Mohon tunggu...
Rizky AdiFirmansyah
Rizky AdiFirmansyah Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa Universitas Mercu Buana

55522120038 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Dosen Pengampu : Apollo, Prof.Dr, M.Si.AK - Pajak Internasional/Pemeriksaan Pajak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 2 Pajak Internasional : Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Corporation di Indonesia Pendekatan Teori Peirre Bourdieu

16 Juni 2024   21:36 Diperbarui: 16 Juni 2024   21:54 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sikap Kritis adalah representasi dari kesadaran kognitif, jika Descartes bilang cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) adalah bentuk praksis dari realitas sosial yang tidak bisa dinegasikan. Ada adagium yang menarik di tengah masyarakat kita bahwa harus selalu "berpikir positif", katanya. 

Kritik dianggap perlawanan, kritik dianggap oposisi, kritik dianggap pembangkangan, bahkan kritik dianggap melanggar norma, dan seterusnya. Ada hal menarik jika kita membaca pemikiran filosof post - mo asal Prancis yaitu Pierre Bourdieu tentang "Habitus" dan "Arena:, dia bilang ketika seseorang terhegemoni baik secara struktur sosial maupun posisinya, maka akan terjadi yang namanya "kekerasan simbolik". 

Mungkin itulah salah satu dampak dari akibat pernah terjajahnya Indonesia oleh negara - negara Penjajah (Belanda dan Jepang) yang mengakibatkan terdegradasinya mental orang Indonesia sampai saat ini. Yaitu menimbulkan habit sumuhun dawuh, sikap inferior atau merasa rendah diri, kikuk dalam menyampaikan ide dan gagasan, takut teraliensi dari kelompok tertentu, atau bahkan takut diasingkan, kekuasaan selalu memposisikan dirinya sebagai kebenaran absolut, kalau mendebat guru akan kualat misalnya, dan setersunya. 

Bahkan Pierre Bourdieu bilang, sekolah hanya melanggengkan (me - reproduve) kelompok - kelompok sosial tertentu, dalam konteks ini mari kita perdebatkan. Dan habit - habit di atas tersebut kemudian membentuk habitus. Perlu ditegaskan disini bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan, tidak selalu identik dengan politik, bisa dalam arena pendidikan, arena budaya, arena agama, arena ekonomi, dan lainya.

Adagium "selalu berfikir positif" cenderung menimbulkan kejumudan berpikir menganggap segala sesuatu sudah mapan dan ajeg, cenderung mengkerangkeng pola pikir baru, dan mengakibatkan segala sesuatu tidak perlu diperdebatkan. Nampaknya, perlu adanya re - placemenet kapan dan dalam konteks apa "selalu berfikir positif" itu perlu diposisikan. 

Michel Foucault tentang pengetahuan dan teori relasi kuasanya misalnya, berpendapat bahwa pengetahuan selalu berelasi dengan kekuasaan, baik dalam struktur sosial maupun struktur politik (Subjektivisme dan Objektivisme). Pengetahuannya akan menginternalisasi dirinya sebgai apapun individu tersebut. Kemudian muncul pertanyaan yang menarik, yaitu yang menentukan dalam sebuah tindakan sosial itu individu atau masyarakat?. 

Emil Durkheim misalnya berpendapat bahwa masyarakat di atas individu, sementara Max Webber bilang sebaliknya yaitu individu di atas masyarakat. Nah, Pierre Bourdieu mendamaikan diantara keduanya yaitu bahwa keduanya saling berkaitan erat, tergantung dari habitus - kapital - arena. Habitus di create oleh lingkaran sekitar, Kapital adalah sebagai modalitas bisa berbentuk ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan kapital simbolik dan arena adalah dimana kita melakukan aktivitas - aktivitas sosial yang disebut praksis.

Kembali membahas mengenai pernyataan tadi, kritik adalah sebagai ruang dialektika antara subjektivitas dan objektivitas, jika selalu mengusung paradigma berpikir "selalu berpikir positif:, maka dialektika itu tidak akan ada. Tidak ada dialog sosial antar partikel, antar supra struktur dan struktur sosial dan seterusnya. 

Karena semuanya sudah dianggap established, ajeg, dan mapan. Sementara menurut Pierre Bourdieu bahwa kebenaran selalu bersifat relasional, maka jika kita ingin mengubah prilaku sosial masyarakat, maka yang harus dirubah adalah habitusnya, karena habitus bersifat individu yang dipengaruhi oleh kondisi sosial di sekitarnya yang disebut habit. Hal itu bisa dilakukan dengan cara belajar pengetahuan tentang filsafat, itulah kenapa filsafat disebut juga sebagai kebijaksanaan. Karena akar kata dari filsafat adalah philo (cinta) dan Sopphia (kebijaksanaan), cinta dan kebijaksanaan. 

Orang yang berpengetahuan, akan lebih arif dan bijaksana dalam menerima kritik, akan terjadi dialektika sehingga memunculkan ide dan gagasan -  gagasan yang baru, akan muncul habit saling menghargai dan selalu mendengarkan, tidak selalu ingin didengar, sikap inklusif dan seterusnya. 

Sehingga ketika adanya timbul persoalan, dia akan mengkaji seecara multi perspektif. Tidak langsung menghukum dengan kekuasaan yang dimilikinya. Imam Ghozali, sebelum menulis kitabnya tentang tahafut al falasifah (inkoherasi filosof), beliau mengkaji dengan sungguh - sungguh terlebih dahulu tentang apa itu filsafat, walaupun sembilan puluh tahun kemudia direspon oleh ibnu rushdi dengan kitabnya yang berjudul Tahafut at Tahafut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun