Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

#kubukabukuku Timang-timang Guru: Kisah Usaha Guru Melawan Hegemoni Negara

12 Juni 2022   09:19 Diperbarui: 12 Juni 2022   09:31 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Setiap tanggal 25 November, masyarakat Indonesia memperingati hari besar nasional; Hari Guru Nasional. Seperti biasanya, linimasa sosial media akan dipenuhi dengan unggahan-unggahan apresiasi terhadap guru-guru yang telah mendidik kita. Namun pada tahun 2020, ada unggahan yang menarik perhatianku; temanku, Irzandy Maulana, menerbitkan buku pertamanya yang ia beri judul Timang-timang Guru. Buku ini disambut antusiasme teman-teman Irzandy, tak terkecuali diriku.

Kendati saat itu aku juga antusias, namun sejujurnya aku baru memiliki bukunya pada 2021. Hal ini disebabkan oleh satu dan lain hal sehingga aku baru bisa memiliki buku itu hampir setahun setelah buku itu terbit. 

Singkat cerita, kami memutuskan untuk bertemu dan pada pertemuan kami di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan, sambil berbincang-bincang mengenai banyak hal, kami melakukan transaksi pembelian novel saat itu juga; aku pun pulang membawa buku yang ditulis oleh seorang teman, seseorang yang memang sangat menaruh perhatian terhadap isu-isu kependidikan dan keguruan.

Menjadi bagian dari rak bukuku pada 2021, tibalah waktu bagiku untuk membaca Timang-timang Guru. Lamanya buku ini baru kubaca sebab masih banyaknya buku-buku di daftar 'Yang Akan Dibaca' atau 'To Be Read'-ku, sehingga buku ini barulah kubaca pada Juni 2022.

Timang-timang Guru adalah sebuah novel dengan tebal kurang lebih 150 halaman yang menceritakan perjuangan guru muda bernama Fatih demi kesejahteraan dan keluar dari hegemoni. Bukan hanya demi dirinya saja, melainkan juga demi guru-guru lain. 

Dengan alur cerita yang dinamis serta transisi alur yang cenderung halus, pembaca diajak untuk merasakan dan mencermati problematika yang terjadi di dunia kependidikan serta keguruan; seperti pengaruh-pengaruh 'feodal' yang masih melekat pada kepengajaran banyak guru, kesejahteraan guru, kebebasan dan perlindungan dalam mengajar, serta kungkungan untuk harus terlibat dukung-mendukung dalam kontestasi politik yang masih terjadi hingga saat ini.

Prinsp Feodalistik Dalam Dunia Kepengajaran

Meksi dunia kependidikan sudah modern dan dalam kampanyenya sering mengedepankan keterbukaan, namun masih ada saja praktik, yang menurut Irzandy, bersifat feodal. 

Feodalistik ini ia ceritakan melalui kisah Fatih, murid yang kritis dan vokal, semasa duduk di bangku sekolah menengah atas.

Feodalistik yang dialami Fatih terjadi ketika salah seorang guru sosiologi semasa ia SMA, Pak Ahmad, menjelaskan materi mengenai salah satu founding fathers sosiologi, Karl Marx. Sebagai sebuah sosok dan paham, Karl Marx memang lebih sering dipahami sebagai sebuah musuh ketimbang pemikir besar. 

Hal ini dikarenakan pemberian cap Orde Baru terhadap Karl Marx sebagai 'biang kerok' ketidakharmonisan negara; sebagai ancaman besar negara yang harus dimusnahkan segala bentuk pengaruh dan bentuk dukungannya, inilah yang nampaknya melekat pada pemikiran Pak Ahmad mengenai Karl Marx dan Marxisme.

Pola pikir kritis Fatih mempertanyakan pernyataan Pak Ahmad pada pertemuan sebelumnya mengenai cap Marx dan Marxisme sebagai paham sesat. 

Alih-alih menjawab pertanyaan Fatih, yang dilakukan oleh Pak Ahmad justru menyuruh Fatih untuk melupakannya dengan alasan materi yang disampaikan sudah berlalu. 

Tak hanya sampai di situ, Pak Ahmad juga merespon hak kebebasan akademik Fatih dengan semacam absolutisme bahwa apa yang dijelaskan oleh Pak Ahmad tidak seharusnya dipertanyakan lagi karena ia telah hidup lebih lama dibanding Fatih.

Cara mengajar seperti inilah sejujurnya akan memotong daya kritis para pelajar dan bertentangan dengan kebebasan akademik, di mana arus diskusi tanya-jawab diperbolehkan dan tidak memiliki sekat apapun karena penentu kualitas intelektualitas dalam sebuah ruang akademik bukanlah usia; melainkan wawasan dan pemikiran seseorang.

Stagnansi Kesejahteraan Guru

Selain soal masih melekatnya gaya feodalistik di mana murid berada pada tataran subordinat sedangkan guru berada di atasnya, dan oleh karenanya ia mutlak, ada hal yang mengganggu Irzandy dalam novelnya; kesejahteraan guru. Kesejahteraan guru sudah lama menjadi problematika yang dialami oleh banyak guru-guru non-PNS di Indonesia. Banyak guru yang mengharuskan dirinya melakukan kerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Hal ini Irzandy gambarkan dengan membumi melalui perjuangan Mas Saldi dan Pak Joki yang setelah lama mengajar namun kesejahteraannya tidak mengalami peningkatan. 

Stagnansi kesejahteraan yang dialami oleh kedua tokoh ini ternyata berkaitan dengan performa mengajar mereka; mulai dari kurang optimalnya guru saat mengajar karena tuntutan yang ada tidak sejalan dengan pemenuhan kebutuhan guru hingga mengalami cultural lag dalam hal komputerisasi. 

Cultural lag sendiri adalah suatu kondisi di mana suatu bagian masyarakat tidak bisa mengikuti perkembangan yang ada; perkembangan maju lebih cepat dibanding dengan pengetahuan akan perkembangan yang mengikutinya.

Sebagai bagian dari guru muda honorer, terhadap isu ini Fatih sangat geram karena menurutnya, negara hanya bisa menuntut guru untuk selalu memberikan yang terbaik serta meningkatkan kualtiasnya, namun kurang bekerja keras dalam pemenuhan kesejahteraan guru. Meski pemerintah di dunianya Fatih, mulai dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat, nampak menutup mata terhadap isu krusial ini, namun Fatih memiliki keyakinan bahwa pemerintahnya suatu saat nanti dapat meningkatkan kesejahteraan guru karena baginya; 

"kesejahteraan guru sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan?"

Betapa Semunya Kebebasan dan Perlindungan Mengajar

Isu selanjutnya yang diangkat dalam novel ini adalah kebebasan dan perlindungan guru. Pemerintah sebagai insitusi negara tertinggi kerap bekata akan berusaha untuk selalu memberikan jaminan pelaksanaan kebebasan dan perlindungan kepada para guru. Sayangnya, Fatih, Bu Titin dan Pak Wiro tidak mendapatkan kedua hal itu; Fatih mengalami persekusi dari para 'guru seniornya' yakni Bu Dora dan Pak Rama, Bu Titin harus keluar dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah, sedangkan Pak Wiro mengalami persekusi dan hampir dipukul oleh wali murid. Ketiganya mengalami hal ini karena mencoba menumbuhkan sikap kritis di dunia akademik dan menegakan aturan yang ada.

Masih adanya persekusi yang dialami Fatih merupakan salah satu bentuk 'pendisiplinan' di dalam ruang akademik yang bebas, dan pemberhentian profesi merupakan salah satu bentuk tindakan kontraproduktif dari  usaha pemerintah dalam hal jaminan kebebasan dan perlindungan guru. Namun, dari keduanya, yang paling tragis adalah persekusi yang dialami Pak Wiro. Persekusi itu dapat terjadi karena Pak Wiro mencoba menegakan aturan sekolah mengenai batas minimal panjangnya rambut peserta didik.

Meski kerap disanjung sebagai 'pahlawan', namun ternyata guru-guru rentan mendapatkan persekusi dan pemberhentian profesi. Selain itu, minimnya perlindungan terhadap para guru, turun-sertanya pemerintah dalam 'menjegal' serta mengurangi ruang aman dan kebebasan dalam berkreasi, bereksperimen dan berekspresi para guru juga dapat melanggengkan omong kosong 'guru adalah pahlawan'.

Politisasi Guru

"Guru dalam politik apa salahnya?" Mungkin pertanyaan itu ada di benak kalian begitu tahu bahwa isu yang dialami guru selain tiga hal di atas adalah menyangkut politik. Politisasi yang dialami guru juga menjadi keresahan Irzandy, yang kemudian ia gambarkan dalam sosok Fatih Sang Guru Muda. Keresahan ini dikarenakan guru-guru hanya dianggap sebagai mesin politik; mereka kurang diseriusi kesejahteraannya serta kurang diseriusi hak mendapat kebebasan dan perlindungan, namun sangat diseriusi suara serta keberpihakannya ketika masa pemilihan datang melalui kampanye-janji manis para kandidat.

Guru tidaklah salah jika ingin berpolitik selama ia melepaskan 'jubah' guru yang ia kenakan. Justru yang akan menjadi masalah adalah saat seorang guru berpolitik sambil mengenakan 'jubah' gurunya, karena pembelajaran yang terjadi di ruang kelas akan melibatkan kampanye tendensius, yang mana hal ini juga dapat menimbulkan rawan bias terhadap penilaian-penilaian guru terhadap murid, baik penilaian akademik maupun non-akademik. Dampaknya juga bisa berpengaruh bahkan kepada hubungan antarmurid, bahkan sesama guru.

Fenomena ini bisa kita baca pada novel ini, di mana Fatih mencoba untuk menolak kewajiban guru untuk ikut serta dalam kontestasi politik yang dipaksakan oleh pihak Dinas Pendidikan selama masa pemilihan, padahal Dinas Pendidikan tau dan sadar secara penuh bahwa baik Fatih dan guru-guru lainnya yang ada di sekolah tempat Fatih mengajar adalah orang-orang yang masih aktif sebagai guru. Alih-alih aspirasinya diterima dan dipertimbangkan agar guru tidak dipolitisasi dan dimanfaatkan semata, Fatih justru mendapatkan tindak intimidatif dari pihak yang seharusnya melindungi dirinya, yakni kepala sekolah yang menggantikan posisi Bu Titin; Pak Jafar, kepala sekolah yang memenuhi perintah Dinas Pendidikan untuk berpolitik di ruang akademik mendukung calon petahana.

Ceritanya Analisa

Itu adalah empat dari sekian banyak isu-isu yang mejadi perhatian besar Irzandy sebagai seorang guru dan juga penulis. Perlu diakui Irzandy cukup baik menyampaikan isu-isu hegemoni di atas kepada para pembaca novel Timang-timang Guru yang mungkin sama sekali kurang familiar dengan hegemoni. Hegemoni sendiri adalah sebuah bentuk dominasi suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lainnya yang dianggap kelas bawah, melalui konsensus ideologi; intelektualitas dan moralitas.

Dalam novel, kita akan menjumpai bagaimana konsensus ideologi ini bekerja pada tokoh-tokoh novel ini melalui rasa takut akan konsekuensi jika tidak menyesuaikan diri, terbiasa mengikuti tujuan-tujuan dengan cara tertentu, dan kesadaran atau persetujuan terhadap unsur tertentu, sebagaimana Gramsci menjelaskannya. Hegemoni yang dilakukan oleh kelas superordinat (atau yang lebih berkuasa) ini bukannya tanpa maksud dan tujuan.

Hegemoni, sebagaimana sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, yang merupakan konsensus atau persetujuan dari kelas subordinat (atau kelas yang dikuasai) dapat terjadi bukan karena kelas subordinat menganggap struktur sosial yang ada itu sebagai keinginannya, tetapi lebih karena kurangnya basis konseptual yang memungkinkan mereka memahami realitas lebih efektif. Sekalipun ada pihak yang memiliki basis konseptual seperti Fatih, hegemoni tetap dapat dilakukan selama tidak memiliki posisi tawar (bargaining power).

Penyebab kurangnya basis konseptual ini sendiri pun menurut Gramsci antara lain pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Pendidikan yang ada tidak membangkitkan kemampuan kaum buruh untuk berfikir kritis dan sistematis. Di lain pihak, mekanisme kelembagaan (sekolah, gereja, partai-partai politik, media massa, dan sebagainya), menjadi kaki tangan kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominasi. Jadi, semua permasalahan yang dialami oleh guru dalam novel ini juga bertalikelindan; satu sumber akan memengaruhi yang lain.

Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana kemudian hegemoni ini tidak hanya ada pada pemerintah terhadap banyak guru; Dinas Pendidikan terhadap para guru, melainkan juga banyak guru; antara lain Bu Dora, Pak Rama, dan Pak Ahmad terhadap murid-murid di kelasnya. Bukannya menciptakan sebuah kualitas akademik yang mampu memerdekakan setiap orang yang terlibat di dalamnya (menghidupkan kesadaran sebagai subjek aktif), pendidikan dan lembaganya justru menjadi alat untuk menjadikan siapa-siapa saja yang berada di dalam struktrur subordinat sebagai subjek pasif.

Menyadari hal ini, Fatih membuat sebuah organisasi Kaukus Guru Muda dan melakukan aksi massa untuk melawan usaha hegemonik ini. Aksi ini dilakukan dengan demonstrasi yang akhirnya membuat Organisasi Resmi Guru bergabung dengan Kaukus Guru Muda serta keberhasilan Fatih sebagai perwakilan Kaukus Guru Muda berdialog dengan pemerintah dan membuat pemerintah mengabulkan tuntutan-tuntutan yang diajukan meski tidak semua.

Kesadaran Fatih untuk melawan hegemoni baru ini sejalan dengan 'formula' (?) Gramsci bahwa hegemoni baru dapat diraih melalui solidaritas untuk mengubah kesadaran, pola pikir, pemahaman dan konsepsi, serta mengubah norma perilaku moral mengenai isu-isu hegemonik di atas.

Gramsci sendiri menyebut gerakan ini sebagai revolusi intelektual dan moral, di mana kaum intelektual lah yang mengemban tugas untuk melaksanakannya. Kaum intelektual sendiri didefinisikan oleh Gramsci sebagai organisator dalam lapisan masyarakat, jadi intelektual tidak sebatas pada pemikir semata melainkan juga bisa seorang pelukis, seorang pegawai negeri, pemimpin politik, dan lain sebagainya tidak terkecuali guru.

Gramsci meyakini bahwa setiap kelas menciptakan satu atau lebih strata kaum intektual yang sadar akan peranannya, yang bukan hanya dalam bidang ekonomi tetapi juga dalam lapangan politik dan sosial. Dengan demikian, kelas pekerja (atau pihak subordinat yang lainnya juga) harus menciptakan kaum intelektualnya sendiri jika ingin menjadi kelas hegemonik.

Kemenangan Kaukus Guru Muda dalam usahanya melawan hegemoni negara menjadi pertanda bahwa jika kelas subordinat berkumpul dengan tujuan yang sama serta solidaritas yang kuat, mereka akan mampu melawan hegemoni yang ada; bahkan bukannya tidak mungkin mereka akan dapat menciptakan hegemoni baru.

Kisah Fatih dan Kaukus Guru Muda pun tidak berakhir pada kemenangan ini, karena masih ada banyak hal lain untuk dimenangkan. Apakah akan kembali dimenangkan oleh Fatih dan Kaukus Guru Muda? Tidak ada yang tahu, mari kita lihat saja kisah selanjutnya dalam novel yang akan diterbitkan oleh Irzandy di kemudian hari.

Perjuangan dalam hidup ini panjang, jadi teruslah berusaha dan tetap bersabarlah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun