Pernyataan saya sederhana. Yang lalu biarlah berlalu, kita boleh telat memproduksi secara masal teknologi karya anak bangsa tetapi kita gak boleh mengulanginya kembali, harus ada lesson learned ke depannya.
Sebagai langkah awal, Pemerintah dalam hal ini Kemenristek yang saat ini berganti nama menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia ("BRIN") perlu melakukan monitoring dan evaluasi karya-karya anak bangsa yang dipertarungkan dalam Kontes Robot Indonesia atau dalam program kreativitas mahasiswa ("PKM") yang digelar saban tahun dan melihat kembali jurnal-jurnal internasional yang ditulis anak negeri yang terbit setiap tahunnya.
Kemudian bertanya, ke mana robot-robot mereka yang canggih-canggih tersebut saat ini? Dimana tulisan-tulisan jurnal ilmiah, jurnal internasional itu diimplementasikan? Ke mana para juara, para ahli, praktisi, akademisi itu berkarya saat ini?
Pentingnya Industri Pertahanan Nasional
Saya pribadi percaya Indonesia akan selalu melahirkan orang-orang pintar di setiap masanya meski dari sebuah pelosok desa tertinggal sekalipun.Â
Apalagi saat ini, pendidikan lebih terjamin, setiap tahun 20% anggaran pendidikan dari APBN telah konsisten dialokasikan. Dana kesehatan tahun 2020 telah ditambahkan dua kali lipat dibandingkan tahun 2015 yang hanya Rp69,3 triliun.
Namun demikian, bagaimana dalam 10 tahun mendatang, 25 tahun lagi, 50 tahun lagi dan tahun-tahun berikutnya ketika orang pintar yang lahir, tumbuh sebagai akademisi, ahli, praktisi dengan karya inovasi apakah Indonesia tetap mampu memiliki dan mewujudkan karya mereka?
Indonesia bisa saja masih memiliki status kewarganegaraan mereka orang-orang pintar, tetapi tidak ada yang bisa menjamin untuk tidak kehilangan karya-karya mereka kecuali jika Pemerintah memfasilitasinya.
Sepertinya pada tahun 1973 Habibie tak akan kembali ke Indonesia dan lebih akan menetap di Jerman jika bukan Pemerintah yang memintanya kembali ke tahan air untuk melanjutkan mimpi kedirgantaraan Indonesia di Industri Pesawat Terbang Nurtanio ("IPTN") yang namanya pada 1985 kemudian berubah menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara ("IPTN") yang namanya berubah kembali pada tahun 2000 menjadi PT Dirgantara Indonesia ("PT DI").
Sama seperti Habibie yang menginisiasi lahirnya prototipe N250 dan R80. Indonesia harus kembali melahirkan "Habibie-Habibie" baru, tidak hanya lahir, tetapi harus mampu menghasilkan karya termasuk untuk industri pertahanan nasional di darat, laut dan udara dalam skala yang lebih luas, dalam level produksi yang lebih ekonomis "economic of scale".
Industri pertahanan nasional ini tentu menjadi prioritas. Wilayah daratan dan lautan Indonesia yang luas serta strategis harus ditopang pertahanan nasional yang kuat.