Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

#COLLABOWRITE 1 Bareng Kristi: Awas Perangkap Kebahagiaan!

7 November 2022   12:02 Diperbarui: 7 November 2022   12:09 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Bahagya" (Sumber: Karya Pribadi)

Kebahagiaan dan manusia, keduanya itu sering dianggap sebagai suatu kesatuan karena kebahagiaan merupakan puncak pencarian setiap manusia selama hidupnya. Buktinya, masih banyak yang beranggapan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang diisi oleh kebahagiaan. 

Hal ini perlu diakui bahwa memang kita menjadikan kebahagiaan sebagai standar hidup bahkan pencapaian-pencapaian yang bentuknya macam-macam; dalam konteks di mana bahagia bisa berarti menjadi kaya, selalu sehat lahir-batin, dan/atau mendapatkan segala yang diinginkan.

Demi kebahagiaan lah kita semua termotivasi untuk melakukan segala sesuatu yang sangat berarti bagi kita; sesuatu yang kita sadari sangat bernilai serta patut untuk diperjuangkan. Gak dapat disangkal bahwa hal itu menjadi gairah hidup yang sangat kuat bagi diri kita, bahkan gak hanya gairah; toh, hal tersebut juga memberi kita perasaan yang menyenangkan ketika menjalani hidup, ya kan?

Meskipun baik, tapi, secara sadar atau gak sadar, sambil menjalani kehidupan tersebut, kita beresiko (bahkan banyak yang sudah) terjebak dalam kebahagiaan yang konsep hingga orientasinya bergantung pada lokasi di mana kita berada.

Bahaya mengenai konsep kebahagiaan ini perlu untuk kita waspadai bersama karena pada kenyataannya justru kebahagiaan itu sendiri lah yang menuntun, atau malah menjadikan, seseorang gak bahagia; masuk ke dalam 'perangkap kebahagiaan'. 

Terperangkapnya seseorang ke dalam 'perangkap kebahagiaan' tentu akan membuat orang tersebut justru jadi mengejar kebahagiaan yang sebenarnya dasarnya adalah kebahagiaan orang lain atau orang banyak. 

Hasilnya sudah jelas; pencapaian akan kebahagiaan pun gak pernah dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan bahkan memuaskan.

Oh iya, sebelum lebih lanjut, aku mau cerita sedikit kalau tulisan ini sebenarnya merupakan topik pembahasan dalam perbincangan antara aku dengan temanku; Kristi. 

Bermula dari project webinar kantor saat kami berdua bekerja dalam suatu perusahaan yang sama, yaitu Ruangguru, kami berdua tertarik untuk bahas sebenarnya bagaimana bisa ajakan untuk menggapai sebuah kebahagiaan yang seharusnya mendatangkan senyum dan kegembiraan pada orang yang mengalaminya justru memupuk perasaan sebaliknya seperti penderitaan, kesedihan, depresi, dan lain sebagainya sehingga berdampak pada kondisi sosio-psikisnya.

Sayangnya, project ini gagal terealisasi dalam bentuk webinar karena satu dan lain hal. Jadi, kami berdua sepakat untuk merealisasikannya melalui tulisan. Tapi, perlu digarisbawahi juga bahwa segala macam bentuk kekurangan serta kekeliruan yang ada dalam tulisan ini sama sekali tidak mewakili suatu instansi manapun, melainkan kesalahan kami berdua secara pribadi selaku penulis.

Yang Juga Ada Dalam Kebahagiaan

Pada paragraf sebelumnya, kami sudah menyinggung tentang 'perangkap kebahagiaan'; di mana seseorang terperangkap pada pencapaian apa yang danggap sebagai 'kebahagiaan' tapi versi orang lain atau orang banyak, bukan versi kita sendiri.

Sebagai bagian dari masyarakat, kita tentu gak bisa lepas sepenuhnya dari 'kebahagiaan' yang sedemikian rupa, karena toh sedikit-banyaknya konsepsi kita mengenai kebahagiaan juga kita dapat dari pengalaman kita di masyarakat. Tapi, yang mau kami berdua bahas di sini adalah bahwa kita semua bisa untuk menolak atau menghindar dari 'kebahagiaan' tersebut sekaligus membentuk kebahagiaan versi kita sendiri.

Banyak variasi definisi, konsepsi, hingga esensi kebahagiaan pada setiap masyarakat dan bagi setiap orang, akan tetapi terlepas dari semua persoalan variasi tersebut yang harus kita terima bersama adalah ternyata kebahagiaan juga menyimpan semacam 'perangkap' psiko-sosiologis yang cukup tersembunyi sehingga banyak dari kita tanpa mengalami sedikit pun pertanda bahwa kita telah terperangkap.

Perangkap psiko-sosiologis ini berasal dari bagaimana suatu masyarakat pemahaman dan kesepakatan bersama (konsensus) masyarakat mengenai sebuah kebahagiaan sekaligus bagaimana menghadapinya dan/atau menjalaninya. 

Meski disadari sebagai sebuah konsensus, pada kenyataannya gak jarang kok di kemudian hari hal ini dapat menjadi semacam 'paksaan', baik secara langsung atau gak langsung, agar anggotanya juga mengikuti pandangan-pandangan mengenai suatu kebahagiaan dan dalam menghadapi suatu perasaan dan tindakan yang berkaitan dengan kebahagiaan tersebut. 

Perangkap ini pun di kemudian menjadi sebuah mitos yang dipercaya oleh banyak masyarakat bahkan menyebar dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Tentu saja fenomena ini bukannya tanpa konsekuensi, karena mitos-mitos ini gak hanya menuntun masyarakat pada 'gaya hidup' tertentu namun juga pada beberapa kasus dapat menimbulkan gangguan psikis terhadap orang-orang yang mengalaminya.

Empat Mitos Besar yang Merupakan Jebakan Kebahagiaan

Gak semudah pada kisah-kisah yang kita baca, video-video motivasi dan film-film yang kita tonton, menjadi "bahagia selamanya" dalam kehidupan merupakan hal yang tidak masuk akal. Pun, untuk bisa mencapai kebahagiaan sejati sangatlah sulit, dan semua orang juga pasti merasakan hal ini. Ya, kan? Kami berdua sih iya soalnya hahahahaha

Ketiadaan ukuran mutlak dan universal mengenai konsep kebahagiaan inilah yang kemudian menghadapi kita semua pada mitos-mitos kebahagiaaan yang sebenarnya juga merupakan buah dari konsensus masyarakat mengenai kebahagiaan; sebuah konsensus yang cenderung utopis karena menuntut manusia menjadikan hidup ini untuk selalu baik-baik saja dan dirinya untuk selalu menampilkan hal baik serta yang membahagiakan secara terus-menerus.

Russ Haris, dalam bukunya The Happiness Trap (Stop Struggling, Start Living) mengatakan bahwa pada umumnya ada empat mitos besar mengenai kebahagiaan yang berlaku pada setiap masyarakat. 

Mitos ini mengisi benak kita sehari-hari dalam mengejar kebahagiaan, dan mitos-mitos ini antara lain; "Kebahagiaan adalah kondisi alamiah untuk setiap manusia", "Kalau kamu gak bahagia, berarti ada yang salah pada dirimu", "Kamu harus bisa mengendalikan apa yang kamu pikirkan dan kamu rasakan", dan "Untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, kita harus menyingkirkan semua perasaan buruk". 

Keempat mitos besar ini menjadikan banyak manusia akhirnya terjebak pada perasaan gak mengenakan yang berujung pada pengaruh psikis karena kita dipaksa untuk melakukan hal itu, jika gak melakukannya kita akan merasakan semacam konsekuensi seperti dikucilkan, dianggap aneh, orang dengan negative vibes, dan lain sebagainya.

Cover Depan Buku Happiness Trap oleh Russ Harris (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Cover Depan Buku Happiness Trap oleh Russ Harris (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pernah gak sih kalian mengalami titik di mana kalian menunjukan bahwa kalian sedang gak bahagia atau gak baik-baik saja karena sesuatu, lalu dianggep berlebihan atau lebay, lemah, mengalami demotivasi, ngeluh mulu, tukang murung, dan lain sebagainya?

Kalo pernah, ini adalah salah satu bentuk perangkap kebahagiaan yang diekspresikan dalam masyarakat kita. Masyarakat menganggap (atau lebih tepatnya memaksa kita untuk beranggapan) kalo manusia diciptakan untuk selalu bahagia. 

Maka, jika seseorang gak menjadi manusia yang bahagia, masyarakat akan menganggap ada yang salah dalam diri orang tersebut. 

Anggapan ini pun cenderung bukan merupakan bentuk simpati mengenai kondisi psikis atau mentalnya, melainkan anggapan bahwa orang tersebut mengalami sebuah kelemahan, penyakit, bahkan kelainan mental.

Respon lain terhadap hal-hal yang tidak membahagiakan pun datang dalam bentuk pengendalian pikiran dan emosi. Pasti kalian pernah baca atau dengar bahwa kita atau seseorang diminta harus sebisa mungkin mengendalikan pikiran dan emosinya saat sedang gak bahagia atau gak baik-baik saja. 

Pengendalian ini pun akhirnya dilakukan dengan sekeras mungkin menepis segala perasaan yang gak membahagiakan, yang membuat gak baik-baik saja, sehingga kita bisa menjadi sebahagia mungkin.

Pengendalian emosi dan pikiran dengan berusaha menerima yang baik serta menyingkirkan yang buruk ini ternyata merupakan bentuk dari apa yang kita ketahui bersama sebagai toxic positivity. 

Menurut Psychology Today, toxic positivity adalah perilaku yang mendorong seseorang untuk berusaha keras berbuat dan berfikir positif hingga menekan emosi negatif keluar. Katanya sih mau bahagia, tapi justru pada kenyataannya ketika seseorang menjadi 'terlalu' positif sehingga menekan habis-habisan emosi buruk yang keluar, hal ini mampu menyebabkan stres berlebihan dan membuat orang tersebut gak bisa rileks dalam menjalani hidupnya.

Tenu saja, karena orang dengan toxic positivity cenderung akan selalu memperlihatkan sisi baik dan positif yang ada dirinya namun di dalam hatinya berusaha mati-matian menahan emosi negatif untuk keluar. Ketika seseorang dengan toxic positivity secara gak sengaja mengeluarkan emosi negatif, maka dia akan merasa bersalah bahkan gak menutup kemungkinan juga dia akan merasa ada yang salah pada dirinya.

Kita perlu memahami bahwa dalam kehidupan, sebagalnya bisa terjadi dan apa yang terjadi pasti memberikan 'rasa' pada diri kita. Gak perlu sebenarnya untuk berusaha mengendalikan pikiran kita dan emosi kita agar selalu positif karena memang semua yang terjadi dalam hidup ini gak terduga. Justru yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita menerima dan menyalurkan pikiran dan emosi kita pada saat kita sedang gak baik-baik saja tanpa harus merugikan orang lain atau bahkan hingga melanggar hukum. Kita juga perlu menanamkan dalam diri kita bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki emosi, mengutarakan sebuah emosi negatif bukanlah hal yang buruk karena yaa memang ada kalanya manusia perlu mengeluarkan rasa marah, sedih, khawatir, kecewa bahkan frustasi supaya batin kita gak selalu tertekan.

Toh, dengan memahami bahwa hidup ini gak akan selalu baik dan positif, menerima hal-hal negatif dan mengeluarkan semua hal negatif tersebut, kita bisa menjalani hidup dengan perasaan lebih lapang, kan?

Kebahagiaan bukanlah kondisi alamiah manusia yang harus selalu dijalankan, terlebih lagi menuntut manusia untuk selalu bahagia adalah hal yang mustahil karena menjalani hidup berarti siap untuk berhadapan dengan semuanya dan menanggung apa yang akan kita dapatkan darinya; baik ataupun buruk. Mengejar kebahagiaan bukan berarti kita harus melawan kondisi alamiah kita yang sesungguhnya; bahwa memang gak apa-apa bagi kita sebagai manusia jika kita merasa gak bahagia atau gak baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun