"Iya Yah." Yusri segera menyuap sarapan buatan Ibunya. Agus berjalan menuju kamar Edo dan Yusri. Mereka memang tidur dalam satu kamar, namun di kasur yang berbeda. Agus membuka pintu kamar Edo, terlihat Edo seperti habis menangis.
"Anak ayah kenapa Nak? Kenapa nangis?"
"Ayah dan Ibu jahat. Udah gak sayang Edo. Semua sibuk kerja. Semenjak nenek dan kakek meninggal rumah ini jadi gak seru lagi."
"Ayah dan Ibu sayang sekali dengan Edo."
"Bohong! Buktinya Ibu gak peduli dengan Edo lagi. Baju Edo belum disetrika, celana Edo juga udah kekecilan. Edo malu ke sekolah dikatain sama kawan-kawan." Edo terus meraung meratapi kesedihannya.
"Udah Nak, anak cowok gak boleh nangis, mana sini baju kamu. Kamu lihat Ayah nyetrika ya. Hati-hati pegangnya, begini ni. Pelan-pelan aja dan jangan sampai tangan kamu kena panas ya. Nanti kamu bisa setrika sendiri. Tak perlu nunggu Ibu." Edo asyik memperhatikan Ayahnya menyetrika baju sekolahnya. Edo malu, ternyata Ayahnya masih sayang padanya.
"Besok ajarin Edo lagi ya Yah. Eh Ayah telat gak?" Edo senang pagi ini bajunya rapi dan licin. Membuatnya semangat datang ke sekolah.
"Oke anak ayah yang Sholeh. Tadi sholat shubuh gak?"
Edo garuk-garuk kepalanya yang tak gatal, itu artinya dia tak sholat lagi.
"Kesiangan Yah."
"Ya sudah besok dengar Yusri bangun Shubuh kamu ikut bangun ya, jangan malas. Yok cepat sarapan, adik kamu udah nungguin dari tadi tu."