Jika dilihat dalam kacamata budaya, fenomena mudik lebaran identik dengan perayaan kemenangan dari Idul Fitri itu sendiri yaitu kemenangan bagi umat manusia terutama yang beragama Islam setelah satu bulan lamanya menjalankan ibadah puasa.
Oleh karena itu kemenangan tersebut harus dan akan dilakukan bersama dengan keluarga dan orang-orang terdekat di daerah asal atau kampung halaman yang terkadang tempatnya amat sangat jauh dari tempat pemudik.
Menurut teori migrasi, perpindahan sponta dan bersifat sementara ini dapat dikategorikan sebagai “temporarily migration” karena setiap migran hanya berniat untuk bepergian atau pindah dari tempat mereka ke suatu tempat lain dalam waktu yang relatif singkat tanpa niatan untuk menetap (Mantra, 1986).
Dalam pelaksanaan mudik yang merupakan migrasi spontan dan temporer ini biaya yang dikeluarkan bervariasi tiap orangnya, tetapi mereka yang mudik merasa tak terbebani mengeluarkan uang untuk mudik. kebahagiaan dan kegembiraan untuk dapat berkumpul dengan handai taulan dan keluarga di tempat asal.
Kegembiraan dan kebahagiaan yang akan dinikmati bersama sanak saudara dan keluarga inilah yang membuat pemudik tidak merasa terbebani dengan biaya yang mereka keluarkan dalam pelaksanaan mudik.
Mudik bagi umat beragama islam di Indonesia sudah bisa dikatakan “ritual tahunan” yang mana hal yang wajib dilakukan ketika merayakan Idul Fitri tidak peduli apapun hambatan dan rintangan yang meliputi mudik itu tersendiri.
Mudik menjadi jalan untuk menjalani kebahagiaan dan kegembiraan Idul Fitri bersama orang tua dan keluarga kita yang terpisah oleh jarak. Mudik adalah satu satu jalan untuk memperat kembali silaturrahmi setelah berpisah dengan jarak selama beberapa waktu.
Mudik dalam Perspektif Islam
Jika dilihat secara etimologi, mudik adalah kegiatan perantau atau migran untuk kembali ke kampung halamannya. Makna yang ada dari mudik itu dekat dengan makna dari Idul Fitri yang terdiri dari kata “Idh” itu sendiri yang berarti kembali ke asal, lalu kata ”Fitri’ yang berarti suci atau kesucian.
Dalam hal ini, mudik jika kita cermati salah satu firman Allah SWT bersabda: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim,orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa‟: 36).
Dalam ayat ini, Allah S.W.T mengharuskan kita untuk berbuat baik kepada orang tua, keluarga, tetangga dan lain-lain. Menurut Quraish Shihab, ayat ini mengungkapkan bahwa hal tersebut menjadi satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah.