Mohon tunggu...
Rizky AdiFirmansyah
Rizky AdiFirmansyah Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa Universitas Mercu Buana

55522120038 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Dosen Pengampu : Apollo, Prof.Dr, M.Si.AK - Pajak Internasional/Pemeriksaan Pajak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 2 Pemeriksaan Pajak: Diskursus Model Dialektika Hegelian dan Hanacaraka pada Auditing Perpajakan

15 Juni 2024   22:59 Diperbarui: 15 Juni 2024   23:37 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. Kebebasan formal merupakan kebebasan yang diasumsikan oleh kaum atomis di masa pencerahan, dimana individu terisolasi, kebebasan ini diraih dari sifat alamiah seperti, Kehidupan, kebebasan dan properti (hak milik), kebebasan ini bersifat abstrak dan negatif. Bagi Hegel, inilah kebebasan dari penguasa yang menindas.

2. Kebebasan substansial adalah merupakan kebebasan idela bagi Hegel, hal ini cita - cita moral masyarakat yang bersala dari kehidupan spiritual masyarakat tertentu. Kebebasan ini hanya dapat diraih dari negara, di sinilah cita - cita etika dan jiwa fondamental orang - orang dalm hukum - hukum dan institusi - institusinya dapat dicapai. Dalam pandangan Hegel, Jika kita membenci budaya kita dan tidak sependapat dengan cita - cita dan institusi masyarakat kita, maka kita beraa dalam keterasingan. Keterasingan merupakan terdiri dari banyak komponen, yaitu : perasaab menjadi asing diri, terputus dari perasaan sendiri ataupun identitasnya sendiri, perasaan tidak memiliki norma, tidak memiliki arti, lemah dan lain - lain. Keterasingan yang dipahami Hegel merupakan kegagalan kehendak individu untuk beradaptasi dengan yang lebih besar yaitu kemauan masyarakat. Keterasingan merupakan kondisi di mana sesorang tidak bisa mengidentifikasikan diri dengan moralitas publik dan institusi masyarakat. Dalam filsafat Hegel, Kebenaran hakiki pelan - pelan akan terkuak seiring rentang evolusi sejarah perjalanan pemikiran filsafat.

 

Dialektika Hanacaraka

Masuknya Islam ke jawa menjadikan wilayah jawa sebagai tempat dimana ajaran ketuhanan Islam harus disemai di atas sisa - sisa peninggalan peradaban Siwa dan Budha. Aksara Jawa pun tidak lepas dari strategi "Dialektika Politik Kejawen" yang menggarap urutan alphabet Jawa dari "Ka - Kha - Ga - Nga" menjadi " Ha - Na - Ca - Ra - Ka". Ada indikasi kuat setelah islam hampir menguasasi seluruh wilayah jawa pada abad 17, urutan alphabet dan aksara jawa dirubah dan "dimerenisasi", disusupkan kisah baru tentang dua caraka yang sama sakti "Hanacaraka". Munculah kisah caraka (abdi) - nya Aji saka dan caraka - nya Muhammad yang bertarung "pada - Jaya -Nya" pertarungan pilih tanding, sama saktinya. Alphabet "Ha - Na - Ca -Ra - Ka" pun mempengaruhi pengajaran aksara Bali, baca tulis, dulunyaberpedoman pada alphabet jawa kuno dan bali kuno, dengan pengajaran aksara diawali dengan menghafal dan menulis aksara "ka - Ki - Ku - Ke -Ko" lalu dilanjut "Ga - Gi - Gu - Ge - Go" dan seterusnya. Pengajaran Hanacaraka di Bali dan kisah hilangnya 2 aksara, yang katanya hanyut diselat bali, diperkirakan baru muncul sekitar tahun 1875 seiring pendidikan sekolah rakyat kelas 2 di bali (Buleleng) memakai / mengadopsi pengajaran aksara jawa. Buku Pedoman pengajaran sekolah rakyat selanjutnya disusu oleh I Ranta mengadopsi pengajaran baca tulis aksara jawa. Sebelum itu pengajaran dukalangan Bali dengan cara "Ka - Ki - Ku - Ke - Ko". Tidak ada dulu kisah 2 aksara jatuh / hanyut / kecag di selat bali. Aksara yang disebut hanyut itu masih tetap dipakai dalam lontar - lontar Bali sampai kini. Alphabet Hanacaraka pertama kali muncul dalam karya "Serat sastra Gending" karya salah satu raja jawa yang masyhur yaitu Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma (1593 - 1645), dikenal sebagai sultan Agung, memerintah jawa pada tahun 1613 sampai 1645. Penyusunan Ha - Na - Ca - Ra - Ka termuat penjelasanya dalam karya tersebut sebagai berikut :

1. Bahasa Jawa

"Kawuri pangertine Hyang, taduhira sastra kalawang gending, sokur yen wus sami rujuk nadyan aksara jawa, datan kari saking gending asalipun, gending wit purbaning kala, Kadya kang wus kocap pinuji". yang dalam bahasa Indonesianya "Pemusatan diri pada Hyang, petunjuk berupa sastra (akasara) dan bunyi gending (macepat). Jika telah disepakati (bersama), meskipun aksara jawa tidak meninggalkan bunyi gending asalnya, bunyi gending sejak jaman pubakala, seperti yang telah diucapkan terdahulu".

2. Bahasa Jawa

"Kadya sastra kalidasa, wit pangestu tuduh kareping puji, puji asaling tumuwuh, mirit sang akadiyat, ponang : Ha Na Ca Ra Ka : pitududuhipun , dene kang : Da Ta Sa Wa La : kagetyan ingkang pinuji". Dalam bahasa Indonesianya "seperti halnya sastra (aksara Jawa) yang dua puluh (adalah) sebagai pemula untuk mencapai kebenaran, yang menempatkan petunjuk akan makna puji, serta puji kepada segala sumber yang tumbuh (atau hidup); memberikan (mirit) ajaran akadiyat berupa Ha Na Ca Ra Ka, petunjuknya. Sedang Da T Sa Wa La, adlaah berarti kepada (Kepada Tuhan) yang dipuji".

3. Bahasa Jawa 

"Wadat jati kang rinasan, ponang : Pa Da Ja Ya Nya; angyekteni, kang tuduh lan kang tinuduh, pada sentosanira, wahanane wakhadiyat pembilipun, dene kang Ma Ga Ba Ta Nga, wus kenyatan jatining sir". Yang dalam Bahasa Indonesia " Wadat jati yang dirasakan berupa : Pa Da Ja Ya Nya; adalah yang menyaksikan bahwa yang memberi dan yang diberi petunjuk adalah sama teguhnya; tujuanya (adalah) mendukung dan akhadiyat, sedang : Ma Ga Ba Ta Nga (berarti) sudah menjadi nyata (keadaan) sir yang sejati".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun