"kesejahteraan guru sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan?"
Betapa Semunya Kebebasan dan Perlindungan Mengajar
Isu selanjutnya yang diangkat dalam novel ini adalah kebebasan dan perlindungan guru. Pemerintah sebagai insitusi negara tertinggi kerap bekata akan berusaha untuk selalu memberikan jaminan pelaksanaan kebebasan dan perlindungan kepada para guru. Sayangnya, Fatih, Bu Titin dan Pak Wiro tidak mendapatkan kedua hal itu; Fatih mengalami persekusi dari para 'guru seniornya' yakni Bu Dora dan Pak Rama, Bu Titin harus keluar dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah, sedangkan Pak Wiro mengalami persekusi dan hampir dipukul oleh wali murid. Ketiganya mengalami hal ini karena mencoba menumbuhkan sikap kritis di dunia akademik dan menegakan aturan yang ada.
Masih adanya persekusi yang dialami Fatih merupakan salah satu bentuk 'pendisiplinan' di dalam ruang akademik yang bebas, dan pemberhentian profesi merupakan salah satu bentuk tindakan kontraproduktif dari  usaha pemerintah dalam hal jaminan kebebasan dan perlindungan guru. Namun, dari keduanya, yang paling tragis adalah persekusi yang dialami Pak Wiro. Persekusi itu dapat terjadi karena Pak Wiro mencoba menegakan aturan sekolah mengenai batas minimal panjangnya rambut peserta didik.
Meski kerap disanjung sebagai 'pahlawan', namun ternyata guru-guru rentan mendapatkan persekusi dan pemberhentian profesi. Selain itu, minimnya perlindungan terhadap para guru, turun-sertanya pemerintah dalam 'menjegal' serta mengurangi ruang aman dan kebebasan dalam berkreasi, bereksperimen dan berekspresi para guru juga dapat melanggengkan omong kosong 'guru adalah pahlawan'.
Politisasi Guru
"Guru dalam politik apa salahnya?" Mungkin pertanyaan itu ada di benak kalian begitu tahu bahwa isu yang dialami guru selain tiga hal di atas adalah menyangkut politik. Politisasi yang dialami guru juga menjadi keresahan Irzandy, yang kemudian ia gambarkan dalam sosok Fatih Sang Guru Muda. Keresahan ini dikarenakan guru-guru hanya dianggap sebagai mesin politik; mereka kurang diseriusi kesejahteraannya serta kurang diseriusi hak mendapat kebebasan dan perlindungan, namun sangat diseriusi suara serta keberpihakannya ketika masa pemilihan datang melalui kampanye-janji manis para kandidat.
Guru tidaklah salah jika ingin berpolitik selama ia melepaskan 'jubah' guru yang ia kenakan. Justru yang akan menjadi masalah adalah saat seorang guru berpolitik sambil mengenakan 'jubah' gurunya, karena pembelajaran yang terjadi di ruang kelas akan melibatkan kampanye tendensius, yang mana hal ini juga dapat menimbulkan rawan bias terhadap penilaian-penilaian guru terhadap murid, baik penilaian akademik maupun non-akademik. Dampaknya juga bisa berpengaruh bahkan kepada hubungan antarmurid, bahkan sesama guru.
Fenomena ini bisa kita baca pada novel ini, di mana Fatih mencoba untuk menolak kewajiban guru untuk ikut serta dalam kontestasi politik yang dipaksakan oleh pihak Dinas Pendidikan selama masa pemilihan, padahal Dinas Pendidikan tau dan sadar secara penuh bahwa baik Fatih dan guru-guru lainnya yang ada di sekolah tempat Fatih mengajar adalah orang-orang yang masih aktif sebagai guru. Alih-alih aspirasinya diterima dan dipertimbangkan agar guru tidak dipolitisasi dan dimanfaatkan semata, Fatih justru mendapatkan tindak intimidatif dari pihak yang seharusnya melindungi dirinya, yakni kepala sekolah yang menggantikan posisi Bu Titin; Pak Jafar, kepala sekolah yang memenuhi perintah Dinas Pendidikan untuk berpolitik di ruang akademik mendukung calon petahana.
Ceritanya Analisa
Itu adalah empat dari sekian banyak isu-isu yang mejadi perhatian besar Irzandy sebagai seorang guru dan juga penulis. Perlu diakui Irzandy cukup baik menyampaikan isu-isu hegemoni di atas kepada para pembaca novel Timang-timang Guru yang mungkin sama sekali kurang familiar dengan hegemoni. Hegemoni sendiri adalah sebuah bentuk dominasi suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lainnya yang dianggap kelas bawah, melalui konsensus ideologi; intelektualitas dan moralitas.