Studi Kasus Munir Said Thalib dan Madzhab Hukum Positivisme di Indonesia
Pendahuluan
 Kasus kematian Munir Said Thalib, aktivis HAM terkemuka, pada 7 September 2004, merupakan tragedi yang mengguncang Indonesia. Kematiannya yang penuh teka-teki dan dugaan keterlibatan aparat negara dalam pembunuhannya, memicu gelombang protes dan tuntutan keadilan. Kasus ini menjadi simbol perjuangan HAM di Indonesia dan mengungkap kelemahan sistem hukum dalam menjamin keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Dalam konteks ini, penting untuk memahami peran madzhab hukum positivisme dalam hukum Indonesia dan bagaimana madzhab ini diterapkan dalam kasus Munir.
 Studi Kasus Munir Said Thalib
Munir Said Thalib, pendiri organisasi Imparsial dan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), meninggal dunia di dalam pesawat saat dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda. Hasil investigasi menunjukkan bahwa Munir diracuni dengan arsenik. Kasus ini menjadi sorotan internasional dan memicu kecaman terhadap pemerintah Indonesia atas ketidakmampuannya mengungkap dalang pembunuhan Munir.
Meskipun beberapa orang telah diadili terkait kasus ini, pelaku utama pembunuhan Munir belum terungkap hingga saat ini. Hal ini memicu pertanyaan mengenai efektivitas sistem hukum Indonesia dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
Â
Madzhab Hukum Positivisme
Madzhab hukum positivisme adalah aliran filsafat hukum yang menekankan pada hukum yang tertulis dan berlaku dalam suatu negara, tanpa mempertimbangkan moralitas atau nilai-nilai lain. Madzhab ini memisahkan secara tegas antara hukum dan moral, dan beranggapan bahwa hukum adalah produk dari kekuasaan negara.
Â
Argumen Madzhab Positivisme dalam Hukum Indonesia
Madzhab hukum positivisme memiliki pengaruh yang kuat dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini terlihat dalam:
- Hirarki Perundang-undangan: Hukum Indonesia menganut sistem hukum hierarkis, di mana hukum tertinggi adalah Undang-Undang Dasar 1945. Di bawahnya terdapat berbagai peraturan perundang-undangan, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah. Sistem ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia didasarkan pada norma tertulis yang dibuat oleh lembaga negara.Â
- Penerapan Hukum Positif: Dalam kasus Munir, proses hukum yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penerapan hukum ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia berfokus pada hukum tertulis dan mengabaikan aspek moralitas atau nilai-nilai lain.Â
- Kedaulatan Negara: Madzhab positivisme menekankan kedaulatan negara dalam membuat dan menerapkan hukum. Hal ini terlihat dalam kasus Munir, di mana pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan mengadili kasus pembunuhan tersebut.Â
Â
Kritik terhadap Madzhab Positivisme dalam Kasus Munir
Meskipun madzhab positivisme memiliki pengaruh yang kuat dalam hukum Indonesia, penerapannya dalam kasus Munir menimbulkan sejumlah kritik, yaitu:
- Ketidakmampuan Menuntaskan Kasus: Penerapan hukum positivisme yang berfokus pada hukum tertulis dan mengabaikan aspek moralitas, dinilai tidak efektif dalam menuntaskan kasus Munir. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan pemerintah mengungkap dalang pembunuhan Munir dan menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada pelaku utama.Â
- Keadilan bagi Korban: Madzhab positivisme yang memisahkan hukum dan moral, dinilai tidak cukup untuk menjamin keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Dalam kasus Munir, penerapan hukum positivisme dinilai tidak mampu memberikan keadilan bagi Munir dan keluarganya.Â
- Keterlibatan Aparat Negara: Kasus Munir menunjukkan bahwa hukum positivisme yang berfokus pada hukum tertulis, tidak mampu menjangkau pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara. Hal ini menunjukkan bahwa hukum positivisme tidak cukup untuk menjamin keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.Â
Â
Kesimpulan
Kasus Munir Said Thalib menjadi contoh nyata bagaimana madzhab hukum positivisme diterapkan dalam hukum Indonesia. Penerapan madzhab ini, meskipun memiliki pengaruh yang kuat, dinilai tidak cukup untuk menjamin keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Kasus ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia perlu mempertimbangkan aspek moralitas dan nilai-nilai lain dalam penegakan hukum, agar dapat menjamin keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H