Kita dapat berasumsi bahwa dalam inisiasi ini, seorang anak lelaki tidak diharapkan untuk 'percaya' pada penguasa hewan sebelum memasuki goa itu. Tetapi, pada puncak ujiannya, imaji ini akan membebaskan kesan yang kuat; selama berjam-jam dia barangkali telah berjuang melalui jalan yang berputar-putar sepanjang hampir satu mil dengan iringan lagu, teriakan, suara-suara atau objek misterius yang dilemparkan entah dari mana tak ada yang tahu, dan efek-efek khusus tentu akan mudah untuk diatur di tempat seperti itu, sehingga pada akhirnya ia tiba dan berdiri di hadapan lukisan besar tersebut.
Tanggapan
Kita sudah membaca sedikit mengenai kesadaran beragama pada masa Paleolitikum yang saya tulis, saya -- tak mengapa para pembaca juga mendapatkan pandangan yang berbeda, mendapati bahwa agama dan seni pada masa ini sangat bertalian. Sebagaimana seni, agama di masa ini nampaknya kurang memadai jika dijelaskan secara logika, mata rasional, karena pada kenyataannya agama tersebut lebih emosional daripada rasional, namun agar tidak sekedar menjadi epifani yang dangkal, wawasan baru ini harus masuk lebih dalam daripada perasaan yang, secara tabiatnya, bersifat sementara saja.Â
Mitos Penguasa Hewan kita bisa lihat sangat memengaruhi kehidupan masyarakat Paleolitikum, bahkan dapat dikatakan sangat vital. Penguasa Hewan menjadi arketip (archetype) masayarakat Paleolitikum.
Lalu apa itu arketip? Dalam psikoanalisa Carl Jung, ia memaparkan bahwa arketip merupakan kecenderungan alamiah atau tendensi bawaan yang membentuk dan mentransformasi kesadaran seseorang. Arketip adalah "primordial image" atau  "inborn behavior patterns" yang artinya kecenderungan bawaan manusia yang berguna dalam membentuk kecenderungan pola perilaku manusia.Â
Jung juga mengatakan bahwa genealogi dari arketip berasal dari pengamatan repetitif atas mitos dan literatur universal yang berisikan cerita dengan berbagai macam tema besar yang dikenal di setiap tempat dan di sepanjang sejarah manusia.Â
Arketip menghantarkan kesan mendalam, memengaruhi dan memesona ego kita, arketip dapat dikatakan bersifat numinous atau sesuatu yang mampu membangkitkan emosi-emosi mendalam. Â Arketip tidak memiliki bentuk yang ajeg, dan segera setelah arketip tampil sebagai kesadaran dan dibina, maka ia berubah menjadi pengalaman kesadaran.
Dalam masyarakat Paleolitikum, mitos mengenai Penguasa Hewan diabadikan, dilestarikan, diulang-ulang, sehingga timbul perubahan emosional yang dapat kita lihat pula dalam ukiran maupun lukisan di goa-goa purba yang mengilustrasikan ada semacam entitas yang melampaui bayangan di dunia sekarang dan memiliki nilai kesakralan yang amat besar.Â
Tak hanya dalam bentuk lukisan maupun ukiran, inisiasi yang dilakukan saat seorang remaja yang memasuki masa dewasa juga merupakan tindakan repetitif terhadap pelestarian mitos Penguasa Hewan; sang remaja dibina untuk merasakan secara emosional melalui serangkaian inisiasi menyeramkan, gelap, menakutkan, dan mengubah psikisnya di kemudian; menjadi pria dewasa yang berani menghadapi kematian untuk dirinya sendiri maupun untuk sukunya.
Berkaitan dengan pembinaan selama upacara inisiasi ini, Karen Armstrong berpendapat bahwa agama adalah kerja keras. Wawasannya tidak tumbuh dengan sendirinya dan harus dibina dalam cara yang sama seperti halnya apresiasi seni, musik, atau puisi ditumbuhkan.Â
Meskipun kita beranggapan bahwa mitos itu merupakan sesuatu yang irasional, sesuatu yang tidak empiris, dan secara logika tidak dapat diterima, pada kenyataannya di Masa Paleolitikum mitos menjadi hal yang vital karena menceritakan kepada kita sesuatu yang berharga mengenai kesulitan manusia dan mitos mengenai Penguasa Hewan ini adalah mitos yang bagus karena mengatakan hal tersebut kepada masyarakat Paleolitikum.Â