut memang butuh waktu perjalanan panjang. Sebagai contoh Lockheed Martin, perusahaan asal Amerika Serikat yang menjadi Perusahaan nomor satu dunia dari sisi pendapatan mencapai USD51 miliar pada 2018 yang terkenal sebagai perusahaan pembuat pesawat militer salah satunya C-130J, jet tempur F-16 dan F-35 serta helikopter S-79 Black Hawk merupakan Perusahaan hasil merger.
Lockheed Martin yang bergerak dalam bidang dirgantara dan pertahanan merupakan hasil merger antara dari Lockheed Corporation dengan Martin Marietta pada tahun 1995. Sebelumnya, Lockheed Corporation sendiri telah berdiri sejak 1912.
Nampaknya, untuk mensinergikan, untuk memperbesar kapasitas Perusahaan, menguatkan likuiditas, untuk menciptakan produk dengan hasil yang lebih efisien, terintegrasi dan termonitoring dengan baik dengan pola yang terspesialisasikan, BUMN yang bergerak di bidang industri pertahanan nasional ada yang perlu di merger atau dalam bentuk holding. Â Wacana sejak lama yang sampai dengan penghujung tahun 2019 berakhir belum juga terealisasi.
Jika holding sudah terbentuk, pengembangan riset-riset robot para mahasiswa yang juara dunia atau juara nasional, juga karya inovasi industri pertahanan nasional dari para ahli, akademisi serta praktisi, yang terintegrasi melalui BRIN bekerjasama dengan Komite Kebijakan Industri Pertahanan Indonesia ("KKIP") untuk mengatur kembali fokus terhadap industri apa?
Setelah fokus, kira-kira Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghasilkan sebuat produk maka selanjutnya akan lebih mudah dalam proses "linked" dalam skala produksi yang lebih masif dan mencapai nilai ke-ekonomis-an melalui holding BUMN pertahanan.
Ketiga, memberikan insentif fiskal dan non fiskal. Industri pertahanan nasional tidak akan berkelanjutan tanpa adanya dukungan dari pemerintah.
Kita tahu apa yang dilakukan pemerintah Turki dalam mewujudkan mobil listrik nasional mereka, TOGG? Seperti diberitakan Automotive News Europe.
Untuk mewujudkannya, tak tanggung-tanggung, Pemerintah Turki memberikan dukungan dalam bentuk insentif fiskal dan non fiskal termasuk untuk lokasi pabrik TOGG seluas 400 Ha yang merupakan milik militer Turki. Insentif lainnya dalam bentuk keringanan bunga dan jaminan pembelian produk 30.000 TOGG hingga tahun 2035.
Kita harus ingat, 1 (satu) dari 10 prinsip ekonomi yakni people respond to incentives, setiap orang respon terhadap insentif. Maka tak heran, swasta di Turki termasuk Kadin Turki The Union of Chambers and Commodity Exchanges of Turkey (TOBB atau Trkiye Odalar ve Borsalar Birlii) bahkan ikut menginvestasikan 5% sahamnya dalam proyek besar TOGG bersama lima Perusahaan swasta yang lain karena ada potensi keuntungan yang dapat diraih, ada nilai ekonomi yang dilihat.
Di Australia, dalam konteks insentif fiskal. Swasta yang terlibat dalam dukungannya terhadap riset dan pengembangan dapat pengurangan pajak Perusahaan. Pemerintah Australia menamakan ini program The Research and development (R&D) tax incentive yang berlaku sejak tahun 2012.
Mengimplementasikan insentif fiskal dan non fiskal bukan sekadar di atas kertas, harus ada komitmen pemerintah sampai dengan peraturan di bawahnya.
Peraturan tersebut harus diturunkan dari Undang-Undang Pertahanan Nasional sampai kepada level kementerian atau badan bahkan termasuk di daerah oleh pemerintah daerah.
Yang tak kalah penting lainnya adalah termasuk juga nantinya komitmen pemerintah (inward looking strategy) dalam membeli dan menggunakan produk pertahanan nasional nantinya di pusat dan daerah.
Jika semua sudah berjalan dengan saling terintegrasi, ada pendanaan untuk penyempurnaan riset dan pengembangan prototipe para "Habibie" baru, ada industri yang siap bekerjasama dalam rancang dan bangun untuk dapat diproduksi dalam skala ekonomi.
Ada insentif fiskal dan non fiskal yang diberikan Pemerintah, kita dapat lebih optimis bahwa 10 tahun dan tahun-tahun mendatang industri pertahanan nasional kita makin banyak melahirkan inovasi-inovasi.
Kalau kita berhasil membangun industri pertahanan nasional yang kuat di darat, laut dan udara, kita gak perlu berpihak ke Amerika Serikat dan sekutu ataupun Tiongkok dengan koalisinya, kita bisa berdikari seperti istilah Soekarno, berdiri di atas kaki sendiri. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H